HIDUPKATOLIK.com – Minggu, 29 Juli 2018; Hari Minggu Biasa XVII 2 Raj 4;42-44; Mzm 145:10-11, 15-16, 17-18; Ef 4:1-6; Yoh 6:1-15
“Di hadapan Yesus, yang tersisa menjadi bermakna, yang terbuang menjadi terpandang.”
KISAH Yesus memberi makan 5000 orang adalah satu-satunya mukjizat Yesus yang terdapat dalam keempat Injil. Penggandaan roti adalah tanda keempat yang dicatat Yohanes. Kisah ini meneguhkan bahwa yang ilahi sungguh dialami secara manusiawi. Keilahian Yesus hadir dalam hal yang sangat manusiawi.
Dalam kisah penggandaan roti, Yesus tahu apa yang harus diperbuat-Nya. Ketika Filipus mengatakan mengenai uang dua ratus dinar dan Andreas mengajukan 5 roti dan 2 ikan, Yesus menerimanya. Yesus mengucap berkat atas 5 roti dan 2 ikan.
Makanan yang tidak berarti menjadi sungguh berarti berkat campur tangan ilahi. Mereka yang tidak mengerti dibuat mengakui Yesus sebagai nabi. Yesus adalah nabi yang membuat yang ilahi sungguh manusiawi.
Para murid Yesus tidak hanya dibuat kenyang tetapi juga dilibatkan dalam mengumpulkan sisa makanan. Di hadapan Yesus, yang tersisa menjadi bermakna, yang terbuang menjadi terpandang. Sejak Andreas membawa 5 roti dan 2 ikan, Yesus mengajar para murid untuk tidak meremehkan hal-hal yang kecil, sepele dan tak berarti. Perhatian Yesus adalah kepedulian ilahi.
Kepedulian-Nya merengkuh seluruhnya. Kepedulian-Nya memperbaharui hati manusia. Kisah memberi makan roti juga terjadi pada masa Nabi Elisa. Datanglah seseorang dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.”
Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman Tuhan: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.” Kisah Allah menjaga umat-Nya adalah nyata.
Dengan penggandaan roti, Yesus membuat kenyataan itu untuk menyempurnakan iman para murid-Nya. Yesus menghindar dari cara-cara yang tidak manusiawi. Yesus menghindar dari cara pemaksaan atas diri-Nya untuk dijadikan raja. Sebab yang ilahi itu sungguh dialami secara manusiawi bila dengan pembaharuan budi.
Berkat baptisan kita dilibatkan dalam keilahian Yesus. Kita dipanggil untuk mewartakan keilahian Yesus yang telah tercurah dalam hati. Kita diutus untuk mewujudkan kepedulian Yesus dalam kehidupan kita. Kepedulian Yesus tampak dalam hal yang sungguh nyata secara manusiawi.
Bukan hanya tertarik pada pemberian daripada pemberi, bukan hanya tertarik pada roti tetapi pada Yesus sang pemberi roti. Jangan sampai kita berhenti pada pemberian dan melupakan pemberi. Ketertarikan hanya pada pemberian menimbulkan cara-cara yang tidak manusiawi seperti pemaksaan.
Berebut kuasa, ujaran tak beretika dan persaingan tidak sehat adalah contoh-contoh mentalitas pemaksaan. Sebaliknya keterpikatan pada sang pemberi membuat kita mampu merawat yang ilahi tampil secara manusiawi. Yesus melibatkan para murid-Nya tidak menunggu sampai mereka sempurna. Yesus berkarya melalui ketidakmengertian para murid.
Yesus mengajar para pengikut-Nya melalui kesalahpahaman terhadap diri-Nya. Ia tidak memilih orang yang kuat atau yang merasa diri kuat. Ia memilih orang yang lemah supaya Ia dapat menyatakan kuasa-Nya melalui kelemahan kita. Karena itu Ia memberi kita tugas yang tidak dapat kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri karena melalui kita, Ia ingin menyatakan keilahian-Nya.
Bantuan kecil untuk yang membutuhkan, duduk bersama dengan teman yang berduka, sapaan sederhana untuk orang yang menderita, tepukan tulus untuk anak yang terluka adalah serpihan kuasa ilahi yang sungguh manusiawi. Syukur atas kuasa ilahi boleh kita wujudkan melalui kelemahan dan kekecilan kita.
Mgr Pius Riana Prapdi
Uskup Ketapang