HIDUPKATOLIK.com – Menjadi imam adalah mimpinya sejak bocah. Tugas perdananya bermisi ke Tatar Sunda. Ia berusaha menguasai Bahasa Sunda agar lebih dekat dengan umat. Kesetiaannya melayani umat teruji hingga emas imamat.
Sejak Sekolah Dasar (SD), Anton Rutten sudah bermimpi menjadi imam. Kakak dari neneknya menjadi imam Ordo Salib Suci (OSC) dan bermisi ke Tanah Jawa. Bahkan, kakeknya itu menjadi Uskup Bandung pertama, Mgr J.H. Goumans OSC.
Mimpi Rutten pun mewujud. Usai ditahbiskan sebagai imam OSC, ia diutus bermisi ke Bandung, Indonesia. Tepatnya, di Tatar Sunda, Kuningan, Jawa Barat. Ia lalu belajar Bahasa Sunda. Tak segan ia belajar dan bercakap dengan anak-anak usia SD di sana. “Mereka sering tertawa kalau saya ngomong salah. Kalau orang dewasa sering mengatakan, sudah baik Sundanya. Anak-anak SD yang polos itu justru menjadi tempat belajar dan memberi banyak kemajuan. Motivasi saya berbahasa Sunda jelas untuk mengerti, menangkap maksud mereka dan berbahasa seperti mereka. Saya ingin dekat dengan mereka …, dan Bahasa Sunda ialah cara untuk dekat dengan mereka,” papar Dewan Prior Pratista sejak 2013 hingga sekarang ini.
Menurut umat di Kuningan, kemampuan Bahasa Sunda Pastor Rutten sudah baik. “Kata orang, saya dibilang fasih, tapi bagi saya ya biasa …, ya lumayan. Paling tidak saya bisa berkhotbah dalam Bahasa Sunda. Orang merasa heran, seorang Belanda bisa berbahasa Sunda. ‘Pastor Rutten ngomong Sunda lebih baik daripada saya’, kata teman-teman di sana,” beber Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur, Kuningan 1965-1983 ini.
Meski terkadang ”diganggu” umat non Kristiani yang menjadi mayoritas masyarakat di Kuningan, Pastor Rutten tak gentar. Ia terus melayani umat dan masyarakat. Ia telah memberikan diri bagi umat hingga pesta emas imamatnya.
Perayaan emas itu ditandai dengan Misa di Kapel St Helena Biara Pratista, Bandung. Ekaristi ini dipimpin Uskup Bandung tertunjuk Mgr Antonius Bunyamin Subianto OSC, didampingi Pjs Provinsial OSC RP Laurensius Tarpin OSC dan Pastor Rutten.
Pastor Rutten dikenal sebagai pribadi sederhana dan rendah hati. Perayaan syukur emas imamatnya dirayakan bersama sejumlah kolega pastor OSC dan umat. Ia mengaku, perjuangan dalam imamat bukanlah usaha diri sendiri, tapi juga berkat dukungan banyak pihak. “Itu bukan jasa saya. Banyak orang justru berjasa bagi saya. Perjuangan ini kami lakukan bersama,” ungkap penerima tahbisan imamat pada 20 Juli 1964 ini.
Prior Biara Pratista RP Agustinus Agung Riyanto OSC mengungkapkan, Pastor Rutten ialah pribadi yang tegas, punya komitmen tinggi, dan disiplin, termasuk dalam hidup doa. “Saya merasa beruntung bisa bersama beliau dan meneladaninya. Beliau juga pribadi yang rendah hati, mau mendengarkan masukan dan pendapat yang lain. Ini terlihat dari tutur kata dan sikap tubuhnya. Beliau selalu membungkuk kalau bertemu orang lain. Saya sering minta nasihat beliau,” tutur Pastor Agung.
Dukungan keluarga
Pastor Rutten adalah anak keenam dari 12 bersaudara. Ia punya seorang saudari kembar. Dalam tradisi keluarga besarnya, selalu diharapkan ada salah satu anak yang menjadi imam atau suster.
Ketika Rutten mengungkapkan keinginan menjadi imam, tanggapan positif keluarga mengalir deras. Orangtua dan saudara-saudarinya mendukung. Rutten yang kala itu menjadi misdinar paroki pun mendapat dukungan umat paroki, teman-teman sekolah dan para guru. Tamat SD, ia melanjutkan ke Seminari Menengah Kerkstraat Uden, Belanda (1950-1957).
Dalam keluarga besarnya, Rutten bukanlah satu-satunya yang menjadi imam. Kakak sang ibu juga menjadi imam OSC. Pun kakak dari neneknya yang tercatat sebagai Uskup pertama Bandung.
Pada 28 Agustus 1958, Rutten mengikrarkan kaul kekal sebagai anggota OSC, lalu melanjutkan studi Filsafat dan Teologi di Sutterwoude (1958-1964). Pada 20 Juli 1964, ia menerima tahbisan imam. “Waktu saya ditahbiskan, keluarga mengumpulkan uang untuk memberikan hadiah piala pada saya. Mereka berpartisipasi juga dalam kurban Misa, berpartisipasi melalui alat ini di dalam Misa,” kata Ketua Yayasan Buana Mekar Bandung 1987-1992 ini.
Usai ditahbiskan, Pastor Rutten ditugaskan di Bandung, salah satu medan kerasulan misionaris OSC, selain Afrika dan Brazil. Sekitar enam bulan, ia mengurus izin masuk Indonesia. Akhirnya pada Januari 1965, ia mengantongi izin berangkat ke tanah misi.
Tahun-tahun pertama menjadi imam di Keuskupan Bandung menjadi masa penyesuaian diri. Masa itu juga kesempatan untuk melihat dan mengenal lebih dekat situasi dan kondisi medan karya, khususnya di tempat tugas pertamanya, Paroki Cigugur, Kuningan.
Imam kelahiran Wanssum, Belanda, 4 Juni 1938 ini pun harus belajar Bahasa Sunda, mengenal masyarakat dan budaya setempat. “Untuk saya yang baru datang dari Belanda, juga merasa ada ciri khas kebudayaan, latar belakang kebatinan. Belajar hal-hal itu menjadi hal yang paling mengesankan,” ungkapnya. Waktu itu, ia bertugas bersama dua imam muda lainnya: M. Kuppens OSC dan Straathof OSC selama 18 tahun (1965-1983). Pastor Rutten lalu diutus sebagai Pastor Paroki Kemuning Bandung (1983-1988). Dan, selanjutnya di Paroki Sukajadi, Bandung (1988-1991).
Emas Imamat
Menjalani perutusan sebagai imam bukan berarti berjalan mulus tanpa “kerikil tajam”. Pastor yang melayani kembali Paroki Cigugur, Kuningan pada 1992-2005 ini, mengaku mengalami masa-masa kurang bersemangat. “Memang, sekali waktu muncul rasa kebosanan, capek, ada orang yang rewel atau kurang dapat dimengerti, tapi banyak dukungan dari orang-orang di sekitar. Saya merasa banyak dukungan di sana-sini untuk mengatasi saat saya merasa tidak bersemangat,” tutur Ketua Yayasan Salib Suci sekaligus Perhimpunan Borromeus Bandung 1984-1991 ini.
Pastor Rutten bersyukur bisa tetap melayani hingga emas imamatnya. Ia memaknainya sebagai panggilan untuk terus mendampingi umat, menemukan hidup yang lebih cerah tanpa takut. “Orang tidak banyak mengerti mengapa mereka merasa takut. Saya ingin orang merasa bebas; ada ketakutan secara ekonomi, kesehatan, pendidikan dan bidang lain. Saya ingin mendampingi mereka melalui apa yang saya dapatkan dalam iman saya, orangtua dan Tuhan, untuk saya berikan pada orang lain. Supaya mereka jangan takut dan dapat hidup lebih sejahtera, bebas dan dicintai Tuhan. Sebab, kalau banyak takut itu-ini, cinta Tuhan tak akan berkembang,” paparnya.
Harapannya, Pastor Rutten bisa terus ambil bagian dalam karya-karya OSC, khususnya untuk mendampingi pastor-pastor muda. Ia meluangkan waktunya untuk menerjemahkan artikel-artikel Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. “Kalau ada artikel bahasa Belanda, ya saya sekarang terpanggil, ‘Ya ini kerjamu sekarang’,” tandas Prior Biara Pratista 2007-2013 ini.
Imam yang memilih moto tahbisan “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan” (2 Kor 1:3) ini, punya moto baru yang ia pilih dari Surat Rasul Paulus pada jemaat di Roma: “Penderitaan zaman sekarang tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan diterima nanti”.
Petikan ayat itu ia hayati dalam menjalankan karya perutusannya. “Ketika saya ke stasi berjalan sendiri, naik turun gunung atau mengalami masalah yang lain, Paulus meneguhkan saya. Saya punya keyakinan penderitaan zaman sekarang tidak sebanding dengan kemuliaan yang diterima nanti,” demikian Pastor Anton Rutten yang pada 23 Juli 2014 pergi ke Belanda untuk merayakan pesta 50 tahun imamat bersama keluarganya.
Yohanes Debritto/Maria Pertiwi
HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014