HIDUPKATOLIK.com – Sakit cacar api membuatnya kehilangan penglihatan sejak balita. Namun, hal itu tak mematahkan semangatnya untuk maju, berjuang, dan berbagi berkat pada sesama.
Menginjak usia dua setengah tahun, Alexia Netty mengalami sakit cacar api. Kala itu, ia dan orangtuanya tinggal di Tering-Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Kaltim). Sakit cacar api itu membuat mata Alexia menjadi lengket. Berangsur-angsur putri sulung pasangan Yohanes Sumarman dan Yustina Sutina ini pun kehilangan penglihatan.
Meski demikian, orangtuanya ingin putri mereka bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak lain seusianya. Alexia lalu mengenyam pendidikan di sekolah umum, TK Nusi Pera Samarinda, Kaltim.
Selesai TK, Alexia melanjutkan ke SD Katolik I Samarinda. Saat itu, panggilan “anak buta” menjadi olok-olok di antara teman-temannya. Hari demi hari ia berjuang untuk menerimanya dengan lapang dada. Ia tak merasa minder, malu, ataupun marah. “Saya selalu ingat pesan ayah dan ibu: kalau kamu diolok-olok, biarkan saja. Nanti pada akhirnya mereka akan sadar kemampuanmu,” kisahnya menirukan amanah orangtua.
Melihat Alexia tak pernah marah ketika diolok-olok dan justru berprestasi di sekolah, teman-temannya mulai berhenti mengolok. Bahkan, mereka membantunya mencatat pelajaran di kelas atau membacakan ulang pelajaran hari itu. “Jika saya tidak mengerti, saya juga minta guru untuk membacakan ulang dan menulis di papan tulis dengan ukuran huruf yang besar.”
Menerima kelemahan diri, demikian prinsip Alexia. “Banggalah terhadap kelemahan kita karena akan muncul kekuatan baru. Fisik bisa menjadi cantik, kalau kita bisa bergaul dengan siapa saja dan bisa memaksimalkan talenta,” tandas perempuan kelahiran Samarinda, 21 Mei 1976 ini.
Selain penerimaan diri, Alexia berusaha melayani dan berbagi dengan sesama. Di balik keterbatasannya, ia mengukir kisah pemberian diri sesuai talenta yang dianugerahkan Tuhan.
Mencintai Kelemahan
Kala duduk di bangku kelas 4 SD, semakin hari penglihatan Alexia kian menurun. Ia dirujuk untuk berobat ke Rumah Sakit Mata dr Yap di Yogyakarta. Menurut dokter, matanya mengalami penurunan penglihatan dan memasuki tahap buta. Dokter mengusulkan agar ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Demi pendidikan sang buah hati, orangtua Alexia menyekolahkannya di SLB Kalibayan Yogyakarta (1986), mulai kelas 4 SD hingga kelas 3 SMP. Masa awal di SLB terasa berat baginya. “Saya kaget dan syok karena harus belajar huruf braille yang sangat asing bagi saya,” ujarnya. Namun berkat dukungan orangtua dan saudara-saudaranya, ia bisa mempelajari dan menghafal huruf braille dalam waktu seminggu. Biasanya dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk bisa menghafalkan huruf braille.
Lulus SMP Luar Biasa berbekal Nilai Ebtanas Murni yang baik, Alexia melanjutkan ke SMAN Agromulyo Yogyakarta (1994-1997). Walaupun sempat mengalami penolakan karena tuna netra, ia akhirnya diterima dengan rekomendasi dari SMP almamater dan Dinas Pendidikan setempat.
Ejekan kembali ditelan Alexia. “Kok ada wong picek (orang buta – Red) sekolah di sini,” demikian ejekan yang singgah di telinganya. Mendengar itu, ia tak pernah marah, melainkan kian tergugah untuk mengembangkan kemampuan diri.
Berbekal pengetahuan dasar cara memainkan keyboard ketika di SLB, Alexia bertekun mengasahnya. Meski tuna netra, ia ingin menunjukkan kemampuan bermain alat musik. Saat upacara bendera di sekolah, ia kerap mengiringi lagu Indonesia Raya, dan lagu wajib lainnya seperti Padamu Negeri, Kartini, dll.
Kelihaiannya memainkan keyboard menyadarkan teman-teman yang sering mengejeknya. Mereka meminta maaf dan belajar bermain keyboard padanya.
Alexia menyadari kelemahannya dan tak mau terpuruk. Ia berjuang memaksimalkan kemampuan yang lain. “Dengan demikian, kita dapat menerima kelemahan dengan senang hati,” tandasnya.
Total Melayani
Menjadi tuna netra tak menghalangi mimpinya berkarya sebagai guru. Tamat SMA, Alexia melanjutkan pendidikan kejurusan PPKN, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta (1997-2001).
Di celah kesibukan kuliah, Alexia bergabung dalam kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA). Beberapa kali ia ikut memanjat tebing dan mendaki gunung dengan pendampingan dan penjagaan teman- temannya.
Usai menyelesaikan kuliah, 2001, Alexia kembali ke tanah kelahirannya. Di Samarinda, istri Mohd. Armaniansyah ini merasa prihatin saat menjumpai banyak orang berkebutuhan khusus, terutama tuna netra yang mengemis di jalanan. Ini mengetuk pintu hatinya. Ia pun mencari bantuan. Beragam penolakan harus ia alami. Seiring waktu, perempuan yang pernah didaulat sebagai Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kaltim ini akhirnya memperoleh bantuan dari Dinas Sosial Kaltim. Salah satu bantuan berupa pemberian alat pijat agar penyandang disabilitas bisa membuka usaha pijat. Namun kebanyakan dari mereka justru menjual kembali alat pijat itu.
Alexia juga merintis Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dria Merdeka (2008). Ia berharap, PKBM bisa memberdayakan penyandang disabilitas dan mereka tak lagi mengemis di jalanan.
Waktu itu, beberapa orang dikumpulkan untuk dibina di PKBM Dria Merdeka. Namun hanya satu orang yang setia mengikuti kegiatan. Meski kecewa sempat menyelinap, Alexia cukup bahagia karena satu orang itu bisa terus melanjutkan usaha pijatnya. “Tidak harus mengubah dunia. Bisa mengubah pikiran satu orang, itu sudah membahagiakan. Karena dari satu orang, akan mengubah yang lain.”
Kini ada 36 orang yang mengikuti kegiatan PKBM Dria Merdeka. Mereka diberi pendidikan paket A (SD), paket B (SMP), paket C (SMA). Mereka juga mendapat pelatihan komputer, musik, kewirausahawan, tata boga, dll.
Alexia ingin berbagi dan memberdayakan penyandang disabilitas. Ia berharap, mereka dapat mengenyam pendidikan, punya ketrampilan, dan berpenghidupan layak. Karena itu pula, pada 2010 ia bersama sembilan temannya mendirikan SLB Widya Karya Samarinda. Di sekolah ini mereka mengajar dan mendampingi anakanak tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita dan autis.
“Di balik kelemahan yang dimiliki, mereka pun memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkembang,” tandas perempuan yang melanjutkan studi S-2 Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Mulawarman, Samarinda ini.
Rencana Tuhan
Hingga kini, Alexia terus mempersembahkan diri dalam pelayanan bagi penyandang disabilitas. Ia ingin berbagi berkat yang telah dianugerahkan Tuhan padanya.
Walau tak bisa melihat, kerap diolok-olok dan diremehkan, Alexia percaya, Tuhan menganugerahkan kemampuan lain. Peraih emas untuk cabang lempar cakram dalam Pekan Olah Raga Tuna Netra (PORTI) Riau (2009) ini tak henti bersyukur karena boleh menjadi berkat bagi sesama melalui bidang akademik dan atletik. Sejumlah kejuaraan dalam bidang atletik berhasil ia kantongi.
Alexia yakin apa yang dialaminya ialah rencana indah Tuhan. Ia merasa mengalami kehadiran Tuhan dalam tiap langkah peziarahan hidupnya. “Jika bisa melihat, bisa jadi saya justru menjadi orang yang cuek dengan sesama dan egois,” tutur Guru SLB-A Ruhui Rahayu (2001-sekarang) ini.
Harapannya, penyandang disabilitas bisa menggali dan mengembangkan talenta untuk berkarya bagi sesama. Pun agar masyarakat bisa menerima, menghargai, mendampingi, dan membimbing penyandang disabilitas.
Ia juga berharap pada bagian doa umat atau pengumuman tidak menggunakan kata cacat, tapi disabilitas. “Karena cacat identik dengan tidak bisa berbuat apaapa,” ujar Alexia.
Bagi perempuan yang mendapat penghargaan Guru Berprestasi se-Kaltim (2008-2010) ini, buta mata tak berarti buta hati. Teladan Yesus yang terus berkarya meski mengalami penolakan menjadi salah satu hal yang mendorongnya terus berkarya dan melayani. Pengalaman kurang mengenakkan menjadi cambuk yang memotivasi untuk melakukan sesuatu bagi sesama.
Yohanes Kopong Tuan MS
HIDUP NO.21, 25 Mei 2014