HIDUPKATOLIK.com – Beberapa minggu setelah Lebaran, kota yang lengang berangsur padat kembali. Arus mudik yang meninggalkan kota seminggu sebelum Hari Raya Idul Fitri, kini secara bertahap kembali ke “hulu” . Mudik, dari asal katanya, berarti kembali ke”udik” atau hulu, setelah perjalanan ke “hilir” atau muara sungai.
Pada zaman barter, orang membawa hasil bumi dan binatang buruan naik perahu ke pasar di pesisir untuk bertukar bahan keperluan hidup. Hasil penjualan dibawa mudik ke pegunungan dan pedalaman. Pada zaman modern, mudik adalah fenomena urbanisasi, ketika kota besar menjadi magnet bagi pendatang dari pedesaan atau kota kecil untuk mencari nafkah. Mudik semakin bermasalah ketika percepatan pembangunan semakin tidak seimbang. Sumber daya yang terpusat di beberapa kota besar menyebabkan ledakan penduduk, kepadatan pemukiman, kemacetan, dan masalah sosial lain.
Ketika sebagian besar penduduk di kota besar mudik bersamaan, urusan menjadi runyam. Bermacam upaya dilakukan untuk menjamin keamanan: membagikan peta, membuat pola tempat istirahat, atau membuat jalur alternatif. Berbagai persoalan akibat mudik besar-besaran membuat pakar mempertanyakan apakah kegiatan ini rasional.
Pulang bisa dilakukan pada waktu berbeda. Hasil menabung selama satu tahun bisa dihemat dan dijadikan modal usaha. Tetapi mudik membawa hikmah, selain masalah. Dari segi ekonomi, terjadi perputaran uang yang cepat dan pemerataan ekonomi sampai daerah terpencil. Kegiatan mudik juga mengajar orang untuk menabung dan menyisihkan sebagian penghasilan. Lagi pula, mudik tidak akan jadi masalah, jika pembangunan tak terpusat di beberapa kota besar saja, penduduk menyebar, infrastruktur memadai, dan layanan transportasi antarpelosok negeri terbangun rapi. Di Amerika, mudik terjadi pada hari raya Thanksgiving, ketika keluarga berkumpul, bersyukur, dan makan kalkun panggang bersama.
Mudik dalam hal ini mempunyai makna berlapis. Mudik memutus kegiatan kerja rutin sehari-hari, membuat keseimbangan dan mengingatkan prioritas hidup. Silaturahmi dengan keluarga, berziarah ke makam orangtua, menikmati suasana kampung halaman berfungsi untuk memulihkan kesegaran jiwa dan menyadarkan bahwa ada yang tak boleh diabaikan dalam kesibukan mencari nafkah dan membangun karir.
Terlebih lagi, mudik bertepatan dengan hari raya umat Islam, Idul Fitri, sebagai saat kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh. Mudik juga berfungsi membuat rajutan sosial. Sanak kerabat saling kunjung-mengunjungi dan bermaaf-maafan. Yang muda sungkem memberi hormat kepada orang tua. Dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, keluarga yang bukan Islam pun turut bersilaturahmi.
Itu sebab, setiap tahun jutaan orang bersikeras mudik, apapun risikonya. Yang mengejutkan, surat kabar melaporkan 515 orang meninggal akibat kelelahan, kepadatan lalu lintas, infrastruktur yang rusak, dan kondisi kendaraan. Jumlah korban nyaris separuh korban kekerasan di jalur Gaza. Apa kaitan mudik dengan Gaza? Gaza adalah kampung halaman yang hilang karena perang. Gaza adalah tempat mudik yang dihancurkan.
Seorang dokter mengabarkan, pengungsi dari Palestina mengalami depresi berat, karena tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, seorang perempuan Palestina menangis, ketika menerima kabar tidak mendapatkan suaka. Ia minta didoakan, agar suatu hari dapat membangun rumah, tempat ia bisa “mudik” Lebaran.
Selain mendoakan para buruh migran dan pengungsi yang tidak bisa mudik, kita perlu terus memanfaatkan momen “mudik” dalam kehidupan sehari-hari. Seperti retret dalam tradisi Katolik, kegiatan mudik pun bisa dimaknai sebagai upaya membersihkan hati, memperbarui relasi sosial, dan merupakan ujung dan awal siklus kehidupan, sampai saat kita mendapat panggilan kehidupan, sampai saat kita mendapat panggilan mudik ke kampung halaman abadi di surga..
Melani Budianta
HIDUP NO.34, 24 Agustus 2014