HIDUPKATOLIK.com – Sejak kecil, ia bermimpi menjadi misionaris, meski harus berjuang melawan sakit. Sebagai misionaris di Burma, ia pernah diinternir Inggris di India. Semua itu tak menciutkan bara misionernya hingga mengenakan mahkota kemartiran di tanah misi.
Perputaran roda karya misi di Citaciò, Burma (Myanmar) yang telah bergulir selama enam tahun (1936- 1941) terhenti. Misi rintisan imam asal Italia, Mario Vergara PIME di tengah Suku Karenni itu macet akibat Perang Dunia II (PD II, 1939-1945). Ia dibantu beberapa suster dari Institute of the Sisters of Reparation (ISR), yang sejak awal mengukir misi bersama para imam Pontificium Institutum Missionum Exterarum (PIME). Sekolah dasar, kapela, rumah sakit dan sanatorium bagi para penderita tuberculosis (TBC) di Vikariat Apostolik Toungoo (kini: Keuskupan Taungngu) dilarang beroperasi.
Inggris yang terlibat dalam PD II melawan Blok Timur – salah satunya Italia– berhasil menguasai Burma. Tentara Inggris menghentikan seluruh aktifitas para misionaris Italia di ‘negeri seribu pagoda’ itu. Bahkan para misionaris, termasuk Pastor Vergara, ditangkap dan diasingkan.
Selama empat tahun, Pastor Vergara menjalani masa pembuangan (1941- 1944). Ia diinternir Inggris dan diasingkan di India. Deraan fisik dan perlakuan tak manusiawi lambat laun menggerogoti kesehatannya. Ia kerap jatuh sakit dan sempat menjalani operasi beberapa kali, salah satunya ginjal. Namun, siksaan paling berat ialah derita psikis. Penantian akan kebebasan tak kunjung jelas, tak bisa bermisi, tiap hari mengalami kebiadaban, dan raga pun kian lemah.
Totalitas Misi
Selepas dari pembuangan, Pastor Vergara tak bisa kembali ke ladang misinya semula. Semua yang sudah ia rintis tak tersisa sedikitpun. Situasi ini membuatnya gamang kala menatap masa depan panggilannya. Apakah ia harus mengubur mimpi yang sejak kecil ia genggam? Ataukah mencari daerah lain untuk misi baru? Menegaskan arah dan langkah misinya, ia menemui Vikaris Apostolik Toungoo, Mgr Alfredo Lanfranconi PIME (1888-1959). Mgr Lanfranconi mengungkapkan, pihaknya hendak membuka misi baru di Loikaw, bagian Timur. Kini wilayah itu telah menjadi Keuskupan Loikaw sejak 1988 –satu dari enam keuskupan di Myanmar yang didirikan PIME.
Namun sang uskup mengingatkan, misi Loikaw sungguh berat dan mungkin juga tak ada yang berminat. Para misionaris harus tahu bahasa, budaya dan adat setempat. Selain itu, misi Loikaw menuntut kekuatan fisik dan keberanian. Wilayahnya amat luas dan jumlah penduduknya pun begitu besar. Di pedalaman saja, ada sekitar 100 desa.
Rencana sang uskup bak oase di tengah kegersangan masa depan panggilan Pastor Vergara. Ia menyanggupi tantangan Mgr Lanfranconi. Pada Desember 1946, ia membangun misi Loikaw sendirian. Ia berkunjung dari desa ke desa, mendidik umat untuk menjadi katekis, merawat dan mengobati orang sakit. Misinya di tengah Suku Karenni kian berkembang dengan kehadiran seorang konfrater, Pastor Pietro Galastri PIME –yang ahli bangunan. Pastor Galastri pun membangun sekolah, gereja, panti asuhan dan klinik.
Perkembangan Misi Katolik ini dianggap sebagai pesaing dan mengancam para zending Protestan yang sudah hadir di sana sejak 1900. Tak pelak, fitnah dan represi pada dua misionaris Katolik itu datang silih berganti.
Pastor Vergara tak hanya menghadapi tantangan alam dan pengaruh para zending, tapi juga ancaman kaum pemberontak. Banyak umat Katolik dijarah dan dibunuh. Dua misionaris ini pun –termasuk seorang katekis, Isidore Ngei Ko Lat dituduh oleh pemberontak sebagai antek- antek pemerintah. Suatu sore, 24 Mei 1950, Pastor Vergara dan Isidore ditembak, lalu tubuh mereka dihanyutkan ke Sungai Salween. Nasib naas juga dialami Pastor Galastri keesokan paginya. Kala sedang berdoa, gerombolan pemberontak membawanya ke hutan dan membunuhnya. Hingga kini, tiga jasad rasul Burma ini tak pernah ditemukan!
Merajut Mimpi
Mario Vergara lahir pada 16 November 1910 di Frattamaggiore, kota industri di sebelah Utara Napoli, Italia. Bungsu dari sembilan bersaudara ini berasal dari keluarga pekerja. Ayahnya, Gennaro Vergara punya usaha industri rami. Karena bisnis itu, sang ayah kerap berlayar ke berbagai negara, terutama Jerman sebagai tujuan ekspor produksinya. Sedangkan ibunya, Antonietta Guerra ikut mengurus administrasi bisnis sang suami, di samping mengurus rumah dan anak-anak. Meski sibuk bekerja, orangtuanya tak mengabaikan pendidikan dan pembinaan hidup rohani buah hatinya.
Sejak kecil, Vergara terbiasa bergaul dengan semua orang, terutama yang miskin. Dengan kepolosan seorang bocah, ia kerap membantu dan menghibur mereka. Kepedulian pada sesama ini menjadi benih panggilan dalam dirinya untuk berkarya bagi sesama yang menderita dan berkekurangan. Usai menyelesaikan pendidikan dasar pada 1921, ia masuk Seminari Aversa. Tahun 1929, ia bergabung dengan lembaga pendidikan untuk pembinaan calon misionaris PIME.
Konon seorang teman di seminari sempat bertanya apa motivasi Vergara untuk menjadi misionaris di tanah asing. Padahal di Italia, masih banyak hal baik yang bisa dilakukan. “Di Italia tak ada peluang menjadi martir,” jawab Vergara.
Dalam perjalanan waktu, kerinduannya menjadi misionaris sempat tertunda. Tiga tahun menjalani pendidikan dan pembinaan di PIME, Vergara terpaksa pulang ke rumah karena menderita usus buntu dan gangguan selaput radang perut. Faktor lemahnya kesehatan dan cuaca yang tak menunjang memaksanya untuk studi di Seminari Posillipo di Napoli, Italia.
Usai menjalani perawatan selama beberapa tahun dan meyakinkan orangtuanya, Vergara melanjutkan kembali pendidikan teologi di PIME pada 31 Agustus 1933. Akhirnya, 26 Agustus 1934, Uskup Agung Milan Kardinal Alfredo Ildefonso Schuster OSB (1880-1954) menahbiskannya sebagai imam di Gereja Bernareggio, Milan, Italia. Bulan berikutnya, imam baru ini bergabung dalam misi PIME di Burma.
Kisah Heroik
Pada Oktober 1934, Pastor Vergara tiba di Burma. Ia disambut dengan baik oleh Vikaris Apostolik Toungoo, Mgr Emmanuel Sagrada PIME (1860-1939). Imam muda itu segera belajar aneka bahasa, budaya dan adat masyarakat setempat selama beberapa bulan. Mgr Sagrada lalu mengutusnya ke Citaciò. Dalam kerasulannya, Pastor Vergara secara simultan mengampu aneka pelayanan sebagai imam, pendidik dan dokter.
Menurut kesaksian umat yang ia layani, Pastor Vergara konon pernah membuat mukjizat di Citaciò. Ketika sedang merayakan ekaristi, ia melihat seorang anak yang terbaring sakit. Kondisinya pun sudah kritis. Ia menyodorkan piala berisi anggur Misa yang sudah dikonsekrir menjadi Darah Kristus pada anak itu. Lalu si anak meminumnya. Selang beberapa saat, anak itu pun sembuh.
Kisah lain dialami oleh seorang yang menderita lumpuh. Saat itu, Pastor Vergara memijat si lumpuh. Usai memijat dan berdoa, ia memintanya bangun dan berjalan. Seketika itu juga si lumpuh sembuh dan berjalan.
Dalam pelayanan, Pastor Vergara tak pernah membeda-bedakan umat. Ia melayani tiap orang yang membutuhkan. Itulah sebabnya banyak orang kagum dan sangat menghormatinya. Hidupnya menjadi tanda kehadiran dan kasih Allah di tengah umat-Nya. Kemartiran dan keteladanannya diakui Gereja Universal. Pada 9 Desember 2013, Paus Fransiskus menggelarinya Venerabilis. Lalu pada 24 Mei 2014, ia dianugerahi gelar Beato. Misa beatifikasinya dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB di Katedral San Paolo, Aversa- Caserta, Italia.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.22, 1 Juni 2018