HIDUPKATOLIK.com – Jika ada orang Katolik mengenakan rompi oranye milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), itu menandakan bahwa ia tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Lalu, apa perasaan Anda saat melihatnya? Kemungkinan besar, jika Anda seorang Katolik, tentu merasa malu. Anda akan merasa tertampar, walaupun perbuatan buruk itu dilakukan orang lain. Selanjutnya, Anda merasa khawatir, karena orang akan menggeneralisasi bahwa Anda sama saja dengan si tersangka koruptor yang beragama Katolik itu.
Jika ada berita seorang Katolik yang kemana-mana minta diijinkan untuk mati karena merasa diri tak berguna, perasaan apa pula yang bakal muncul pada diri Anda? Kemungkinan besar Anda merasa tak enak hati, seolah-olah tak satupun dari enam juta umat Katolik Indonesia saat ini yang peduli kepada nasib seorang umat seperti Ryan itu.
Apa yang hendak dilakukannya? Seperti diketahui, Ignatius Ryan Kaunang yang tinggal di Jakarta Barat, belum lama ini mengajukan uji materi Pasal 344 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Pasal tersebut menyatakan, barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, dihukum penjara selama-lamanya 12 belas tahun. Terkait itu, Ryan menyatakan hak konstitusionalnya terlanggar, mengingat ia berniat bunuh diri dengan cara suntik mati.
Dalam persidangan, Ryan menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki pekerjaan yang pasti dan tidak menerima tunjangan dari pemerintah. Walau ia memiliki ijazah S-2 bidang administrasi fiskal, ia sudah lama menganggur. Selain itu, ia juga merasa kondisinya telah membebani lingkungan di sekitar dia. Rumahnya kumuh, kotor, dan tak layak dihuni. Dari penampilan, Ryan terlihat depresi, selain penyendiri dan berpandangan hidup kelabu.
Mengetahui itu, kita bisa bertanya: apakah komunitas basis terdekat tidak mengenal yang bersangkutan beserta permasalahan hidupnya? Di mana peran lingkungan, wilayah, dan paroki tempat Ryan tinggal? Mengapa tidak ada upaya guna mencegah yang bersangkutan berpikir menyudahi kehidupannya sendiri?
Jangan-jangan, yang terjadi adalah sebaliknya: komunitas basis sebenarnya telah bekerja. Persoalan Ryan, bahkan mungkin, sudah menjadi pembicaraan banyak orang di parokinya, dan tak kurang pula umat yang telah mencoba membantu. Namun, permasalahan pribadi Ryan kemungkinan besar terlalu berat, sehingga orang kapok dan menarik diri.
Penulis dalam hal ini melihat kasus Ryan sebagai ujian bagi ketangguhan komunitas basis yang banyak dipuji oleh orang di luar komunitas Katolik. Pertanyaan kritis bisa kita ajukan perihal seberapa besar kontribusi komunitas basis terhadap persoalan hidup umat. Jangan-jangan tidak ada. Jangan-jangan komunitas basis memang hanya terbatas untuk urusan Misa lingkungan, cari dana sana-sini, ziarah, atau membagi jatah makan buat pastor, dan sesekali sibuk jika ada yang meninggal. Di luar itu, tidak ada peran sama sekali.
Sementara itu, yang miskin tetap miskin, yang susah tetap susah, yang sakit tetap sakit. Konon, ada organ di paroki yang disiapkan untuk menyentuh mereka yang bermasalah, baik secara sosial ekonomi dan lain-lain. Tetapi, daya ungkit Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) di paroki amat terbatas, mengingat dana yang dikelola pun terbatas.
Singkatnya, komunitas basis terlihat hanya cocok untuk umat yang mainstream alias memiliki gaya hidup konvensional, penghasilan memadai, sehat, dan berpandangan hidup moderat. Maka, pantas saja jika ada umat bermasalah seperti Ryan, komunitas basis akan segera angkat tangan. Sama hal ketika ada orang Katolik yang korupsi, walau dengan rasa malu kita juga akan mengatakan: “Emang gue pikirin!”.
Adrianus Meliala
HIDUP NO.35, 31 Agustus 2014