HIDUPKATOLIK.com – Minggu Biasa XIV 8 Juli 2018, Yeh. 2:2-5; Mzm. 123:1-2a,2bcd,3-4; 2 Kor. 12:7-10; Mrk. 6:1-6.
“Yesus tidak melawan fenomena ‘pemberontakan’ ini dengan menciptakan pemberontakan baru.”
NOTA Pastoral KWI Tahun 2018 menekankan panggilan Gereja dalam hidup berbangsa dengan menjadi Gereja yang relevan dan signifikan. Dalam nota pastoral tersebut, peserta sidang sepakat untuk menyuarakan kembali semangat panggilan profetis dengan menyatukan tekad dan menegaskan komitmen menjaga kesatuan serta merawat bangsa dan negara yang bhinneka (Nota Pastoral KWI 2018 no. 4).
Panggilan kenabian menjadi tema yang relevan direnungkan. Allah selalu mengirim utusan untuk membawa persatuan dan damai, bukan perpecahan dan pemberontakan. Bacaan pertama, Yahwe mengutus Yehezkiel kepada orang Israel yang memberontak melawan-Nya.
Yahwe memberi gambaran kepada Yehezkiel, orang Israel adalah keturunan yang keras kepala dan tegar hati. Yahwe menghendaki agar Yehezkiel menyadarkan orang Israel, akan keberadaan seorang nabi di tengah-tengah mereka.
Seorang nabi dalam mengatasi situasi pemberontakan merupakan gambaran Allah sendiri yang hadir untuk mendamaikan bangsa Israel. Yehezkiel menjadi alat dari Yahwe untuk membawa pesan perdamaian itu, “seorang nabi ada ditengah-tengah mereka” (Yeh.2:5).
Pesan ini mengisyaratkan Yahwe berinisiatif memberikan ruang rekonsiliasi, ruang dimana bangsa Israel bertobat dan kembali kepada-Nya. Jadi, melalui perutusan Yehezkiel, jelas bahwa seorang nabi hadir sebagai tanda nyata belas kasih Allah.
Nabi dalam Perjanjian Lama adalah orang yang memiliki hubungan erat dan percaya penuh pada Allah. Nabi merasakan penderitaan Allah karena dosa umat. Mereka menjadi pembicara atas nama Allah, teristimewa ketika berhadapan dengan penguasa (raja) dan rakyat (bangsa Israel) yang menyimpang dari perjanjian-Nya.
Militansi ini, sering mengantar mereka pada situasi penolakan bahkan mengorbankan nyawa. Yehezkiel diutus Allah menjadi seorang yang menentang sikap keras kepala dan tegar hati bangsa Israel dan menyadarkan mereka, bahwa mereka berada dalam “jalur” yang menyimpang dari perjanjian-Nya.
Yehezkiel berhadapan dengan situasi Perjanjian Lama yang diwarnai nabi-nabi palsu. Nabi palsu ini memalingkan umat dari kebenaran akan Allah. Umat diajak kepada penyembahan berhala dan mewartakan nubuat-nubuat yang menyimpang dari firman Allah.
Dalam bacaan Injil, Kristus mengalami penolakan dari orang-orang sekampungnya, ketika Dia menjalankan tugas kenabian-Nya di Nazareth. Penolakan ini bukan karena pengajaran-Nya melainkan karena latar belakang keluarga-Nya yang sederhana, anak seorang tukang kayu (Mrk 6:3).
Orang yang menjadi guru atau rabbi adalah mereka yang melewati masa-masa pendampingan khusus dan berasal dari kalangan para imam dan ahli kitab. Rabbi bukan dari kalangan jelata, apalagi tukang kayu. Latar belakang keluarga yang “tidak pas” itu membuat kehadiran Yesus ditolak.
Ini merupakan pemberontakan dalam situasi dunia Perjanjian Baru. Pemberontakan tidak lagi secara langsung sebagaimana dalam dunia Perjanjian Lama, melainkan pemberontakan dalam bentuk penolakan akan eksistensi Allah yang hadir melalui Kristus.
Akibatnya, orang Nazareth tidak mengalami kasih karunia Allah secara penuh, dalam bentuk mukjizat. Kecuali beberapa orang sakit yang disembuhkan (Mrk 6:5). Yesus tidak melawan fenomena “pemberontakan” ini dengan menciptakan pemberontakan baru.
Dia hanya heran atas ketidakpercayaan orang Nazareth (Mrk 6:6). Peristiwa yang terjadi atas Yehezkiel dan Yesus juga dialami Paulus. Dalam suratnya yang kedua kepada Jemaat di Korintus, Paulus menekankan bahwa seorang utusan mesti menyadari kelemahannya, agar ia dapat menjadi kuat dalam pewartaaannya.
Dengan menyadari kelemahan itu, kuasa Allah menjadi sempurna (2 Kor.12:9). Yehezkiel dan Yesus tidak mengalami putus asa ketika berhadapan dengan situasi “pemberontakan”. Mereka dikuatkan karena kasih karunia Allah demikian pun dengan Paulus.
Apakah kita sering berhadapan dengan situasi “pemberontakan”? Percayakah kita bahwa Allah mengutus kita menjadi pewarta firman Tuhan di tengah situasi ini? Ataukah kita menjadi mudah putus asa dan percaya pada nabi-nabi palsu dan menyimpang dari firman Allah? Bukankah dalam kelemahan kita, kuasa Allah menjadi sempurna?
Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD
Uskup Maumere