HIDUPKATOLIK.com – Seorang diri, ia menentang pendudukan Nazi di Austria. Tanpa kekerasan, ia konsisten mengkritik kebiadaban pasukan Hitler. Hidupnya berakhir tragis di ujung pisau penggal.
Ketika Nazi menanam pengaruhnya di St Radegund, Austria, pada 1930, banyak orang muda tertarik dan bergabung dengan partai berlambang Swastika itu. Meski demikian, masih ada pemuda asal desa tak kepincut dengan partai yang dipimpin Adolf Hitler ini. Salah seorang pemuda itu bernama Franz Jägerstätter. Franz tak simpatik pada Nazi, karena partai ini melindas tata kemanusiaan. Bahkan, para klerus sering menjadi sasaran kekejaman kelompok itu.
Dalam usaha menganeksasi Austria, Nazi menggelar jajak pendapat pada 10 April 1938. Di kampung halamannya, di mana tinggal sekitar 1.100 jiwa, hanya Franz seorang diri yang menentang secara terbuka misi Hitler tersebut!
Konon, dalam tidurnya, Franz bermimpi melihat kereta Nazi dengan gerbong yang sangat panjang. Gerbong-gerbong itu mengangkut banyak manusia menuju kebinasaan. Mimpi itu kian membulatkan tekadnya menentang Nazi yang bercokol di tanah kelahirannya.
Pejuang Damai
Pada 1940, Nazi mengirim pasukan khusus Gestapo ke St Radegund setelah mendapat laporan ada sekelompok orang penentang di sana. Karena serangan ini, banyak orang, termasuk klerus terbunuh. Sementara, penduduk yang selamat digelandang dan dijerumuskan ke dalam penjara.
Meski selamat dari pembunuhan dan kurungan, Franz dipaksa menjalani wajib militer. Ia mau menjalani wajib militer jika ia diberi kelonggaran untuk tidak membawa atau menggunakan senjata, dan tidak membunuh. Ia menawarkan diri untuk ditugaskan sebagai tenaga medis. Pernyataan dan sikapnya membuat komandan Nazi gusar. Franz dipulangkan.
Pada 1 Maret 1943, Franz dipanggil menjalani wajib militer lagi. Sikapnya masih tetap sama seperti semula. Ia tak ingin keterlibatannya dalam kemiliteran membenamkan dirinya dalam rasa bersalah dan dosa karena membunuh. “Sesuai ajaran agama, saya menolak menggunakan senjata. Saya Katolik, dituntut untuk mencintai sesama. Bila memegang senjata, saya sama seperti Nazi. Saya tak mungkin berada di keduanya, seorang Katolik dan Nazi. Namun, saya selalu siap membantu pasukan hanya sebagai tenaga medis,” tegasnya.
Malang tak dapat ditolak. Franz malah ditahan di bekas biara Ursulin Linz, yang telah diubah menjadi penjara. Selama berada dalam tahanan, ia mengalami aneka penyiksaan fisik dan psikis. Pada 6 Juli 1943, ia dipindahkan ke penjara Berlin-Tegel. Pengadilan militer menvonis hukuman mati atas tuduhan menolak perintah pimpinan tertinggi militer.
Franz nyaris menanggalkan imannya. Ia juga tergugah oleh kisah seorang pastor yang mengalami nasib serupa dengannya. Ia mendengar kisah kemartiran sang pastor dari teman satu selnya, Pastor Heinrich Kreutzberg. Itulah yang menguatkannya untuk memeluk mahkota kemartiran. Ia mengisi hari-hari terakhir hidupnya dengan mengikuti Ekaristi dan membaca Kitab Suci.
Pada 9 Agustus 1943, pukul 16.00, Franz dibawa ke Bradenburg. Di tempat itu, hidupnya berakhir karena tebasan pisau penggal. Dua rekan yang pernah bersamanya menjalani kurungan di Berlin dan Bradenburg, Pastor Heinrich Kreutzberg dan Pastor Jochmann menghormatinya sebagai santo dan martir. Tiga tahun pasca wafatnya, abu dari jenazah Franz dipindahkan dari Vocklabruck ke tempat kelahirannya, sesuai pesannya ketika masih hidup.
Keluarga Miskin
Franz Jägerstätter bukanlah nama bawaan sejak lahir. Nama Jägerstätter pertama kali disandangnya pada Februari 1917, saat Franz berusia 10 tahun. Kisahnya berawal ketika ayah kandungnya, Franz Bachmeier wafat saat Perang Dunia I (1914-1918). Selang beberapa tahun, ibunya, Rosalia Huber menikah lagi dengan seorang petani di desanya, Heinrich Jägerstätter.
Sebelumnya, orangtua Franz hidup dalam kemiskinan. Bahkan, karena itu juga mereka tak mampu melangsungkan upacara Sakramen Pernikahan. Beruntung, nenek dari garis sang ibu, Elisabeth Huber merawat Franz dengan penuh kasih sayang. Franz pun dapat mengenyam pendidikan berkat perjuangan sang nenek.
Selama tujuh tahun, Franz mengenyam pendidikan dasar di St Radegund. sekolah itu jauh dari ideal. Kelas yang berukuran kecil dijejali sekitar 70 siswa berusia 6-13 tahun. Kemiskinan akibat perang yang berkecamuk saat itu menjadi faktor penghambat jalannya pendidikan.
Kehidupan Franz berubah drastis sejak ibunya menikah dengan Heinrich. Ia dapat menikmati makanan enak karena hasil ladang ayah tirinya berlimpah. Franz juga bisa membaca berbagai surat kabar dan buku-buku terkenal yang kala itu hanya menjadi hidangan bagi orang-orang yang hidupnya sudah mapan. Dari kebiasaan serta nasihat ayah tirinya, ia menjadi kutu buku. “Orang yang tidak gemar membaca, tidak akan bisa mandiri dan mudah dipermainkan orang lain,” pesan Heinrich kepada Franz.
Beranjak remaja, Franz gemar mengendarai sepeda motor, dan dialah satu-satunya orang di desanya yang memiliki sepeda motor. Meski demikian, tetangga lebih mengenalnya sebagai pribadi yang jujur dan rendah hati. Setiap hari Franz menghabiskan waktu bekerja di ladang milik ayahnya. Selama tiga tahun, 1927- 1930, ia merambah pekerjaan baru sebagai penambang biji besi di Eisenerz.
Pada 1933, saat berusia 26 tahun, Franz menjalin hubungan cinta dengan Theresia Auer, pembantu di ladang tetangganya, hingga membuahkan anak yang diberi nama Hildegard. Hubungan itu tak lama bertahan. Theresia mengaku bahwa mereka telah berpisah secara baik-baik. “Franz dan anaknya (Hildegard) tetap berhubungan baik,” katanya.
Pertobatan
Pada 1935, hidup rohani Franz mulai tumbuh. Saat itu, ia berjumpa dengan seorang gadis bernama Franziska Schwaninger. Franziska merupakan anak petani di desa tetangga, Hochburg. Ia tergolong gadis yang saleh dan banyak membantu Gereja dalam karya sosial. Setahun menjalin kisah kasih, Franz membulatkan tekad menikahi Franziska tepat pada perayaan Kamis Putih. Menurut keterangan beberapa tetangga, Franz menjadi pribadi yang berbeda. Mereka sering mendapati Franz dan istrinya sedang berdoa dan membaca Kitab Suci bersama.
Franz dan Franziska dikaruniai tiga putri, yakni Rosalia (1937), Maria (1938), dan Aloisia (1940). Kehadiran tiga bidadari cantik ini membuat kehidupan keluarga menjadi kian semarak dan bahagia. “Saya tak mampu membayangkannya. Sungguh, betapa indahnya pernikahan ini,” ungkapnya.
Pada 1940, Franz bergabung dalam Ordo Fransiskan Sekular (Ordo Franciscanus Saecularis/ OFS). Setahun kemudian, ia menjadi koster di gereja dekat tempat tinggalnya. Dalam setiap pelayanan, ia menolak menerima pemberian umat.
Kebahagiaan bersama keluarganya terpenggal, karena pendudukan Nazi di Austria. Ia harus terpisah dari keluarga hingga menumpahkan darah kemartiran. Takhta Suci akhirnya menganugerahkan mahkota kemartiran pada 1 Juni 2007. Dan, pada 26 Oktober 2007, beatifikasi atas martir Franz Jägerstätter dihelat di Katedral St Maria, Linz. Gereja memperingati Beato Franz Jägerstätter setiap 9 Agustus.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.35, 31 Agustus 2014