HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang terhormat, Adik saya terlanjur jatuh cinta dengan sepupu. Sebagai perbandingan saja, saudara-saudara kita etnis Batak menyebut sistem perkawinan ini dengan istilah impal/pariban. Mereka akhirnya hidup bersama walaupun belum nikah secara resmi.
Menurut yang saya ketahui, Gereja Keuskupan Medan masih memberi dispensasi atas perkawinan seperti ini. Di Keuskupan kami, Atambu, banyak kasus seperti ini sering ditemukan. Namun, Gereja berpegang teguh pada aturan KHK yang melarang perkawinan sedarah dengan alasan tertentu. Salah satunya yakni menghindari kelahiran anak yang cacat.
Adik kami sudah melahirkan seorang anak normal walaupun statusnya kumpul kebo. Apakah mustahil bagi mereka untuk diijinkan menerima sakramen pernikahan karena terkena halangan kanonik. Hubungan mereka sama sekali tidak ada campur tangan keluarga, tetapi karena keinginan mereka berdua. Bahkan, keluarga sudah pernah berusaha memisahkan dengan ancaman. Keluarga sudah mengkonsultasikan ke Romo di Tribunal tetapi beliau menganjurkan agar menghadap Uskup untuk membicarakannya.
Sampai saat ini, mereka belum berani menghadap Uskup karena takut kena hukuman berlutut lima jam. Mereka mengatakan bahwa bila semua permasalahan tidak tuntas, maka mereka memilih untuk pindah ke gereja lain agar bisa dinikahkan secara resmi. Bagaimana ini dapat ditolong?
Dus, Jakarta
Saudara Dus yang baik, surat Anda membuka cakrawala banyak orang mengenai adanya tradisi di suku Batak, yang merupakan bagian dari kekayaan budaya di Indonesia. Budaya menikah dengan sepupu ditemui di beberapa budaya. Budaya ini tentu mempunyai alasan tersendiri yang dianut oleh suku Batak seperti yang Bapak katakan. Barangkali agar keutuhan dan persatuan di antara keluarga besar tetap terjamin.
Gereja dengan bijaksana mencoba mengatasi kebiasaan menikah dengan anggota keluarga yang masih terhitung dekat dengan Hukum Kanonik seperti yang Bapak sebutkan. Kitab Hukum Kanonik (KHK Kanon 1091 §2) dikatakan: “Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat.” Tingkat keempat dihitung dari orangtua pihak laki-laki, orangtua pihak perempuan, pihak laki-laki, dan pihak perempuan. Tingkat keempat adalah sepupu.
Akan tetapi dengan alasan yang kuat, seperti alasan tradisi dan tidak mungkin lagi pasangan tersebut dipisahkan karena alasan kedekatan, maka biasanya dapat dimintakan dispensasi setelah diadakan penyelidikan seperlunya. Mereka diminta untuk mengurus pada pastor paroki yang akan menangani dan menyelidiki sejauh mana persoalan ini dapat dimintakan dispensasi di Keuskupan.
Dalam hal permohonan dispensasi, disebutkan dalam Kanon 1092: “Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua (saudara kandung).”
Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa kemungkinan mendapatkan izin atau dispensasi dari pernikahan sepupu masih dimungkinkan dengan alasan yang kuat dan hanya dengan izin dari Ordinaris Wilayah, dari Bapak Uskup, Vikaris Jenderal, atau Imam/Pastor yang mendapat mandat untuk memberikan izin tersebut.
Tidak ada hukuman fisik seperti yang Anda sebutkan. Hukuman fisik, setahu saya dilakukan pada masa lampau. Sekarang ini jarang ditemukan hukuman seperti itu. Jika ketakutan itu tanpa landasan informasi, maka yang terjadi bisa lebih merugikan, karena mereka akan mengambil langkah yang merugikan iman mereka sendiri, seperti pindah agama karena alasan perkawinan yang ingin disahkan.
Berilah pengertian yang utuh mengenai perkawinan. Mintalah nasihat dari pastor setempat yang pasti akan lebih mengerti dan memahami perkawinan mereka dan seluk-beluknya. Setiap keuskupan memang mempunyai kebijakan sendiri dalam mengatasi dan menangani kasus-kasus perkawinan jemaatnya. Yang saya sampaikan ini adalah hal umum yang biasa terjadi. Semoga keterangan ini membantu Anda.
Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.33, 17 Agustus 2014
Oooo begitu yahh.. makasih Romo Erwin..