HIDUPKATOLIK.com – Tema Temu Pastoral (Tepas) 2014 untuk para imam se-Keuskupan Agung Jakarta yakni kiat mengelola gerakan kaum awam untuk karya kerasulan. Inti tema ini adalah bagaimana kaum awam yang selama ini sudah terlibat dengan baik dalam tugas menggereja, semakin ditingkatkan partisipasinya.
Sebuah kabar baik dituturkan resi manajemen Peter Drucker yang menyoal tentang peran awam dalam karya sosial. Drucker meneliti para awam yang berkarya pada lembaga sosial maupun keagamaan. Kata Drucker, “Dalam tugas sosial, relawan (kaum awam) harus mendapatkan kepuasan yang jauh lebih besar sebagai hasil dari pencapaian mereka; dan memberi kontribusi yang lebih besar, terutama karena mereka tidak menerima bayaran.” Ada tiga hal pokok yang perlu mendapat penekanan: kepuasan, kontribusi, dan pembayaran.
Ketika awam yang berkarya sosial, ia justru memberi kontribusi lebih untuk karya sosialnya. Transaksional berubah menjadi pelayanan. Mengapa? Karena ia tidak mendapat pembayaran atau upah. Kepuasaan yang diharapkan melampaui dari upah yang diterima, jika ia bekerja. Kaum awam puas, karena memberikan tenaga, pemikiran, bahkan dana untuk panggilan kemanusiaan (sosial).
Kesimpulan dari sang resi manajemen ini menjadi kabar gembira untuk kaum awam dan Gereja. Bagi kaum awam, mereka akan memberikan diri terbaik untuk tugas kerasulan daripada panggilan tugas dia sebagai profesional. Sementara bagi Gereja, ada kesempatan untuk mengoptimalkan peran awam dalam karya kerasulan, asalkan mereka mendapat kepuasan lebih dibanding bekerja dalam sektor formal. Dengan demikian, tugas Gereja tak lain memberi wadah terbaik, sehingga kaum awam merasa nyaman dalam pelayanan.
Umum diketahui bahwa ada beberapa tantangan ketika kaum awam hendak berpartisipasi dalam karya kerasulan. Tantangan pertama dalam diri kaum awam, seperti, pertama, yang aktif terbatas, hanya itu-itu saja. Kedua, keterbatasan pengetahuan tentang Ajaran Sosial Gereja sebagai landasan karya kerasulan. Ketiga, takut menerima risiko dalam melaksanakan wewenang jabatan. Keempat, yang terlalu aktif mendominasi, bahkan merasa yang paling hebat di antara awam yang lain.
Tantangan kedua berasal dari dalam Gereja; hirarki maupun kelembagaan Gereja. Sering muncul istilah pastor sentris, birokrasi dalam gereja yang menimbulkan kelompok sendiri, atau kelambanan hirarki dalam melakukan eksekusi terhadap rencana yang telah ditetapkan. Dari diskusi dengan para imam dalam Tepas beberapa waktu lalu, ada tiga hal utama yang layak dilakukan, sehingga karya kerasulan kaum awam semakin optimal.
Pertama, semakin mempererat kemitraan antara imam dengan awam. Kata kunci dalam karya kerasulan tak lain adalah kemitraan. Dengan demikian, kemitraan imam dan awam harus terus ditingkatkan dan diperlebar untuk memenuhi tuntutan umat yang semakin beragam. Kedua, mengembangkan pastoral partisipatif dan transformatif sesuai prioritas. Pastor sentris memang tidak selalu jelek. Bahkan, dalam banyak kasus, pastor sentris akan memperkuat organisasi. Namun ketika perubahan semakin kencang dan perilaku umat semakin beragam, pastor sentris lebih baik diminimalkan. Ia diganti dengan pastoral partisipatif dan transformatif. Artinya, awam semakin aktif dan pastor selalu siap melakukan transformasi diri dan kelembagaan, sehingga awam yang partisipatif mendapat wadah terbaik.
Ketiga, pastoral berbasis data. Untuk memperkuat karya kerasulan sekaligus juga memperkuat kelembagaan, data menjadi tak terbantahkan. Melalui data yang akurat, awam bersama dengan pastor bisa merencanakan kegiatan kerasulan yang sesuai dengan perubahan zaman. Pastoral berbasis data juga akan memberikan berbagai alternatif bagi kaum awam untuk merasul. Data mematahkan opini. Data memberikan legitimasi dalam bertindak dan berkarya.
Apresiasi tinggi kepada kaum awam yang sudah memberikan diri terbaik dalam hidup menggereja. Gereja masa depan memang tak lepas dari kemitraan yang solid antara awam dan imam.
A.M. Lilik Agung
HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014