HIDUPKATOLIK.com – Cinta akan Sakramen Mahakudus memotivasinya menjadi imam. Namun, jalan panggilannya penuh liku. Ia keluar masuk seminari, bahkan tarekat. Akhirnya, mimpinya mewujud dengan melahirkan dua kongregasi demi pengabdian total pada Ekaristi.
Suatu hari, bocah lelaki berumur lima tahun pergi ke sebuah tempat tanpa izin orangtua. Aksinya ini membuat keluarganya bingung dan cemas. Berbagai usaha dikerahkan demi menemukan si bocah. Namun, tiap kali bertanya pada tetangga atau mencari di tempat-tempat ia biasa bermain, mereka kembali dengan tangan hampa.
Kala melintas di depan sebuah gereja, mereka menjumpai seorang anak kecil sedang berdiri menghadap tabernakel. Pikiran para pencari itupun membuncah. Pencarian akhirnya berbuah. Dialah bocah yang mereka cari. Saat ditanya keluarganya, dengan lugu si bocah menjawab, “Saya di sini sedang mendengarkan Yesus”.
Penggalan kisah itu ialah potret masa kecil Pierre-Julien Eymard. Pengalaman berdoa di depan tabernakel menjadi benih kecintaannya pada Sakramen Mahakudus. Ia setia berwawan hati dengan Yesus dalam Ekaristi. Kesetiaan dan kecintaan pada Sakramen Keselamatan itu menghantarnya masuk dalam pengalaman spiritual. Habitus bercengkerama dengan Yesus itu menjadi keutamaan hidup dan membulatkan tekad untuk mengabdikan diri sebagai ‘pelayan’ Sakramen Mahakudus.
Teladan Sang Ibu
Eymard lahir di La Mure, Isere, Perancis Tenggara, 4 Februari 1811. Keluarganya tergolong miskin. Ayahnya hanyalah buruh pemeras minyak zaitun. Sementara sang ibu mengurus rumah tangga di rumah. Dalam keterbatasan ekonomi, keluarga ini memiliki tradisi kesalehan kristiani. Ibunya sangat rajin mengikuti Ekaristi dan punya devosi kuat pada Sakramen Mahakudus dan Bunda Maria. Semangat kerohanian sang ibu inilah yang diwariskan pada buah hatinya.
Ketika Eymard masih dalam kandungan, ibunya senantiasa bertandang ke gereja dekat rumah. Ia selalu bersimpuh di hadapan Sakramen Mahakudus dan mempersembahkan jabang bayi yang ia kandung pada Yesus yang bertakhta di sana. Setelah Eymard lahir, sang ibu pasti membawanya untuk ikut Misa tiap hari. Tak henti ibunya menasihati agar Eymard selalu mawas diri dan tak jatuh dalam dosa. Ungkapan kasih sang ibu ini begitu terpatri dalam dirinya.
Sejak kecil, Eymard dikenal murah hati dan rajin membantu di gereja. Kala akan menerima Komuni Pertama, ia sudah bermimpi untuk menjadi imam. Alasannya sederhana, ia bisa merayakan Ekaristi.
Mantan OMI
Mimpinya menjadi imam didukung penuh oleh sang ibu. Namun tak demikian dengan sikap sang ayah. Ayahnya keberatan dengan cita-cita Eymard. Meski ditentang, ia memberanikan diri masuk Seminari Menegah pada 1822. Selama di seminari, ia gemar belajar Bahasa Latin dan rajin meminta bimbingan rohani. Naas, ia sakit parah hingga nyawanya nyaris terenggut. Ia pun terpaksa harus kembali ke rumah orangtuanya.
Tahun 1828, saat ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Eymard kembali meniti panggilan hidupnya. Sang ayah tetap menolak keputusannya. Meski demikian, ia tetap masuk Novisiat Kongregasi Oblates of Mary Immaculate (OMI). Kali ini, ia masih mengalami cobaan yang memaksanya pulang ke rumah. Ayahnya meninggal pada 1831.
Jalan berliku nan terjal dalam meniti panggilan tak sedikitpun menyurutkan tekadnya menjadi imam. Pimpinannya sewaktu menjadi biarawan OMI memberi rekomendasi, sehingga Eymard diterima di Seminari Tinggi Keuskupan Grenoble, Perancis. Akhirnya, pada 20 Juli 1834, Eymard ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Grenoble (sekarang Keuskupan Grenoble-Vienne).
Pastor Eymard menerima tugas perdana sebagai pastor rekan di Chatte. Di tempat karya ini, ia menumbuhkan benih- benih semangat dan cinta umat pada adorasi Sakramen Mahakudus. Pada 1837 ia dipindahkan ke Paroki Monteynard sebagai Pastor Kepala. Paroki ini dikenal tandus, baik secara fisik maupun iman umatnya. Ia tinggal di pastoran yang amat sederhana. Tiap merayakan Ekaristi, ia kerap mendapati banyak bangku kosong. Kondisi ini kian menantangnya –apalagi ia harus bergumul dengan masalah kesehatan tubuhnya. Uskup Grenoble, Mgr Philibert de Bruillard (1765-1860) khawatir dan prihatin dengan kondisi yang dialami imamnya itu, hingga ia minta agar dua saudari Pastor Eymard merawat dan memperhatikan kondisi kesehatannya.
Mantan Praja
Paroki Monteynard ternyata menjadi perutusan terakhir Pastor Eymard sebagai imam diosesan. Tahun 1838, pasca permintaannya dikabulkan Mgr de Bruillard, ia menanggalkan jubah imam diosesan dan bergabung dengan Serikat Maria (Society of Mary, SM). Sebagai anggota baru Marists, ia harus melakoni masa novisiat selama empat bulan guna mendalami spiritualitas serikat.
Usai masa novisiat, Pastor Eymard dipercaya menjadi pembimbing rohani untuk para frater dan imam di Belley, Perancis. Selain itu, ia didapuk untuk menjalin kerjasama dengan tarekat awam penghayat spiritualitas SM. Di tengah kaum awam SM, ia gencar mempromosikan devosi pada Bunda Maria dan Ekaristi.
Selama enam tahun, Pastor Eymard membenamkan diri dalam dua karya pelayanan itu. Ia dijuluki sebagai organisator handal, pendidik penuh semangat dan orator ulung. Tahun 1844, ia didaulat menjadi Vikaris Jendral SM Provinsi Lyon.
Pastor Eymard mendapat pengalaman spiritual, saat prosesi Sakramen Mahakudus di Gereja St Paulus Lyon, 25 Mei 1845. Ia merasa ada relasi intim dengan Yesus saat Ekaristi. Pengalaman ini terpatri dalam benaknya dan kelak mempengaruhi jalan hidupnya.
Mantan SM
Akhirnya, Pastor Eymard meminta izin pada pendiri SM, Pastor Jean Claude Colin SM untuk menulis aturan Ekaristi. Pastor Colin menganggap ide konfraternya bukan kharisma SM. Meski dimentahkan, ide itu terus bergelayut dalam sanubarinya. Pada 21 Januari 1851, usai berdoa di Biara Bunda Kami dari Fourvierepada, ia memilih keputusan radikal. Ia keluar dari SM dan berniat mendirikan kongregasi religius baru yang berkiblat untuk mengabdikan hidup secara penuh pada Ekaristi.
Keluar dari SM, Pastor Eymard menggarap lahan baru. Tahun 1856, ia mendirikan Kongregasi Sakramen Mahakudus (Congregatio Sanctissimi Sacramenti, SSS). Prioritas karyanya ialah mempersiapkan kaum muda untuk menerima Sakramen Ekaristi dan menganimasi umat untuk kembali pada Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidupnya.
Berkat kerjasama apik dengan Sr Marguerite Guillot, Pastor Eymard mendirikan Kongregasi Suster Abdi Sakramen Mahakudus (Sister Servants of the Blessed Sacrament) pada 1858. Meski mendirikan dua kongregasi, aneka aral pun terus melintang, seperti finansial, kesehatan, izin atau persetujuan Takhta Suci. Berkat keteguhan iman dan bimbingan Roh Kudus, dua kongregasi yang dibidani itu bertahan hingga kini.
Akhirnya, deraan stroke mengakhiri hidup Rasul Ekaristi ini. Pastor Eymard wafat di tanah kelahirannya, 1 Agustus 1868. Meski telah tiada, warisan spiritualitas dan jasanya bagi Gereja terus menggema. Berkat pengabdian dan kesaksian hidupnya, Paus Pius XI (1922-1939) menggelarinya Venerabilis pada 22 Juni 1922. Lalu 12 Juli 1925, Paus yang sama menganugerahkan gelar Beato padanya. Dan pada 9 Desember 1962, Bapa Suci YohanesXXIII (1958-1963) menyematkan mahkota kekudusan sebagai Santo. Ia sering dijuluki sebagai ‘Rasul Ekaristi’ dan mistikus. Surat-surat pribadi dibukukan menjadi enam volume. Sementara refleksi meditasinya dikumpulkan menjadi sembilan volume. Gereja mengenang teladan hidup ‘Mistikus Ekaristi’ ini tiap 2 Agustus.
Norben Syukur/Yanuari Marwanto
HIDUP NO.33, 17 Agustus 2014