HIDUPKATOLIK.com – Anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tak hanya mendapat teori dan terapi. Mereka juga diajarkan untuk merawat dan menjaga toleransi.
Dunia Elizabeth Wahyu Margareth Indira tak jauh dari pendidikan. Setiap pagi hingga siang, Indira, sapaannya, mengajar untuk siswa taman kanak-kanak. Pada sore hari, dia mengajar untuk anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Para muridnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), seperti autis dan hiperaktif. Dia juga melatih artikulasi untuk anak-anak yang terlambat atau sulit bicara.
Seiring waktu, aktivitas yang dilakoni sejak 2010 itu mendorong alumna Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang ini untuk merintis Lembaga Psikologi Terapan Talenta dan Pendidikan Anak Usia Dini Inklusi. Lembaga ini mengarahkan perhatian secara khusus kepada ABK dengan rentang usia dua hingga enam tahun.
Para ABK mendapat pola pendidikan seperti di sekolah reguler. Setelah itu ada diagnosa dan terapi untuk mereka. Hal ini yang menjadi pembeda dengan sekolah umum lain. “Usai belajar dari pukul 07.00-10.00, mereka melanjutkan proses terapi. Terapi yang tangani berlangsung sekitar dua jam selama satu aau dua kali dalam seminggu. Tergantung berat-ringan sakit yang mereka alami,” ungkapnya.
Tak Membedakan
Ada sekitar 180-an ABK mengenyam pendidikan dan menjalani terapi di sana. Keberhasilan Indira menghimpun banyak ABK tak lepas dari semangatnya yang terkristalisasi dalam visi dan misi lembaga yang didirikannya itu. Dia ingin melayani semua anak tanpa membedakan agama, suku, strata ekonomi dan sosial. Tiap ABK, menurutnya, mempunyai hak yang sama dengan anak-anak lain.
Tak hanya pelajaran dan terapi, Indira bersama para mitra karyanya di lembaga tersebut juga menyemai nilai-nilai toleransi antar sesama yang berbeda keyakinan. Setiap pagi, selama lima belas menit, mereka mengawali aktifitas dengan memberikan renungan harian. Isi dan fasilitator yang membawakan renungan menyesuaikan dengan keyakinan masing-masing anak.
Saban hari raya keagamaan, tiap anak didorong untuk memberikan ucapan selamat kepada sesama rekan yang merayakan. Mereka juga rutin mengadakan Sentra Iman dan Taqwa (Imtaq) sekitar 30 menit. Bagi kelompok Nasrani, kegiatan Sentra Imtaq antara lain membaca Kitab Suci, berdoa, bernyanyi bersama. “Sejak dini harus diperkenalkan nilai toleransi dalam perbedaan, agar mereka tahu yang diimani dan bisa menghargai yang diimani teman-teman mereka yang berbeda keyakinan” ungkap dosen Pendidikan Guru-PAUD di Universitas PGRI Semarang itu.
Lantaran hal itu, PAUD Inklusi Talenta kerap menjadi rujukan bagi sekolah-sekolah lain. Apalagi di Semarang belum begitu banyak lembaga pendidikan untuk para ABK yang membuka layanan secara holistik seperti di PAUD Inklusi Talenta. Demi mengakomodir karya tersebut, Indira mengandeng tenaga medis (bidan) dan pengajar, selain dirinya sebagai psikolog untuk menangani asesmen psikologis.
“Tidak mudah mendirikan lembaga semacam ini. Meski pemerintah kerap menyarankan pengadaan lembaga khusus seperti itu, namun hal itu harus dimulai dari bawah, ditunjang dengan tenaga yang mumpuni, punya hati, komitmen tinggi, dan peduli terhadap ABK,” ungkap Indira.
Membangun Jejaring
Dalam mengembangkan pendidikan ini, Indira membangun jejaring dengan beberapa institusi, antara lain dengan RS Panti Wilasa. Mereka mengadakan sosialisasi dan kunjungan ke rumah sakit. Kemudian kerja sama dengan Unika Soegijapranata dengan mengirim tenaga medis untuk magang atau praktik di lembaga pendidikan tersebut.
Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana menjadikan PAUD Inklusi Talenta sebagai medan penelitian mereka. Selain itu, , khususnya Jurusan Psikologi dan PGPAUD pernah mengadakan penelitian di lembaga ini selama sekitar tiga bulan. Selain itu, mereka juga menggandeng Universitas Negeri Semarang dan Universitas Islam Negeri Walisongo kerjasama juga terjalin dengan pihak UNES, dan UN Wali Songo.
“Ketika mereka terjun langsung dan berjumpa dengan ABK, harapannya mereka dapat belajar berempati, punya hati dalam pelayanan, sebab belum banyak orang yang ambil bagian dalam pendidikan ABK,” paparnya.
Tak ayal dalam dua tahun berturut-turut (2016 dan 2017), lembaga ini mendapat predikat Pengelola PAUD berprestasi tingkat Provinsi Jawa Tengah. Di tengah prestasi dan pujian, Indira tak menampik ada beberapa tantangan yang dihadapinya. Pertama, soal penggunaan nama “Talenta”. Bagi sebagian orang kata itu terdengar amat kristiani.
Meski demikian, Indira tetap mempertahankan nama itu. Baginya, setiap ABK memang memiliki bakat dan talenta luar biasa. Mereka juga punya kemampuan dan hak yang sama dengan anak-anak lain. “Guru-guru di sini ada yang (mengenakan) berjilbab. Sekolah ini pun berstandar nasional,” terangnya.
Kedua, Indira mengakui, kadang orangtua dari anak-anak umum merasa bingung bila pada suatu kesempatan bergabung dengan ABK. Pada saat itu kesempatan bagi Indira untuk menerangkan kepada orangtua, bahwa anak-anak bisa belajar merawat dan menjaga toleransi sejak dini. Anak-anak umum bisa belajar untuk menolong teman-teman berkebutuhan khusus, sementara ABK bisa berjuang bersama dengan teman-temanya yang normal.
“Tanpa diterangkan, kadang orangtua memahami dan sadar sendiri melihat anaknya yang peduli dengan temannya yang berkebutuhan khusus. Di sinilah nilai toleransi dan solidaritas ditanamkan”, ungkap Indira.
Ketiga, Indira terus berjuang untuk merealisasikan impiannya yakni mengembangkan pendidikan berjenjang bagi ABK, mulai dari tingkat dasar hingga atas. Meski belum seratus persen terealisir tapi dia sudah mulai meretas dengan mengadakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Selalu Setia
Karya yang dilakoni Indira menuai apresiasi dari Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko. Saat beraudiensi dengan Mgr Rubi bersama para pemerhati ABK, Indira yakin, segala kesulitan dan tantangan selama berkarya untuk Tuhan dan sesama suatu saat nanti bakal memetik buah terbaik. “Inilah yang menguatkan saya,” ungkapnya.
Cinta dan perhatian Tuhan sungguh Indira rasakan. Kala kesulitan mencari lahan untuk sekolah, ternyata ada orang yang menawari kepadanya. Harga yang diajukan orang itu pun jauh di bawah anggaran yang disiapkan Indira. Kemudian, ketika kesulitan mencari pengajar, menurut Indira, ternyata Tuhan tak hanya mengirimkan orang, tapi juga memberikan calon terbaik untuknya. “Saya semakin percaya, ketika saya setia dalam perkara yang kecil, Tuhan memampukan saya untuk setia dalam perkara besar,” ungkapnya.
Fr Nicolaus Heru Andrianto