HIDUPKATOLIK.com – Membuat moke telah dilakoninya lebih dari 30 tahun. Dia tak alpa ke gereja tiap pekan. Itu kesempatannya bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan.
Matahari bersinar begitu terik siang itu. Beruntung, rerimbun pohon asam serta pelepah kelapa melindungi tubuh legam Fidelis Fidel dari sengatan pusat tata surya tersebut. Fidel bercangkung di hadapan tungku tradisional, mengatur nyala api agar nira lontar (Borassus flabellifer) di dalam belanga tanah atau unu tana tak mendidih. “Periuk bisa pecah jika itu terjadi,” ungkap Fidelis, di kediamannya, di Desa Persiapan Mahe Kelan, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat, 8/6.
Beberapa bulan lalu, dia mengganti unu tana-nya lantaran hal itu. Sebetulnya, jika mau, Fidelis bisa mengganti dengan blek (kaleng dari seng) yang lebih tahan panas. Sebab, beberapa pengrajin moke –sebutan masyarakat Sikka untuk arak atau hasil penyulingan nira– di sana ada yang menggunakan blek. Fidelis tak kepincut dengan peralatan lebih modern itu.
Dia setia menggunakan unu tana. Blek, menurutnya, rentan terkena korosi. Hal itu berdampak negatif bagi kesehatan konsumen. Kualitas moke yang dihasilkan pun amat berbeda Moke yang dimasak dengan blek terasa seret di tenggorokan, tapi tidak untuk moke yang disuling dari unu tana. “Saya dan keluarga sendiri juga minum moke ini,” terangnya.
Milik Tetangga
Fidelis sudah lebih dari 30 tahun menekuni pembuatan moke. Selain menopang kebutuhan rumah tangga, moke juga memampukan suami Ida Imakulata itu untuk menyekolahkan anak-anaknya. “Anak pertama saya lulus dari sekolah perikanan. Sekarang dia bekerja sebagai salah satu aparatur desa ini,” ungkap ayah dengan lima anak itu.
Pria kelahiran Wolokoli, Kecamatan Bola itu mengenang, dirinya autodidak membuat moke. Dia membuat moke lantaran di belakang kediamannya banyak ditumbuhi pohon lontar. Tumbuhan multifungsi itu milik beberapa tetangga. Beruntung mereka mengizinkan Fidelis untuk mengiris mayang pohon-pohon tersebut. “Mereka (tetangga) tak menuntut apa pun dari saya. Tapi, atas keinginan sendiri, saya memberi mereka beberapa liter moke tiap akhir tahun,” beber Fidelis.
Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Persiapan Mahe Kelan, Dionisius Leonardi, mengatakan, dari 1356 jiwa penduduk di desa itu, terdapat delapan orang yang membuat moke. Fidelis adalah salah satunya. Di Kabupaten Sikka, terang Oni, sapaannya, Kecamatan Waigete merupakan salah satu sentra penghasil moke.
Beberapa tahun lalu, tambah Oni, sempat beredar isu bakal ada penertiban soal pembuatan dan peredaran moke sebagai minuman yang mengandung alkohol. Oni beranggapan, wacana itu bakal sulit terealisir. Pasalnya, dalam setiap acara adat, masyarakat menggunakan moke. Minuman itu juga hampir selalu ada saban acara, mulai dari kelahiran hingga kematian. Membuat Moke merupakan salah satu mata pencarian masyarakat.
Oni sebaliknya menyarankan agar ada pembinaan untuk para pembuat moke. Misal, pelatihan untuk mereka mengatur kadar alkohol dan mengemas minuman tradisional itu secara apik. Sehingga moke bisa menjadi salah satu buah tangan yang dapat dibawa konsumen ke luar daerah secara aman seperti anggur Bali, misalkan. Nyatanya, tak mudah membawa moke dari “kota kelahirannya” dengan pesawat hingga kini.
Saban Hari
Fidelis mengiris mayang lontar hampir saban hari (tiap pagi dan sore). Dari kedua waktu itu, menurutnya, lontar lebih banyak menghasilkan nira jika diiris saat sore. Karena itu, saat menyambangi dan mewawancarainya sekitar pukul 14.00, Fidelis meminta izin kepada HIDUP untuk “menengok” beberapa pohon lontar.
Begitu beberapa teren (bambu dengan panjang sekitar 50 sentimeter dan berdiameter 15 sentimeter) berisi nira di atas pohon lontar penuh, Fidelis memindahkannya ke jeriken-jeriken. Setelah beberapa jam, nira tersebut dimasukan ke dalam unu tana. Kuali tanah itu lantas ditutup rapat dengan mangun atau bambu yang terpancang di atas unu tana.
Bambu setinggi satu meter itu yang mengambil uap dari unu tana, kemudian mengalirkan ke dalam jeriken yang berada sekitar 13 meter dari kuwu (dapur menyuling nira). Antara mangun dengan jeriken dihubungkan dengan wewur, sebilah bambu berposisi horisontal. “Moke itu yang dipakai uap (nira lontar). Semakin panjang wewur, kualitas moke makin enak,” beber Fidelis.
Dalam satu kali masak nira di dalam unu tana berukuran sekitar 30 liter, Fidelis mendapat lima liter moke. Dalam sehari, dia bisa memasak dua hingga tiga kali nira. Satu botol moke berukuran sekitar 560 mililiter dia jual Rp 25.000. Dulu, pertama kali membuat moke, kenang Fidelis, harga minuman itu seharga Rp 500 per botol. Moke buatan Fidelis asli dari lontar. Tubuh terasa hangat usai menenggak minuman itu.
Tiap kali menghasilkan moke atau sebelum memasak nira kembali, Fidelis atau anak-anaknya selalu menuang beberapa tetes minuman di tungku. Menurut mereka, hal itu sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada leluhur. Di dekat perapian ada satu batu berbentuk pipih, gelas dari tempurung kelapa, dan salib kecil yang terbuat dari bilah bambu.
Fidelis kadang dibantu kedua anaknya untuk membuat moke. Dia mengakui, mereka punya keterampilan itu. Tapi, dia tak terlalu berharap anak-anak mengikuti jejaknya. Fidelis hanya menginginkan agar buah hatinya rajin bekerja demi menyambung hidup mereka kelak.
Kesempatan Bersyukur
Selain membuat moke, Fidelis juga menggarap kebun. Di ladang yang menurutnya tak terlalu luas itu, dia menanam jagung dan padi. Namun Fidelis mengakui, waktu dan perhatiannya lebih tertumbuk kepada moke. Sebab, hasil yang didapat lebih besar dan lebih cepat dibanding bercocok tanam. Resiko gagal membuat moke lebih kecil dibanding
menanam jagung atau padi.
Kendati banyak waktunya tersita membuat moke, Fidelis tak abai ke gereja setiap Minggu. Dia selalu ikut Misa. Bila hari itu tubuh Fidelis tak bugar dan memaksanya tetap di rumah, hari itu dia tak mengiris lontar. Alasannya sederhana sesederhana hidupnya, mengikuti Misa merupakan kesempatan bagi Fidelis bersyukur kepada Tuhan karena masih memberikan tenaga dan lontar untuk diiris olehnya. “Semua hasil yang saya dapat ini dari Tuhan.”
Yanuari Marwanto