HIDUPKATOLIK.com – Syalom. Nama saya Julia. Saya dan suami sudah menikah selama empat tahun, tetapi kami belum dikaruniai anak. Awalnya, saya sangat kecewa karena Tuhan seperti menghukum saya. Pertanyaan dari keluarga dan tekanan sosial semakin membuat saya tertekan. Saya dan suami menjadi sering berselisih paham. Tetapi, puji Tuhan, lama-kelamaan hati saya mulai tenang. Saya mulai percaya bahwa ini bukan hukuman Tuhan, tetapi Tuhan ingin menyatakan kemuliaan-Nya terhadap kami. Meskipun hati sudah tenang, tetapi keinginan mempunyai anak tidak hilang. Saya dan suami berdiskusi untuk adopsi bayi tahun ini. Bagaimana pandangan Gereja terhadap adopsi ini? Bagaimana nantinya saya harus mendidik anak itu supaya tidak menjadi anak yang minder? Bagaimana saya meyakinkan keluarga kami akan rencana ini. Mohon bimbingannya.
Julia, Jakarta
Ibu Julia yang terkasih. Pernikahan yang menyenangkan dan memuaskan memang ditandai -salah satunya- dengan karunia anak. Semua pasangan berbahagia jika Tuhan mempercayakan anak-anak kepada mereka. Bahkan, dalam Gereja Katolik, kemauan untuk mempunyai anak adalah syarat mutlak untuk memperoleh izin menikah secara sah. Betapa Gereja amat menghormati karunia Tuhan ini. Akan tetapi, hal ini tidak sama dengan mengharuskan diri mempunyai anak sampai mengganggu iman kita kepada-Nya. Ada banyak pasutri tidak dikaruniai anak dan terus percaya pada kehendak- Nya. Maka sekali lagi, saya memberi penghargaan pada iman Anda berdua.
Mengenai adopsi, saya kira ini adalah hal lain yang terkait dengan banyak institusi, termasuk negara yang sekarang ini mempunyai peraturan lebih ketat dalam hal adopsi. Jika Anda merasa bahwa adopsi bisa membantu menambah rasa nyaman dan gembira dalam keluarga Anda, mengapa tidak? Ada banyak keluarga yang telah melakukannya. Selain mereka membantu anak-anak yang tidak terawat baik atau kehilangan orangtuanya, mereka juga merasa lebih utuh dengan menjadi orangtua angkat bagi anak adopsi.
Mengadopsi anak tidak semudah yang kita pikirkan. Ada banyak hal yang pantas Anda pertimbangkan. Pertama, adalah soal kesiapan mental dan spiritual. Anda yang mengadopsi harus mempunyai sikap tulus sebagai orangtua, bukan orangtua angkat yang membeda-bedakan. Anda juga harus mempunyai keyakinan bahwa Tuhan telah memilihkan anak itu menjadi bagian dari tanggung jawab seumur hidup seperti anak Anda sendiri. Ketika memutuskan mengadopsi, Anda juga harus yakin bahwa pasangan Anda siap menerima kehadiran anak itu, bukan karena terpaksa mengabulkan permohonan Anda. Sangat menentramkan jika adopsi dilengkapi dengan keputusan bersama yang tulus, sehingga Anak dapat terjamin kesejahteraan lahir dan batinnya.
Jangan khawatir dengan banyak hal, termasuk juga dengan kekhawatiran akan pendidikan yang paling baik. Cinta kasih adalah landasan utama mendidik anak-anak. Perhatian yang cukup, keseimbangan antara dukungan dan larangan; pemberian kebebasan dan pengasuhan yang seimbang, dan pendidikan iman yang memadai akan sangat membantu pertumbuhan yang sehat dari anak kita.
Mengenai keluarga besar yang belum setuju, saya kira Anda tetap bisa menganggapnya sebagai masukan dan inspirasi. Akan tetapi, keputusan kalian berdualah yang paling penting dan menuntut tanggung jawab. Pihak lain hanyalah inspirasi yang membantu proses berpikir. Bicaralah baik-baik dan sampaikan kerinduan Anda mempunyai anak. Yakinkan mereka bahwa Anda memang sudah siap untuk mengasuh, mendampingi, dan membimbing anak yang akan Anda adopsi. Jangan sampai Anda menyesal karena terus mengikuti suara dari luar. Suara terpenting adalah pasangan Anda sendiri, bukan orang lain.
Terakhir, berdoalah sebelum memutuskan. Ambillah kesempatan dan sekaligus risiko untuk mengadopsi anak. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tetapi, jika Anda menyiapkannya bersama Tuhan, barangkali risiko kesulitan di masa depan akan dapat dikurangi. Tindakan Anda termasuk tindakan sosial yang baik. Tuhan memberkati.
RP Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.23, 8 Juni 2014