HIDUPKATOLIK.com – Usianya 12 tahun kala ia harus memeluk maut demi mempertahankan mahkota kegadisannya. Kendati masih sangat belia, kualitas hidup kristianinya membuat kagum banyak orang. Ia menjadi salah satu patron World Youth Day 2013.
Senin pagi, 15 Juni 1931, Albertina Berkenbrock menyusuri kebun kacang milik keluarganya. Gadis remaja ini tengah mencari seekor sapi milik keluarganya yang terlepas. Ia menjelajah hampir ke setiap sisi perkebunan sambil terus memanggil nama sapinya. Ia berharap, sapi itu mengenali suaranya dan datang.
Saat sudah berada jauh di dalam kebun, ia berpapasan dengan Maneco Palhoça (kadang dikenal bernama: In- dalício Cipriano Martins atau Manuel Martins da Silva). Maneco ialah pekerja kebun yang sedang mengemas hasil bumi dalam gerobak. Albertina bertanya pada Maneco perihal sapi yang hilang. Alih-alih membantu anak majikannya, Maneco justru berniat jahat padanya. Ia memberi arah jalan yang salah pada gadis berambut panjang itu. Maneco berhasrat untuk melampiaskan nafsu birahinya pada Albertina.
Tanpa berprasangka buruk, Albertina mengikuti arahan Maneco. Ia tak menyadari Maneco membuntuti langkahnya. Sambil mengendap-ngendap, Maneco menunggu saat yang tepat melancarkan aksi biadabnya. Ia berusaha agar Albertina tidak sampai melihat dan mengenalinya saat menggauli gadis itu. Namun di tengah perjalanan, Albertina mendengar bunyi gemerisik dedaunan dan ranting kering. Ia mengira, bunyi itu adalah langkah sapi yang ia cari. Ketika menoleh, ternyata Maneco sudah berdiri di belakangnya.
Albertina kaget! Namun dengan santun ia menyapa Maneco. Ia berpikir, Maneco ingin membantunya mencari sapi. Tak disangka, Maneco langsung berterus terang mengungkapkan niat busuknya. Ia ingin menyetubuhi Albertina. Segera si gadis menangkis keinginan Maneco. Dengan polos, Albertina pun menjelaskan, niat dan tindakan itu berdosa. Bahkan, Albertina membeberkan nadarnya bahwa ia ingin mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya hanya bagi Tuhan.
Mendengar penolakan dan penjelasan Albertina yang lugu, Maneco justru kian kalap. Ia langsung menyeruduk tubuh Albertina hingga terjerembab di tanah basah. Mulut gadis malang itu dibekap dengan rambutnya agar tak bisa berteriak. Dengan sekuat tenaga Albertina meronta demi menyelamatkan mahkota kegadisannya. Birahi Maneco kian meluap! Iblis telah merasuki dan menggelapkan matanya. Ia mencabut pisau dan menggorok leher gadis berusia 12 tahun itu hingga tewas. Sadar korbannya tak lagi bernyawa, Maneco kabur.
Dalang Terbongkar
Demi menutupi kejahatannya, Maneco menyebar fitnah. Tuduhan pelaku pembunuhan ditudingkan pada João Candinho. Warga awalnya percaya atas kisah fiktif ciptaan Maneco. Segala pembelaan dan kesaksian João untuk menepis fitnah atas dirinya tak digubris warga. Ia nyaris diadili massa. Untung, polisi segera datang dan meringkusnya.
Tabir rahasia tragedi Albertina perlahan tersingkap. Kala jenazah si gadis disemayamkan di rumahnya, Maneco datang melayat. Inilah modus untuk menutupi aksi biadabnya. Saat Maneco berada di hadapan jenazah Albertina, leher gadis itu serta merta mengucurkan darah segar. Meski telah dibalut perban, darah segar terus mengalir dan justru kian tak terbendung. Para pelayat kaget. Maneco pun panik. Ia bergegas pergi ketika para pelayat bingung menghadapi peristiwa janggal itu. Dalam sekejap, peristiwa ini segera tersebar luas.
Pihak berwajib lalu menyambangi rumah Albertina guna membuktikan kebenaran kabar itu. Mereka menghadirkan tersangka João. Digelandang hingga di hadapan jazad Albertina, João dipaksa bersumpah, sembari meletakkan salib di dada si gadis. Sambil menangis, João mengatakan Maneco telah memfitnahnya, dan Manecolah dalang semua ini. Aliran darah segar dari leher Albertina langsung berhenti. Ketakjuban para pelayat pun kian berlipat. Mereka akhirnya sadar dan segera berhamburan mencari Maneco di rumahnya.
Maneco diringkus ketika sedang bersiap melarikan diri. Ia menjalani proses hukum dan dijebloskan ke penjara. Setelah mendekam di bui beberapa tahun, ajal menjemputnya. Menjelang kematiannya, ia mengakui telah membunuh Albertina karena gagal melampiaskan nafsu bejatnya. Ia merasa sangat berdosa. Keluarga Albertina telah banyak berjasa bagi keluarga Maneco, namun justru tangannya berlumuran darah dengan menghabisi nyawa putri majikannya.
Teladan Kesalehan
Albertina Berkenbrock lahir di São Luís, Imaruí, Santa Catarina, Brazil, 11 April 1919. Meski lahir di negeri ‘Samba’, ia mewarisi darah Jerman. Kakek dan nenek dari garis sang ayah ialah imigran dari Schöppingen, Jerman. Mereka hijrah ke Brazil bersama tiga anaknya.
Di Brazil, keluarga Jerman ini membuka usaha pertanian. Kesuksesan usaha ini dilanjutkan oleh ayah Albertina. Keturunan keluarga ini tumbuh dalam kondisi ekonomi berkecukupan. Orangtua Albertina, Henrique dan Josefina Berkenbrock, mewarisi lahan pertanian luas dengan banyak pekerja. Selain itu, keluarga ini juga menanamkan nilai-nilai kristianitas yang kental. Sejak kecil, bersama tujuh saudaranya, Albertina dididik untuk hidup sederhana, solider dan gemar menolong sesama. Orangtuanya pun menunjukkan keteladanan hidup saleh dan pekerja keras.
Dalam keluarga, mereka senantiasa makan bersama. Mereka punya kebiasaan untuk memulai dan mengakhiri tiap aktivitas dengan doa bersama. Ekaristi harian pun menjadi santapan rohani mereka. Sang bunda akan menutup hari dengan cerita pengantar tidur untuk buah hatinya. Aneka kisah dalam Kitab Suci ia tuturkan sebelum anak-anak terlelap di peraduan mereka.
Teladan kebaikan dan warisan kesalehan keluarga ini mengalir dalam diri Albertina. Ia tumbuh menjadi gadis remaja yang sopan, ringan tangan dan murah hati. Banyak orang –terutama teman-temannya– kagum akan pribadi gadis berambut pirang ini. Para gurunya tak sungkan mengamini pujian pada Albertina. Di sekolah, ia dikenal sebagai siswi yang ramah, rajin, berprestasi dan sabar.
Di rumah, Albertina gemar membantu orangtuanya. Pun saudara-saudarinya dalam hal studi. Di tengah teman sepermainan, ia acapkali membagi-bagikan roti. Ia bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak para pekerja di perkebunan orangtuanya.
Beberapa tahun setelah kematiannya, banyak orang bersaksi tentang keberhasilan doa permohonan melalui perantaraan Albertina. Tak sedikit pula yang menjulukinya martir iman. Meski usianya pendek, hidupnya mencerminkan kualitas keutamaan kristiani bagi orang di sekitarnya. Dekrit kemartirannya disetujui Vatikan pada 16 Desember 2006. Ia digelari Venerabilis oleh Paus Benediktus XVI. Lalu pada 20 Oktober 2007, pesta beatifikasi martir cilik Brazil ini digelar di Katedral Tubarão, Brazil. Nama Beata Albertina Berkenbroch sempat mengemuka sebagai salah satu patron World Youth Day 2013 di Brazil. Gereja mengenangkan kemartirannya tiap 15 Juni.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.27, 6 Juli 2014