HIDUPKATOLIK.com – Pastor, beberapa bulan lalu Indonesia dikejutkan dengan pengeboman tiga gereja di Surabaya. Apakah korban-korban pengeboman di Gereja Surabaya dapat disebut martir? Mungkinkah diangkat jadi santo atau santa?
Andreas, Solo
Dalam Gereja Katolik istilah martir adalah gelar yang diberikan Gereja untuk saksi iman, yang membela iman dan keutamaan Kristiani bahkan sampai mati. Kata martir sendiri berarti saksi; semua orang yang dibaptis dipanggil untuk memberikan kesaksian iman ini. Namun gelar martir diberikan hanya pada orang-orang khusus setelah penyelidikan yang teliti, mulai dari tingkat keuskupan, di tingkat kongregrasi untuk urusan santo-santa, maupun peneguhannya oleh Takhta Suci. Seorang martir menjadi tanda bahwa rahmat Allah bekerja secara istimewa dalam diri orang ini untuk menjadi saksi kebenaran-Nya.
Proses penggelaran martir sama dengan proses penggelaran beato. Bedanya, untuk martir tidak dituntut adanya mukjizat seperti yang dituntut untuk calon beato. Menurut ketentuan yang biasa proses bisa dimulai paling cepat setelah 5 tahun kematian. Di tingkat keuskupan seorang Postulator ditunjuk. Tugasnya adalah mengumpulkan seluruh kebenaran, melalui sebanyak mungkin testimoni dan bukti-bukti dokumenter. Bila buktinya telah cukup kuat, perkaranya diteruskan ke Kongregrasi untuk Urusan Santo-santa yang akan menyelidikinya lebih lanjut. Bila hasilnya positif, Takhta Suci akan menetapkannya sebagai martir.
Umumnya ada dua hal utama yang diselidiki. Pertama, soal kesucian hidup. Harus terbukti apakah orang ini sungguh suci dan apakah kesuciannya termahsyur. Dua hal ini akan lebih mudah misalnya kalau berita tentang kesucian dan kemartirannya sudah menjadi semacam penghormatan umat yang cukup menetap. Kemahsyuran kesucian atau kemartiran itu mesti bersifat spontan, bukan karena dibuat-buat atau direkayasa, kontinyu, dan muncul dari orang-orang yang jujur dan serius, serta menyebar di antara banyak orang bahkan sampai sekarang (bdk. KHK 1917 no 20502). Kesucian yang sedemikian penting karena menjadi tanda nyata dari Allah yang membantu Gereja untuk menempatkan orang bagaikan “pelita di atas gantang” bagi seluruh Gereja.
Kedua sekitar peristiwa kematiannya. Ini menyangkut dua hal: situasinya dan bagaimana sikap batin orang tersebut atas kematian tersebut. Dalam sejarah Gereja Katolik, para martir umumnya mengalami situasi yang disebut dengan “kebencian terhadap iman” (odium fidei) dari pembunuhnya. Mereka sering ditantang untuk mempertahankan imannya atau membela keutamaan Kristiani yang diyakininya. Santo Stefanus misalnya, berhadapan dengan para pembenci Kristus, demikian pula Ignatius dari Antiokhia, Paulus Miki, Andreas Dunc Lac, dsb. Situasi kebencian ini berbeda tiap-tiap jamannya: ada latar belakang ideologi, agama, atau bahkan politik. Orang beriman sering harus menghadapi ancaman pembunuhan. Harus ada bukti tentang situasi ini agar calon bisa diangkat sebagai martir sesuai ajaran Gereja.
Selanjutnya, bagaimanakah sikap orang tersebut terhadap kematian yang dihadapinya? Perbandingan paling jelas tentu dengan kematian Kristus sendiri, yang dengan rela menerima kematian karena ketaatan dan kasih pada Bapa-Nya dan manusia. Gereja memahami kemartiran sebagai penerimaan bebas atau kerelaan untuk mati demi iman atau keutamaan ilahi lainnya (bdk. Benediktus XIV De Servorum Dei Beatificatione et Beatorum canonizatione). Inilah sikap Stefanus dan para martir lainnya. Dengan rela dan bebas mereka menerima kematian mereka bahkan tak jarang mendoakan para pembunuhnya. Kebebasan mengandaikan adanya pilihan sebelumnya untuk melawan atau menghindari dan adanya keputusan dari seseorang untuk menerima kematian ini dengan rela demi iman atau demi keutamaan kristiani. Sikap ini sungguh penting, jadi syaratnya bukan sekedar dibunuh saja.
Untuk ditetapkan menjadi santo, baik martir maupun beato diperlukan proses selanjutnya, antara lain diperlukan sebuah mukjizat Ilahi yang terjadi berkat perantaraan calon santo ini.
Gregorius Hertanto MSC