HIDUPKATOLIK.com – Konflik politik di Timor-Timur, kini Republik Demokrasi Timor Leste, pada 1975 mempengaruhi jalan hidup dan cita-citanya. Tragedi kemanusiaan membulatkan tekadnya mendidik generasi muda Timor Lorosa’e.
Konflik yang dilatari perbedaan pandangan politik di Timor Leste pada 1975, memaksa dia mengungsi ke hutan selama tiga tahun. Demi keselamatan, ia pun meninggalkan bangku sekolah dan keluarga. Padahal saat itu, usianya baru enam tahun. Saat kembali bersekolah setelah kerusuhan, ia terpaksa mengulang kelas.
Tragedi berdarah itu juga merenggut nyawa kakaknya. Menurut warga yang berada di tempat kejadian, sang kakak tewas ditembus timah panas saat berada di sebuah gereja. Tapi ironis, hingga kini jasad dan pusara sang kakak tak ditemukan. Ia dan keluarga sudah berusaha menelusuri jejaknya, namun selalu kembali dengan tangan kosong.
Fragmen hidup ini membuatnya enggan masuk dunia politik. Ia memilih dunia pendidikan sebagai tambatan hati dan cita-cita hingga wafat nanti. “Perbedaan pandangan politik bisa membuat saudara saling membunuh, bahkan antara orangtua dengan anak,” ujarnya saat ditemui di sebuah kafe di Jakarta Pusat awal April lalu.
Memilih pendidikan
Sebenarnya, peluang Agostinho mengukir karir politik di Timor Lorosa’e terbuka lebar. Pada 2000, Kay Rala Xanana Gusmão, pemimpin Partai Consel ho Nacional de Reconstrução de Timor atau Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT), yang menjadi Presiden Timor Leste 2002-2007 dan Perdana Menteri 2007-kini, pernah meminta dia melakukan penelitian terhadap partai politik yang ada di Timor Leste.
Kepercayaan yang diberi Xanana ia jalani. Bahkan selama dua tahun, putra bungsu Agusto De Almeida Fernandes dan Gostinha De Almeida Fernandes ini menjabat sebagai Direktur Peneliti Partai CNRT. Namun, ia menekankan, saat itu perannya hanya sebagai seorang akademisi atau peneliti, bukan tokoh partai. “Terlibat dalam politik senantiasa membuat saya terkenang pengalaman masa lalu. Tragedi yang menimpa kami, orang-orang Timor,” kenang pria kelahiran Uato-Lari, 19 Mei 1969.
Di sela tanggung jawab sebagai pendidik, mantan Wakil Presiden Bidang Penelitian, Pengembangan, Pengawasan dan Evaluasi Para Guru dan Profesional Pendidikan di Kementerian Pendidikan Timor Leste ini tenggelam dalam berbagai kursus dan pelatihan, baik di dalam maupun luar negeri. Agustinho bersyukur bisa mengalami semua itu.
Ia sadar, semua pencapaian itu tak lepas dari peran orangtua, terutama ibunya. Saat ayahnya meninggal pada 1980, ibu mengambil peran dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Penghormatan dan rasa kagum terhadap sang ibu, ia tuangkan dalam disertasinya. Mengutip ungkapan Presiden Amerika, Abraham Lincoln, ia menulis, “Apa yang ada pada diriku dan kelak akan aku capai, aku tetap berhutang budi pada ibuku.”
Kegembiraan lain yang tak bisa ia lupakan adalah karyanya dalam dunia pendidikan selama hampir seperempat abad. “Jika dihitung banyak mahasiswa saya yang meraih tingkat pendidikan doktor. Sebuah kegembiraan yang sangat penting dalam hidup saya,” paparnya.
Kerja di Indonesia
Dedikasi Agostinho dalam dunia pendidikan ini dilirik Kementerian Pendidikan Timor Leste. Ia pernah dipromosikan menjadi Atase Pendidikan RDTL di Negeri Samba Brasil dan Portugal. Namun, dua tawaran tersebut ia tolak, karena jarak yang jauh dari tanah kelahirannya. “Saat itu saya berpikir, apalah arti gaji besar, tapi sekolah anak-anak jadi kacau, karena saya sulit memantau mereka,” ujar Agostinho.
Tawaran serupa datang kembali pada awal 2013. Ia diminta menjadi Atase Pendidikan Timor Leste di Indonesia. Rupanya, keluarga tak keberatan bila ia mengambil kesempatan ini. “Kalau kerja di Indonesia, saya masih bisa kembali ke Timor Leste dan bertemu keluarga kapan saja,” ujarnya. Maka, pada Agustus tahun yang sama, Agostinho pun mulai menjalankan tugas perdananya. Ia bertugas mewakili Kementerian Pendidikan Timor Leste di Indonesia. Sehari-hari, ia bekerja satu kantor dengan Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia.
Kini, sebagai abdi negara ia membantu dan melayani ribuan pelajar Timor Leste yang tersebar di seluruh Indonesia. Agostinho mengatakan, ini merupakan pengalaman menarik, namun menantang, lantaran menuntut kesabaran lebih kala menghadapi dan berkomunikasi dengan orang muda yang memiliki idealisme tinggi. “Apalagi mereka berasal dari negara yang belum lama bangkit dari konflik,” imbuhnya.
Banyak pelajar asal Timor Leste yang belajar di Indonesia, lanjut Agostinho, kurang memahami aturan-aturan hidup di negeri tetangga, terutama dalam mengurus atau memperpanjang ijin tinggal. Ia pun berusaha menyadarkan para pelajar ini, bahwa mereka adalah tamu yang terikat pada aturan “tuan rumah”.
Akan terbersit rasa bangga dalam benak Agostinho, kala menatap generasi muda Timor Leste mengukir prestasi. Tapi ia mengaku, tak pernah memaksa mereka pulang kembali ke Timor Leste. Ia hanya berharap, para generasi Timor Leste tidak melupakan tanah air yang telah melahirkan dan membesarkan mereka.
Agostinho Almeida Fernandes
TTL : Uato-Lari, Timor Leste, 19 Mei 1969
Istri : Idalina de Jesus Sarmento Ornai
Anak :
• Janora Yulia Guterres Ornai de Almeida
• John Frith Ornai Liu de Almeida
• Cancio Wilson Ornai Maia de Almeida Fernandes
• Marcelina Sarmento Ornai de Almeida
• Priscilia Brastil Gusmão Ornai de Almeida
• Iliana Anastásia Ornai de Almeida
Pendidikan:
• SD Uato-Lari
• SMP Negeri Viqueque
• SMAK St Yosep Dili
• Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Matematika Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara
• Magister Pendidikan di Universidade de Brasilia, Brasil
Pekerjaan:
• Dosen Universitas Timor-Timur (1993-1998)
• Dosen Tetap Politeknik Negeri Dili (1994-1999)
• Penatar bidang Matematika di Balai Pelatihan Guru Balide, Dili (1996-1998)
• Dosen Dili Institut of Tecnology (2003-2004)
• Guru SMAK Hati Kudus Yesus Becora, Dili
• Dosen di Universidade Nacional Timor Lorosa’e, Dili (2000-sekarang)
• Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Dili (2011-2013)
• Dosen Pasca Sarjana Universidade Da Paz Dili (2012-2013)
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.24, 15 Juni 2014