HIDUPKATOLIK.com – Prioritas utama misi mereka adalah mencari dan merawat orang terlantar. Mereka percaya, Tuhan bakal mencukupi segala kebutuhan.
Suatu hari, Suster John mengendarai mobil menuju pasar ikan, di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sejak menetap di ujung barat nusa bunga, kelahiran Kyung Buk Do, Provinsi Chung Do Gun, Korea Selatan itu hampir saban hari keluar-masuk pasar.
Tiap ke pasar, tak berarti Sr John berbelanja. Dia lebih acap menyusuri lorong demi lorong, sembari mencari tujuan karya misinya di Indonesia. Dalam pencarian itu, tak jarang para pendagang menyapa dirinya. Dia membalas dengan melempar senyum sembari menganggukkan kepala. Maklum, dia belum banyak mengetahui kosakata bahasa Indonesia.
Bila ada yang bertanya tentang kebutuhannya, Sr John bakal mengunci rapat bibirnya. Dia hanya berkata dalam hati, dirinya sedang mencari orang sakit dan menderita, terutama yang terlantar atau tak memiliki tempat bernaung. Ternyata, tak mudah mendapati orang dengan kondisi amat memprihatinkan seperti itu di Labuan Bajo.
Menurutnya, ikatan kekeluargaan di sini amat dekat. Sehingga, mereka akan menampung bila ada keluarganya yang sakit, meski kurang mampu secara ekonomi. Tentu, hal ini bakal berpengaruh pada kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada keluarganya. Namun, hari itu, mata Sr John seakan terbelalak. Dia gembira menemukan seorang yang amat dirindukan, bak sepasang kekasih yang baru bersua setelah sekian lama berpisah.
Tinggal di Makam
Sosok yang ditemui Sr John adalah perempuan berusia sekitar 60 tahun. Rambutnya panjang. Di kedua tangannya melingkar banyak gelang, pakaian dan tubuhnya tak bersih serta beraroma tak sedap. Sr John menebak, sepertinya busana dan tubuhnya amat jarang tersentuh air dan sabun. “Theresia,” jawab perempuan itu, saat Sr John menanyakan namanya.
Mama Theresia, demikian Sr John memanggil perempuan itu. Mama Theresia menolak ajakan biarawati itu untuk makan bersama dengannya. Dia beralasan dirinya sudah makan, masih kenyang. Sr John meminta kepada Mama Theresia untuk mengantar ke rumahnya. Mama Theresia menyanggupi. Namun, langkah mereka berhenti beberapa kali. Sebab tiap kali melihat rumput di jalan, Mama Theresia selalu mencabut tumbuhan itu.
Begitu tiba tujuan, Sr John tercengang sewaktu Mama Theresia menunjuk tempat tinggalnya. Gambaran Sr John tentang rumah: bangunan tempat tinggal yang memiliki kamar, pintu, dan jendela, amat meleset. Tempat tinggal Mama Theresia tak memiliki bagian-bagian itu. Ukuran rumahnya sekitar 1,25 m x 2,5 m. Ukuran itu hanya untuk makam. Ternyata, sudah lebih dari sepuluh tahun Mama Theresia tinggal di kuburan. “Itu bukan makam orangtua atau keluarganya,” terang Sr John, di Rumah Kasih Kkottongnae Indonesia, Labuan Bajo, Minggu, 3/6.
Peristiwa itu mengundang Sr John untuk mengajak Mama Theresia tinggal bersamanya. Pada waktu itu, Sr John bersama satu koleganya masih mengontrak satu rumah warga. Mama Theresia menolak ajakan itu. Meski demikian, Sr John mengunjungi sekaligus mengantar makanan untuk Mama Theresia setiap hari.
Setahun kemudian, Mama Theresia baru berkenan tinggal bersama Sr John. Namun, kebersamaan mereka di Labuan Bajo tak berumur panjang. Sr John mendapat penugasan baru di Korea Selatan. Dia didapuk sebagai Superior Kongregasi Saudari Yesus Kkottongnae. Kendati demikian, perawatan terhadap Mama Theresia terus dilanjutkan oleh Sr Thomas, yang kini menjadi Pemimpin Rumah Kasih Kkottongnae Indonesia.
Meja yang Sama
Hingga Juni, selain Mama Theresia ada lima pasien lain yang tinggal di Rumah Kasih. Dari enam pasien, dua orang mengalami gangguan psikis, dan sisanya sakit secara fisik. Mereka dilayani oleh dua suster, satu aspiran, satu karyawati, dan satu dokter relawan. Praktis, banyak pekerjaan yang harus mereka tangani. Sementara itu, mereka terus mencari dan menyambut orang sakit serta terlantar di luar. “Saya menjalani yang sudah dipercayakan kepada saya. Semua saya serahkan kepada Tuhan. Dia pasti punya rencana terbaik bagi saya di sini,” ungkap Sr Thomas, Senin, 4/6.
Sr John pun tak ingin terburu-buru mengirim koleganya ke Indonesia. Dia ingin terlebih dulu melihat perkembangan penghuni Rumah Kasih Indonesia. Sr John juga tak serta-merta mengumumkan penerimaan calon biarawati Kkottongnae untuk membantu karya misi tarekatnya di Indonesia.
Baginya, prioritas utama Kkottongnae Indonesia saat ini adalah membantu warga yang sakit dan terlantar. Dia amat yakin, jika mereka memperhatikan mereka yang menderita, Yesus bakal mengirim bantuan, entah karyawan atau calon anggota tarekatnya. Hal senada juga disampaikan oleh Asisten Umum Kongregasi Saudara Yesus Kkottongnae, Bruder James Sin. “Lebih dulu mengisi kamar kosong untuk orang sakit. Itu prioritas. Sedangkan formasi kemudian.”
Br Sin menambahkan, semakin banyak orang yang menggunakan kamar atau rumah ini untuk orang sakit, sebenarnya hal itu juga promosi untuk panggilan sekaligus undangan kepada para penderma. Dia juga masih mengingat saat datang ke Labuan Bajo dan bertemu dengan Uskup Ruteng waktu itu, Mgr Hubertus Leteng. Mgr Hubert berpesan agar jangan datang hanya untuk mencari panggilan.
Sentilan tersebut juga dipertegas oleh Administrator Apostolik Ruteng, Mgr Silvester Tung Kiem San, dalam sambutannya usai Rosario di Rumah Kasih, Senin, 4/6. Mgr San mengatakan, di Flores, secara khusus di Keuskupan Ruteng, terdapat banyak kongregasi. Dia berharap, komunitas-komunitas tersebut ikut berkontribusi membawa kebaikan untuk masyarakat setempat.
Ada hal menarik saat berkunjung dan bermalam di komunitas kecil Kkottongnae Indonesia. Pada saat makan, para suster menyiapkan makanan untuk para pasien, menyantap menu yang sama, serta berada pada meja yang sama dengan mereka. Pemandangan ini membawa kembali kepada kisah Kakek Choi Kwi-Dong (pengemis tuna wisma yang menginspirasi Pendiri Kkottongnae, Pastor John Oh Woongjin), yang memperhatikan sesama tuna wisma yang menderita dengan memberikan makanannya kepada mereka, meski kondisinya juga tak lebih baik dari mereka.
Tetap Berkomitmen
Awal Juni lalu, Rumah Kasih diresmikan dan diberkati. Pada kesempatan itu hadir Mgr San, Mantan Visitator Apostolik Ruteng sekaligus Uskup Bandung Mgr Antonius Franciskus Subianto Bunyamin OSC, Pastor Oh, sejumlah imam Keuskupan Ruteng, biarawan-biarawati dari beberapa tarekat, sejumlah penderma, serta umat.
Pembangunan Rumah Kasih berlangsung kurang dari setahun. Menurut Suster John, dari beberapa biara Kkottongnae di luar Korea Selatan, pembangunan Rumah Kasih di Indonesia adalah yang paling cepat rampung. Gerak tersebut tak terlepas jasa banyak para penderma. Hal ini diakui oleh Wakil Sekretaris Kkottongnae Indonesia, Gaye Pudjiadi. “Ini
semua berkat penyelenggaraan Ilahi. Saya meyakini, Tuhan-lah yang menggerakkan hati para donatur. Bagi saya, peristiwa ini juga menjadi perjalanan iman saya. Tentu, dalam menjalankan karya ini, saya juga didukung oleh suami, keluarga, dan tim.”
Dukungan para donatur tak hanya dari kalangan Katolik, tapi juga lintas iman, salah satunya, Amrul Tantyo Tan. Baginya, Kkottongnae memiliki perhatian kepada persoalan kemanusiaan. Maka, untuk satu tujuan yang baik perlu didukung secara maksimal. Dokter Maria bersedia menjadi relawan kesehatan di Rumah Kasih karena melihat karya suster Kkottongnae langsung menyentuh masyarakat.
Menurut Gaye, meski Rumah Kasih telah rampung dan diresmikan, dia dan rekan-rekannya tetap berkomitmen untuk membantu perawatam Rumah Kasih ini. Kkottongnae juga akan merealisasikan harapan Mgr Hubert untuk memperhatikan para imam di Keuskupan Ruteng, secara khusus membangun rumah jompo untuk para imam lanjut usia dan purnakarya. “Selama saya dan tim masih dipakai Tuhan untuk karya ini, kami akan tetap membantu,” pungkas Gaye seraya tersenyum.
Yanuari Marwanto