HIDUPKATOLIK.com – Belum lama ini, saya berkunjung ke Yogyakarta. Teman yang menjemput di bandara mengajak saya makan di sebuah angkringan, dekat kampus Universitas Gadjah Mada. Sembari makan, teman saya memperkenalkan kata baru, lifestyling. “Ini cara orang Yogyakarta survive mengikuti perkembangan zaman yang kian mahal,” katanya. Ibarat, beli barang “KW”, tapi sepintas mirip barang original alias asli. Barang “KW” merujuk pada barang palsu.
Kata teman saya, di Yogyakarta ada fenomena baru: banyak restoran ternama membuka cabang, tetapi menawarkan paket hemat, yang tidak ada di Jakarta. Daya beli orang Yogyakarta umumnya lebih rendah, tapi tidak berarti mereka tak tertarik pada kemewahan, seperti orang-orang Jakarta. Angkringan, tempat kami makan didandani bak restoran, tapi harga makanan terjangkau kalangan mahasiswa. Fasilitas wifi pun ada. Ini contoh lifestyling yang dikatakan teman saya itu.
Kreatif, pikir saya. Sebab, di Jakarta terjadi kebalikan. Barang kualitas murah asal dipasangi label harga selangit bisa membuat orang berebut beli, sedangkan barang bermutu belum tentu dilirik jika harga dipatok rendah. Ini urusan gengsi lebih daripada soal daya beli.
“Restoran yang tidak menawarkan paket hemat pasti cepat bangkrut, tak peduli bagusnya seperti apa di Jakarta,” sambung teman saya. “Di sini, resto warungan justru berlomba mempercantik diri layaknya restoran kesohor, tapi harga terjangkau. Coba pikir, jika sudah begitu, sulit membedakan mana original dan mana “KW”. Akhirnya ya sama saja,” ujar dia sambil terkekeh.
Orang Yogyakarta memiliki 1001 cara untuk gaya, meskipun kantong cekak. Sebaliknya, orang Jakarta cenderung tak peduli dari mana uang dan berapa ongkos, yang penting turut nyemplung dalam pola hidup hedonis. Buat orang Yogyakarta, biar miskin yang penting gaya. Mereka maklum, “gaya” bisa jadi hanya kiasan, dan tak mesti selalu berupa kenyataan.
Ternyata, ada yang seolah-olah “gaya”, tidak betul-betul “gaya”, sebab semua serba irit. Orang Jakarta terlampau naif, mengira bahwa “gaya” harus selalu merupakan fakta, atau tidak sama sekali. Maka, ihwal “gaya” nyaris menjadi soal hidup dan mati bagi mereka.
Kenichi Omae, konsultan manajemen Jepang, menyatakan, kita adalah apa yang kita beli. Ini era konsumsi, Bung! Eksistensi kita ditentukan oleh apa yang kita konsumsi. Sosiolog Thorstein Veblen menelurkan istilah yang pas untuk istilah ini, yaitu conspicuous consumption, pameran kekayaan melalui hambur-hambur uang untuk mencapai status sosial tertentu, sehingga barang yang dibeli tidak mesti betul-betul dibutuhkan. Berbeda dari orang Yogyakarta yang kreatif, motto hidup orang Jakarta yang boros adalah: biarpun biaya tinggi, yang penting gaya.
Namun, ini bukan fenomena baru. Orang Farisi pada zaman Yesus sudah mempraktikkan sesuatu yang mirip dengan perilaku lebay ini, meski dalam bentuk yang berbeda. Bahkan, mereka lebih parah lagi, sebab tidak keluar uang satu senpun untuk itu. Yang diobral di depan umum adalah daftar kebaikan diri sendiri sembari mengecilkan sumbangan orang lain. Mereka berteriak-teriak di perempatan dan sudut jalan yang ramai serta berdoa keras untuk menarik perhatian. Tujuannya, apalagi kalau bukan status sosial? Sayang, Tuhan sama sekali tidak terkesan. Ini hanya ingin gaya tanpa keluar ongkos. Di Yogyakarta pasti ditertawai, apalagi di Jakarta pasti juga dicemooh.
Lalu, umat Katolik harus masuk kubu mana? Orang Katolik tak perlu latah. Tak perlu hambur uang, sebab semua kebutuhan diberikan Tuhan dalam kelimpahan, pun tak guna pamer harta sebab semua karunia Tuhan. Kita “kaya”, tapi tak perlu “gaya”. Kita bukan Yogyakarta, bukan pula Jakarta, apalagi Farisi. Kita, orang Katolik!
Manneke Budiman
HIDUP NO.27, 6 Juli 2014