HIDUPKATOLIK.com – Salah satu pokok perhatian pastoral Yohanes Paulus II (YP2) ialah perkawinan dan keluarga. Hal itu berlangsung sejak ia masih sebagai pastor di Polandia. Ia adalah filsuf personalis Katolik ala J. Maritain, E. Gilson, E. Mounier. Ia fokus pada etika Max Scheller dan melanjutkan refleksi etis itu dalam pastoralnya. YP2 menulis buku, The Acting Person (1979/1969). Manusia adalah pribadi yang bertindak, subjek perbuatan; ia sadar akan dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ia tidak boleh melempar tanggung jawab atas perbuatannya ke orang lain. Aku bertindak, maka aku ada (Ago ergo sum).
Aku bertanggung jawab atas tindakanku. Aku bertindak, aku bertanggung jawab.
Sebelumnya ia menulis Love and Responsibility (1993/1960). Di sini, ia merenungkan cinta manusia. Ia yakin, seperti G. Marcel, inti relasi intersubjektivitas ialah cinta. Dalam buku ini, ia mendalami cinta dalam perkawinan. Buku ini lahir dari dua sayap pergulatan beliau: Sayap pergulatan pastoral, dan sayap pergulatan filsuf profesional. Cinta harus disertai kesadaran akan tanggung jawab dan kerelaan untuk berkorban. Demikian tesis dasar buku itu.
Kepedulian pastoral Karol Woijtila bermuara dalam Vatikan II. Salah satu dokumen konsili itu ialah Gaudium et Spes (GS). GS 47-52 berbicara tentang perkawinan dan keluarga Kristiani, eksistensi perkawinan dan keluarga Kristiani dalam dunia. Perkawinan dan keluarga Kristiani mempunyai tugas, panggilan, dan tanggung jawab dalam dunia ini.
Saat menjadi Paus (1978), kepeduliannya akan perkawinan dan keluarga tidak berhenti malah makin intensif. Ia memberi rangkaian audiensi (1979-1984) “teologi tubuh”. Itulah pandangan teologi YP2 tentang perkawinan dan keluarga. “Teologi tubuh” itu revolusioner. Kalau dalam sejarah teologi Kristiani, hidup perkawinan dan keluarga dipandang sebelah mata, maka dalam “teologi tubuh”, YP2 mengatakan bahwa hidup perkawinan dan keluarga yang dilandasi cinta, adalah pantulan dinamika relasi cinta abadi dalam Allah Tritunggal. Ini revolusioner. Tahun 1981, “teologi tubuh” ini, muncul dalam Surat apostolik Familiaris Consortio (FC). FC adalah versi resmi “teologi tubuh.” Kalau “teologi tubuh” adalah versi audiensi Rabu-an, maka dalam FC “teologi tubuh” diberi bobot kepausan dengan status surat apostolik.
Selama masa kepausan Beliau, ada dua tonggak perubahan besar yang merekam kepedulian pastoral Paus. Pertama, revisi Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1917 tahun 1983. Salah satu bab penting ialah tentang hidup perkawinan dan keluarga, yang dipandang dari segi hukum. Walau ini dokumen hukum tetapi ada nada filsafat personalis di dalamnya: Ikatan setia dan monogam tidak dilihat sebagai konsekuensi tuntutan hukum belaka, melainkan sebagai konsekuensi cinta dan tanggung jawab personal dalam relasi personal.
Kedua, Katekismus Gereja Katolik (1992). Dalam Katekismus ini ada refleksi hidup keluarga dan perkawinan. Sifat personalis perkawinan juga ditekankan di sini. Paus yakin jika ada better marriage, maka ada holier culture. Jika hidup perkawinan dan keluarga semakin baik (better marriage), akan muncul budaya yang lebih suci (holier culture). Keluarga adalah sel masyarakat. Perbaikan fundamental pada sel itu, pasti berdampak pada masyarakat. Tentu hal itu tidak serba instan, melainkan lewat proses pendidikan kesadaran akan cinta, akan perbuatan/tindakan, dan tanggung jawab, akan pribadi yang sadar dan bertanggung jawab. Jadi, filsafat personalisme masih relevan. Walau secara kurun ia sudah lewat, tetapi secara substansi ia tidak usang. Itu perlu demi cita-cita luhur: Better marriage, holier culture.
Fransiskus Borgias M.