HIDUPKATOLIK.com – Betapa membingungkan dan tak menarik Pemilu kali ini. Dibandingkan Pemilu sebelumnya, baru kali ini rakyat Indonesia dihadapkan pada situasi yang paling buruk. Bukan hanya koalisi partai pasca Pemilu Legislatif (Pileg) yang lebih menggambarkan situasi pragmatis, tetapi persaingan pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) berkembang menjadi tidak sehat.
Kampanye negatif dilancarkan tim sukses masing-masing pasangan. Bukan hanya itu, bahkan kampanye hitam seperti sengaja dikembangkan para pendukung masing-masing pasangan calon. Media sosial menggambarkan keriuhan ini. Masyarakat seperti dibuat terlena dan lupa bahwa kampanye Pilpres adalah kampanye dalam rangka untuk memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bangsa Indonesia. Pasangan yang terpilih akan memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.
Kampanye hitam yang berlangsung terus-menerus membuat masyarakat bingung dan apatis. Hal ini juga menyebabkan banyak orang memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, dua calon pasangan terbaik bangsa Indonesia ini akan terpuruk menjadi dua calon pasangan terburuk. Jika ini terjadi, tentu bukan hanya legitimasi pemerintah ke depan yang lemah, tetapi juga demokrasi akan berada pada titik nadir yang berbahaya.
Masyarakat yang menonton televisi bingung melihat isi siaran yang saling bertolak-belakang, terutama antara “tv biru” dan “tv merah”. Begitu juga koran dan media online. Hal ini tak lain karena pemilik dan sejumlah awak media ikut aktif mendirikan partai dan menjadi penyokong fanatik salah satu Capres- Cawapres.
Indonesia seolah-olah tengah di ambang ancaman perpecahan. Tarik ulur dan pro-kontra terjadi bukan hanya terjadi di antara para pensiunan jendral dan para menteri yang masih aktif, tetapi juga dari kalangan artis, wartawan, penyanyi, seniman, atlet, tokoh ormas, para cendekiawan, guru besar, serta tokoh agama. Lantas siapa lagi yang bisa menjadi panutan adil dalam mengambil sikap netral?
Baru kali ini, bangsa Indonesia mengalami situasi seperti ini. Situasi yang ada menonjolkan head to head antar pasangan. Bahkan di Bantul, Yogyakarta telah terjadi tawuran antarmassa pendukung pasangan Capres-Cawapres. Negara seperti mengalami kevakuman fungsional. Penguasa menyatakan “kami netral”, tapi muncul sinyalemen kuat bahwa orang-orang di lingkaran kekuasaan ikut memainkan peran dalam kemunculan kampanye hitam terhadap satu pasangan.
Celakanya, semua orang seperti permisif dan acuh terhadap situasi ini. Institusi negara dan hukum seperti tak berdaya menghadapi semua ini. Perlu diingat, proses Pemilu saat ini adalah proses demokrasi. Pasangan Capres-Cawapres yang ada adalah hasil kompromi dari komposisi partai pasca Pileg. Kedua pasangan adalah dua calon terbaik dari proses politik yang ada.
Masyarakat mungkin boleh bersyukur, kampanye Pilpres kali ini bersamaan dengan Piala Dunia. Melalui tayangan televisi, masyarakat bisa menyaksikan berbagai pertandingan yang melibatkan para pemain bola kelas dunia dengan menjunjung sportivitas dan ketaatan pada aturan permainan.
Di tengah kecamuk kampanye hitam dan isu sensitif terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), kita dihadapkan pada pertanyaan besar: “Bagaimana orang Katolik mesti bersikap?” Memang ini tidak mudah. Bisa dipastikan, umat Katolik juga akan memilih calon pasangan masing-masing. Setiap orang memilih pasangan sesuai pilihannya. Hal ini terkait erat dengan pengalaman, persepsi, serta visi masing-masing calon.
Barangkali, siapapun yang menang tak terlalu penting. Yang jelas, sebagai orang Katolik yang mencintai Indonesia, kita mesti berani mengatakan, “Saya akan berada di garda terdepan untuk memimpin rakyat kalau pemimpin Indonesia lima tahun ke depan ternyata melakukan korupsi, melanggar hak asasi manusia, dan mengabaikan aspirasi rakyat kecil!”.
Stanley Adi Prasetyo
HIDUP NO.28, 13 Juli 2014