HIDUPKATOLIK.com – Suara sound system dari tetangga rumah Veronica Christiyani Dewi dan Mardonisius Tri Tjahyo Adi yang mempunyai hajatan menggema begitu keras. Namun, itu tak mengusik Benediktus Anfield Bagus Wibowo, putra mereka. Bocah itu tetap lelap tertidur di kamarnya, seolah tak terusik suara gaduh tersebut.
Muncul tanya di hati Vera dan Doni. “Jika dipanggil, Anfield juga cenderung cuek. Seperti tidak mendengar,” ungkap Vera. Putra mereka itu lahir dengan kondisi sehat. Sejak Anfield berusia beberapa bulan, curiga akan kondisi si buah hati sudah mulai mengusik benak dan hati pasutri muda itu.
Menyadari ada yang “tidak biasa” dengan Anfield, Vera dan Doni membawanya ke dokter spesialis tumbuh dan kembang anak. “Kebetulan waktu itu, kami juga melihat motorik kasar Anfield agak lambat dibandingkan anak-anak seusianya,” kisah Doni.
Usai diperiksa, sang dokter memberi rujukan agar mereka membawa Anfield ke dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT). Mereka pun mengikuti saran dokter. Dokter spesialis THT yang memeriksa Anfield mengatakan, anak itu mengalami gangguan pendengaran berat. “Anfiled dinyatakan positif tunarungu, ”ujar Vera.
Penjelasan dokter itu langsung membuat Vera dan Doni kelimpungan, diam membisu, tak percaya dan tak tahu harus bagaimana. “Saya sangat kaget …, dokterpun langsung memeluk saya dan menenangkan. Ia mengatakan, jangan khawatir, ada sekolah untuk anak tunarungu,” sitir Vera menirukan ucapan sang dokter.
Sementara Doni juga tak kuasa menahan air mata. “Rasanya seperti langit mau runtuh. Penjelasan dokter itu seperti petir di siang bolong Dokter memberi semangat kepada kami. Kalau kita lemah, Anfield jadi lemah. Tapi kalau kita bisa kuat, Anfield juga kuat. Kita harus bangkit,” beber Doni. Dokter berusaha menyelipkan harapan. Pasti ada jalan keluar untuk buah hati mereka. Kala itu, usia Anfield baru menginjak 10 bulan.
Meski bimbang dan khawatir merayapi hati saat harus menatap kondisi dan masa depan Anfield, Vera dan Doni tak patah arang. Mereka berserah pada Sang Pencipta dan setia mendampingi tumbuh-kembang si buah hati.
Ciptakan Atmosfer
Mengetahui putra mereka mengalami gangguan pendengaran berat, Vera dan Doni mulai mencari informasi seputar hal itu. “Kami browsing-browsing mengenai gangguan pendengaran berat di internet. Juga bertanya ke sana kemari, mencari informasi,” ujar Doni. Bahkan, umat lingkungan St Monika Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur ini, membawa Anfield berobat ke Singapura untuk memperoleh second option mengenai keadaannya.
Hasil pemeriksaan dokter di Singapura sama. Anfield mengalami gangguan pendengaran berat. Dokter memberi alternatif penanganan dengan menggunakan alat bantu dengar atau melakukan implan. Usai menimbang dengan saksama, mereka memutuskan agar Anfield mengenakan alat bantu dengar.
Vera dan Doni terus mendampingi Anfield agar tumbuh menjadi anak yang mandiri dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada usia dua setengah tahun, mereka mendaftarkan Anfield ke SLB B Pangudi Luhur (PL), Kembangan, Jakarta Barat. Anfield bergabung dengan teman-teman di Taman Latihan Operasi PL. Di sana, ia mendapat terapi wicara seminggu tiga kali. “Kami ingin berikan yang terbaik bagi Anfield. Di rumah, kami tetap mendampingi juga.”
Bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti Anfield, latihan berbicara menjadi hal yang sangat melelahkan. “Kita pelan- pelan ajari dia terapi wicara di rumah. Tapi hal itu tidak bisa dipaksakan. Sekarang sedikit kata-kata mulai dipelajari Anfield,” tutur Vera. “Otak kanan Anfield lebih berkembang dari pada otak kirinya. Kami sampai saat ini masih terus mencari metode pendampingan buat Anfield. Kami belum menemukan formula yang tepat,” imbuh Doni.
Selain memperhatikan pendidikan sang buah hati, Vera dan Doni menggali bakat dalam diri Anfield. “Kami lihat apa yang ia sukai, apa bakatnya. Itu kami kembangkan,” tutur Vera. Menggambar adalah hobinya. Sejak usia dua tahun, sang ayah mulai mengajarinya bagaimana cara memegang pensil. “Saya beri dua titik di kertas. Dengan yakin, Anfield menarik garis dari satu titik ke titik yang lain.”
Dari hari ke hari, kemampuannya menggambar semakin baik. Rasa syukur memenuhi hati Vera dan Doni. Mereka mulai memperkenalkan Anfield untuk menggunakan pensil warna dan crayon. Mereka lalu mendaftarkannya untuk les privat menggambar dan melukis, walau hanya bertahan beberapa waktu. Menginjak usia tujuh tahun, Anfield belajar di sebuah sanggar milik seniman lukis. Biasanya seminggu sekali ia mengikuti les di tempat itu.
Sebagai orangtua, Vera dan Doni berharap Anfield bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak seusianya. “Kami membantu untuk membuat atmosfer yang menyenangkan bagi Anfield. Kami beri respon dan jempol saat melihat gambar atau lukisannya,” ungkap Vera.
Di rumah, Vera dan Doni selalu menyediakan kertas gambar dan kanvas untuk buah hati mereka. Hingga kini, sekitar 200 lukisan menjadi buah karya Anfield. Pun banyak sketsa dibuatnya. Lukisan dan sketsa menghiasi tiap ruang di dinding rumah mereka. Biasanya dalam seminggu, Anfield bisa melukis sekitar lima lukisan dan beberapa sketsa gambar.
Tahun 2012, untuk pertama kalinya, Anfield menggelar pameran lukisan di Tebet, Jakarta Selatan. Waktu itu, pameran untuk saudara dan rekan-rekan dekat Vera dan Doni. Kemudian pada Juli 2013, Anfield menggelar pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta selama lima hari. di tempat yang sama, 10-12 Januari 2014, siswa kelas tiga SLB B PL ini mengikuti pameran bersama para seniman dewasa.
Ibarat Mentari
Meskipun awalnya sempat kaget dan syok, Vera dan Doni menerima keadaan buah hatinya dengan kelebihan dan kekurangannya. “Kami syukuri semua anugerah Tuhan. Biarkan semua mengalir …. Anugerah Tuhan itu kita tidak pernah tahu. Saya bersyukur Anfield bisa percaya diri. Kita terus berdoa dan berserah pada Tuhan. Sekarang ini, kita berikan pendidikan yang terbaik,” ungkap perempuan kelahiran Jakarta, 3 Januari 1973 ini.
“Tuhan jangan ditakar. Saya percaya Tuhan memberikan yang terbaik. Kita jangan menuntut Tuhan, saya mau ini, mau itu …. Saya pasrahkan semua pada Tuhan,” tandas Doni. Kelahiran Muntilan, Jawa Tengah, 23 Desember 1968 ini mengaku selalu tidak sabar untuk cepat-cepat sampai di rumah usai bekerja dan bertemu putra istimewanya. “Anfield itu ibarat matahari yang menyinari rumah kami. Ia memberi dengan karya-karya yang dibuatnya. Anfield memberi keceriaan, kenakalan. Dia selalu menyenangkan. Saya selalu tidak sabar ingin melihat dia menggambar, melukis,” ungkap laki-laki yang mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) di Paroki St Fransiskus Asisi Tebet pada 2009 ini dan menjadi penggiat KEP di sana. Melalui kegiatan KEP ini pula, Doni merasa dikuatkan.
Setiap malam, Vera dan Doni mengambil waktu sejenak untuk berdoa bersama, menimba kekuatan dari Sang Sumber Kehidupan. Anfield pun dilibatkan dalam doa bersama, meski si bocah hanya ikut beberapa saat dan memilih tidur-tiduran. “Kami mohon kepada Tuhan agar selalu menyertai Anfield …. Kami berharap, dia bisa menjadi anak yang berguna, mandiri, tangguh, dan survive.”
Vera dan Doni juga berharap, Anfield bisa terus mengembangkan talenta yang ada padanya. Tuhan selalu punya rencana indah pada waktunya. Dan, mentari mereka itu diharapkan terus menyinari keluarga, dan kelak juga bisa memberi kehangatan bagi lingkungan sekitarnya.
Maria Pertiwi
HIDUP NO.33, 17 Agustus 2014