web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Beato Pier Giorgio M.F.: Memeluk Hikmat, Mengangkat Martabat

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Usianya masih amat muda saat maut menjemputnya. Namun, sederet karya amalnya terpatri di hati kaum miskin.

Suatu malam pada 1920 di Berlin, Jerman, iklim tak bersahabat. Suhu udara anjlok 12 derajat di bawah nol. Nyaris tak ada orang yang berani keluar rumah, kecuali mereka yang punya keperluan penting dan mendesak. Seorang pemuda Italia, Pier Giorgio Michaelangelo Frassati, terpaksa menerjang dingin untuk sampai ke rumahnya usai kuliah.

Dalam perjalanan itu, Pier bersua dengan seorang kakek, sekarat kedinginan di pinggir jalan. Tanpa mempedulikan diri, ia justru menanggalkan mantel untuk membungkus tubuh lelaki malang itu. Nyawa si kakek selamat.

Ayahnya terkejut mendapati putranya pulang dengan pakaian seadanya di tengah cuaca ekstrim. Ia pun naik pitam. Alih-alih melawan, Pier dengan santun mengisahkan kejadian yang ia alami saat perjalanan pulang. Bukan kali itu saja Pier menunjukkan sikap belarasa pada sesama yang menderita, miskin dan teraniaya. Saat kelulusannya, ia ditawari sang ayah mobil atau uang sebagai kado. Ia memilih uang. Alasannya sederhana. Uang itu ia pakai untuk membantu orang miskin yang ia jumpai atau yang minta bantuan padanya.

Tak jarang Pier merelakan ongkos transportnya untuk orang miskin. Ia memilih jalan kaki untuk pulang ke rumah. Jika harus naik angkutan umum, ia selalu memilih moda transportasi yang digunakan kelas bawah. Hal ini kerap menjadi pertanyaan teman-temannya: bagaimana mungkin anak orang kaya mau berjubel dengan rakyat jelata? Solidaritas dan kedermawanan putra sulung keluarga Frassati ini sudah tertanam sejak kecil. Suatu ketika, seorang perempuan miskin bersama anak lelakinya yang masih kecil datang ke rumah keluarga Frassati. Saat melihat kedatangan tamu, Pier kecil segera berjingkat keluar rumah untuk menemui mereka. Ia tertegun melihat bocah seusianya berdiri di samping ibunya tanpa kasut. Tanpa banyak kata, ia melepaskan sepatu dan memberikannya pada tamu istimewanya itu.

Keluarga Terpandang
Pier lahir di Turin, Italia, 6 April 1901. Sulung buah hati pasangan Alfredo Frassati dan Adelaide Ametis ini berasal dari keluarga bergelimang materi. Orangtuanya sangat terpandang di Italia. Alfredo termasuk pemilik salah satu koran nasional terbesar di Italia yang berhaluan liberal, La Stampa Selain itu, ayahnya berkecimpung dalam kancah politik. Di antaranya, ia menjadi Senator Italia yang kemudian hari didapuk sebagai Duta Besar Italia di Jerman (1920).

Sementara Adelaide terhitung dalam jajaran pelukis yang namanya cukup diperhitungkan di negara pizza. Karya-karyanya kerap terpampang di ajang pameran lukisan “Venensia Biennale”. Kecintaannya pada seni menjadi alasan Adelaide membubuhkan nama Michaelangelo pada putra sulungnya.

Setahun pasca kelahirannya, 18 Agustus 1902, Pier mendapat seorang adik perempuan, Luciana Frassati. Hubungan kakak- beradik ini berjalan baik hingga mereka menginjak dewasa. Pier tak sungkan curhat pada si adik tentang perasaan dan cintanya pada gadis pujaannya, Laura Hidalgo. Namun, cinta itu terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Orangtua mereka, terutama sang ibu, tidak menyetujui gadis itu bersanding di pelaminan bersama putranya. Penyebabnya, perbedaan status sosial. Selain itu, perceraian orangtua Pier memicunya untuk mengurungkan niat memadu kasih dengan Laura.

Meski bergelimang harta, kehidupan keluarga Pier bukanlah lahan subur untuk pendidikan iman dan moral. Ayahnya seorang agnostik. Sementara ibunya bukanlah penganut Katolik yang taat. Pier mendapat banyak belajar tentang kekatolikan dari neneknya hingga ia tertarik dan dibaptis pada 20 Juni 1910 di Gereja Corpus Domini. Ia menerima Komuni Pertama di Kapela Sister Helpers of the Souls in Purgatory, 19 Juni 1911.

Doa dan Karya
Pier bukan siswa yang brilian dalam bidang akademik. Justru sebaliknya, ia pernah tinggal kelas karena gagal dalam pelajaran Bahasa Latin. Orangtuanya kemudian memindahkannya ke sekolah di bawah asuhan para Jesuit. Di tempat inilah ia terlibat dalam dua komunitas kerohanian: Kerasulan Doa dan Persekutuan Sakramen Mahakudus.

Tamat sekolah menengah, Pier mendaftarkan diri ke Fakultas Teknik Mesin Industri di Royal Polytechnic, Turin (1918). Di sana ia mengambil spesialisasi Teknik Pertambangan. Selain panjat tebing dan bermain ski yang menjadi kegemarannya, ia getol berkecimpung dalam kegiatan sosial dan amal, doa, dan komunitas kerohanian.

Pada periode 1919-1922, Pier terlibat dalam sejumlah organisasi. Di antaranya, Serikat St Vincentius a Paolo dan Ordo Ketiga Dominikan. Dalam Serikat St Vincentius a Paolo, ia terjun untuk melayani orang sakit dan miskin, merawat anak yatim piatu dan tentara yang cidera dalam Perang Dunia I. Selain gandrung dengan karya karitatif, ia melibatkan diri dalam dunia pers di koran “Momento”. Koran ini berisi ulasan dan refleksi atas Ensiklik Rerum Novarum yang dipromulgasikan Paus Leo XIII. Koran ini menjadi ajang propaganda keadilan sosial dan ekonomi sesuai amanat ensiklik yang terbit pada 15 Mei 1891.

Darah mudanya kian bergelora dalam aktivitas kemanusiaan. Pier juga bergabung dalam Organisasi Pelajar Katolik, Aksi Katolik dan Partai Popular Katolik. Organisasi itu menghembuskan semangat Ajaran Sosial Gereja dan berkonfrontasi dengan para pendukung fasisme Italia yang dinahkodai Benito Mussolini. “Karya amal tidaklah cukup, kita butuh perubahan sosial!” Demikian jargon yang selalu ia gemakan.

Akhir Peziarahan
Aktivitas Pier sontak terhenti saat dokter menjatuhkan vonis polio akut padanya. Penyakit ini telah bersemanyam di raganya, tapi tak pernah ia hiraukan. Setelah vonis dokter, ia menjalani perawatan intensif. Hanya selang enam hari, nyawanya tak tertolong. Pada 4 Juli 1925, sang pendaki gunung itu sampai di puncak teratas hidupnya. Ia menghembuskan nafas pada usia 24 tahun. Banyak orang turun ke jalan dan menghadiri pemakamannya. Aliran dukacita mengalir deras. Banyak orang mengingat jasa dan karya pejuang kemanusiaan ini. Hidupnya menjadi taruhan mimpinya untuk bisa mengangkat harkat dan martabat sesamanya yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.

Pada 1932, warga Turin dari kelas ekonomi lemah melayangkan petisi pada Uskup Agung Turin, Mgr Maurilio Fossati OSsGC (1930-1965) agar dibuka upaya Penggelaran Kudus bagi Pier. Desakan rakyat kelas bawah ini pun akhirnya ditanggapi serius. Makam sahabat kaum kecil itu digali pada 1981. Mereka mendapati jazadnya masih utuh. Konon, nampak sesungging senyum terlukis di wajahnya. Pada 23 Oktober 1987, dekrit keutamaan dan keteladanan hidup kristiani bagi Pier direstui oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II. Ia pun menyandang gelar Venerabilis.

Dua tahun kemudian, jazadnya dipindahkan dari pemakaman keluarga di Pollone dan disemayamkan di Katedral Turin. Pada tahun itu, Paus datang dan berdoa di pusaranya. Lalu pada 20 Mei 1990, Takhta Suci menggelarinya Beato. Gereja mengenang perjuangan dan kesalehan hidupnya tiap 4 Juli.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.28, 13 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles