HIDUPKATOLIK.com – Sejak lahir, orangtuanya berharap ia setia pada raja dan ajaran Konghucu. Namun ia justru memilih menjadi pengikut Kristus dalam Gereja Katolik. Bahkan kesaksian hidupnya berbuah mahkota kemartiran, semaian subur bagi benih iman Katolik di Korea.
Usai Konsistori pada Februari 2014, Paus Fransiskus mendatangi Kardinal Andrew Yeom Soo-Jung. Kepada Uskup Agung Seoul, Paus berkata singkat, “Saya cinta Korea”. Sang Kardinal pun mengungkapkan, umat di sana juga mencintai Bapa Suci.
Tidak lebih dari sebulan, Kantor Berita Vatikan mengumumkan, Paus Fransiskus akan berziarah ke tempat yang ia cintai itu, 14-18 Agustus 2014. “Bapa Suci akan mengadakan kunjungan apostolik ke Korea, bertepatan dengan perayaan temu orang muda Katolik se-Asia keenam yang dihelat di Keuskupan Daejeon,” demikian informasi yang dilansir Radio Vatikan (10/3).
Menurut ahli Vatikan (Vaticanista) John L. Allen Jr., ada tiga hal yang patut dicatat terkait keputusan kunjungan Paus ke Korea, seperti dilansir The Boston Globe (11/3). Pertama, ‘melunasi utang’ lama yang ditinggalkan Paus Emeritus Benediktus XVI. Selama delapan tahun bertakhta, ia belum pernah melawat Asia.
Kedua, Paus mengapresiasi pertumbuhan Gereja di Asia. Selama 20 tahun, pertumbuhan umat Katolik Asia sekitar 1,3 hingga 3 persen. Khusus di Korea, pertumbuhan umat Katolik mencapai 70 persen selama 10 tahun terakhir. Saat ini, umat Katolik Korea berjumlah sekitar lima juta dari total populasi 74 juta penduduk.
Ketiga, Paus akan membeatifikasi 124 martir Korea yang mati sahid selama periode 1791-1888. Satu di antara para martir itu ialah Paul Yoon Ji-chung, seorang awam keturunan aristokrat.
Rahmat Pembaptisan
Yoon Ji-chung lahir di Jinsan, Korea Selatan tahun 1759. Ia berasal dari keluarga terpandang. Hal ini bisa ditengarai dari nama depannya: ‘Yoon’. Marga Yoon tergolong keluarga mampu di Haenam, wilayah penghasil beras dan lobak. Beberapa tokoh terkenal dari marga Yoon di antaranya: penyair Yoon Seondo dan artis Yoon Du-suh. Dua tokoh itu merupakan kakek Ji-chung. Sementara “Ji-chung” ialah nama diri, pemberian orangtuanya. Orangtuanya memberikan nama “Ji-chung” dengan harapan si anak setia pada raja dan ajaran Konfusius. Maklum, orangtuanya termasuk penganut Konghucu.
Uyong, sapaan Ji-chung, dikenal sebagai anak cerdas dan jujur di sekolah. Berbagai literatur budaya, politik dan bahasa Cina ia lahap. Tak heran saat berusia 24 tahun (1783), ia lulus Jinshi dengan gemilang, sebuah ujian negara pada masa kekaisaran. Ujian ini bertujuan menilai kemampuan siswa, baik praktik maupun teori bahasa, budaya dan politik Cina. Para siswa yang lulus tes akan direkrut dan ditempatkan pada salah satu biro di istana.
Namun, perjumpaan dengan saudara sepupunya yang beragama Katolik, Jhon Jeong Yak-yong (1762-1836) mengubah jalan hidupnya. Alih-alih merengkuh jabatan prestisius dalam lingkaran istana, Uyong memilih hidup sebagai pengikut Kristus. Ia mengubur harapan dari nama pemberian orangtuanya agar dirinya taat pada raja dan ajaran Konghucu. Ia tak lagi menyembah raja duniawi, melainkan Yesus Kristus Sang Raja seluruh Alam Semesta.
Kisahnya bermula ketika Jeong Yak-yong bertemu dengan Uyong sekitar tahun 1784. Dalam pertemuan itu, Jeong Yak-yong memperkenalkan Yesus dan Gereja Katolik padanya. Jeong Yak-yong mengenal seluk beluk kekatolikan dari Yi Byeok (1754-1785), seorang Katolik yang baru kembali ke Korea Selatan usai menjalankan tugas di Beijing.
Karena Uyong kelihatan tertarik, Jeong Yak-yong pun memberinya sebuah buku karya misionaris Jesuit Italia di Cina, Pater Matteo Ricci SJ (1552-1610) berjudul “The True Meaning of The Lord of Heaven”. Uyong begitu bersemangat mencecap intisari buku yang berisi iman Katolik itu. Model penulisannya berbentuk dialog antara pelajar Cina dan Eropa.
Selama tiga tahun, Uyong bergumul dengan salah satu buku warisan Pater Ricci itu. Tahun 1787, ia memutuskan untuk memilih jalan hidup baru sebagai pengikut Kristus. Peter Yi Seung-hun (1756- 1801) membaptis dan menamainya Paulus Yoon Ji-chung.
Usai dibaptis, Uyong gencar mewartakan kabar gembira Kristus. Ibu, adik kandungnya Fransiskus Yun, dan sepupunya Yakobus Kwon Sang-yeon menjadi Katolik. Setelah mempertobatkan keluarganya, ia mengepakkan sayap evangelisasi di sejumlah wilayah Korea Selatan bersama saudarinya, Augustine Yu Hang-geom (1756-1801).
Mahkota Kemartiran
Tahun 1790, Uskup Peking (Beijing), Mgr Alexandre de Gouvea TOR (1731- 1808) mengeluarkan larangan agar umat Katolik tidak melakukan ritual penghormatan pada leluhur. Mendengar ultimatum itu, Uyong bersama Kwon Sang-yeon langsung membakar papan atau simbol yang diyakini masyarakat sebagai tempat bersemayam para dewa atau leluhur yang telah meninggal. Ketika ibunya wafat tahun 1791, Uyong memakamkannya menurut tata cara Katolik.
Kabar tentang militansi Uyong pun bergaung ke seluruh pelosok negeri. Raja pun geram. Ia memerintahkan Hakim Wilayah Jinsan menangkap dua pemuda yang dianggap pembelot: Uyong dan Kwon Sang-yeon. Namun hakim sulit menangkap mereka. Keduanya memilih tempat persembunyian terpisah. Uyong bersembunyi di Gwangchoen, dan Kwon Sang-yeon di Hasan.
Tak kurang akal, hakim menempuh cara licik agar keduanya menyerahkan diri. Ia justru menangkap paman Uyong. Strategi ini berhasil. Mendengar penangkapan sang paman, Uyong dan sepupunya keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri pada hakim sekitar pertengahan Oktober 1791. Hakim lalu membujuk dua pemuda itu agar mau meninggalkan iman mereka. Namun, kedua orang itu menolak tegas. Tak ada cara lagi menjinakkan mereka, selain menghadapkannya pada Gubernur Jeonju.
Selama berada di Jeonju, Uyong dan Kwon Sang-yeon dipaksa menyangkal iman akan Kristus dan membongkar siapa saja para penganut Katolik di sana. Segala upaya untuk mengorek informasi mereka balas dengan aksi tutup mulut. Bahkan tak takut dihukum mati, Uyong selalu menimpali dan menyanggah tiap pernyataan sang gubernur yang tidak sesuai dengan imannya akan Kristus. Keberaniannya membuat sang gubernur naik pitam. Gubernur itu langsung mengirim keduanya ke pengadilan istana. Di sana, mereka diganjar hukuman mati. Pada 8 Desember 1791, Uyong dan Kwon Sang-yeon dipenggal di luar gerbang kota, sebelah Selatan Jeonju.
Selang sembilan hari tragedi berdarah itu, keluarganya meminta izin gubernur untuk membersihkan dan mengubur dua martir muda ini. Saat mendapati tubuh Uyong dan Kwon Sang-yeon, mereka terperanjat. Darah segar masih melumuri jazad mereka meski terbujur kaku selama sembilan hari.
Konon, banyak mukjizat terjadi melalui perantaraan doa dua martir Korea ini. Devosi kerakyatan untuk menghormati kesaksian iman mereka pun marak di Korea. Banyak orang sakit keras bisa sembuh hanya karena menyentuh sapu tangan yang dipakai untuk menyeka darah kedua martir Jeonju itu.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014