HIDUPKATOLIK.com – Dalam pembaptisan cucu, saya bersedia menjadi wali baptisnya. Tetapi, panitia pembaptisan di paroki menolak saya. Demikian pula ada seorang ibu yang ditolak menjadi wali baptis dari calon menantunya. Apa dasar hukum dari kedua penolakan ini?
Andrea Maria Wiwik, Malang
Pertama, perlu dimengerti terlebih dulu peran dari wali baptis. Melalui Sakramen Baptis, baptisan pertama-tama disaturagakan dengan Yesus Kristus (LG 7, 31; UR 3; AG 7 dan 15), diikat dengan-Nya (LG 5) dan dikonformasikan dengan-Nya (LG 7). Baptisan disatukan dengan misteri Paskah Kristus (SC 6, bdk AG 14). Penyaturagaan dengan Yesus Kristus ini ditunjukkan Kisah Para Rasul dengan penggunaan rumusan kristologis sebagai forma Sakramen Baptis, yaitu “dalam nama Tuhan Yesus Kristus” (Kis 2:38; 8:16; 10:48; 19:5; bdk juga KGK 1226-1227).
Penyaturagaan dengan Yesus Kristus ini didahului dengan penghapusan dosa dan semua hukuman dosa, kemudian diwujudkan dengan kelahiran kembali dalam Roh Kudus (KGK 1263). Orang yang dibaptis dilimpahi buah-buah Baptis lain, yaitu baptisan diangkat menjadi anak Allah dan disatukan dengan semua orang lain yang telah bersatu dengan Kristus, yaitu Tubuh Kristus, atau dimasukkan dalam komunitas Gereja (KGK 1267-1271).
Penyaturagaan dengan Yesus Kristus ini merupakan awal anugerah keselamatan. Maka, harus diingat bahwa anugerah keselamatan itu harus dikembangkan terus-menerus. Jika lalai atau kurang peduli, anugerah itu bisa juga hilang (bdk. pemilik satu talenta dalam Luk 19:11-27). Baptisan mengemban tugas untuk semakin menyerupakan diri (konformasi) dengan Yesus Kristus (Flp 1:17-2:18). Jadi, pembaptisan hanya merupakan awal dari hidup baru dalam Yesus Kristus. Orang yang dibaptis harus tumbuh dalam kebajikan dan rahmat sampai mencapai kepenuhan sebagai anak-anak Allah.
Kedua, dalam konteks proses pertumbuhan ini, menjadi jelas tugas dari wali baptis, yaitu mendampingi anak baptis dalam mengembangkan anugerah awal keselamatan yang telah diterima. Bisa dikatakan bahwa menjadi wali baptis berarti menjadi orangtua rohani bagi orang yang dibaptis. Jadi, wali baptis bukanlah sekadar pelengkap upacara pembaptisan. Menjadi wali baptis berarti menjadi orangtua dalam hidup rohani dan mempunyai kewajiban mendampingi pertumbuhan hidup rohani dari anak baptisnya (KHK Kan 872). Jika yang dibaptis adalah anak-anak atau bayi, maka wali baptis bekerja sama dengan orangtua anak tersebut. Jelas bahwa wali baptis sebaiknya terlibat dan dekat dengan anak baptis.
Secara konkret pendampingan itu berarti pemberian teladan iman dan nasihat rohani. Keteladanan dalam menghayati kebajikan dan hidup doa akan menjadi sumbangan yang besar bagi pertumbuhan iman dan pendewasaan rohani dari anak baptis.
Ketiga, penolakan panitia yang ditanyakan di atas sangat mungkin mengalir dari pertimbangan, jika seorang kakek atau nenek menjadi wali baptis dari cucu, maka kita andaikan ada perbedaan usia yang cukup besar antara kedua pihak. Perbedaan usia itu tentu kurang menguntungkan dari sudut rohani praktis, karena ada perbedaan mentalitas yang jauh antargenerasi, sehingga sulit untuk saling mengerti. Bisa juga terjadi, bahwa wali baptis, kakek atau nenek, sudah menghadap Bapa di surga ketika anak baptis tersebut masih sedang membutuhkan bimbingan rohani.
Hal yang sama bisa dikatakan tentang mertua. Kenyataan hidup menunjukkan bahwa banyak mertua yang mengalami ketegangan dengan menantu. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada lagi pihak lain yang bisa menjadi orangtua rohani bagi menantu. Pertimbangan praktis pastoral ini memang tak tertuang dalam Hukum Gereja atau peraturan Gereja manapun, tetapi sungguh sangat riil. Penolakan yang dirujuk menunjukkan ada kebijaksanaan pastoral yang matang..
RP Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.35, 31 Agustus 2014
Super Sekali Rm….
Terimakasih atas pencerahan nya………
Matius 19:14
Tetapi Yesus berkata: ”Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”
menolak keinginan anak2 untuk dibaptis sama sja sperti kisah diatas