HIDUPKATOLIK.com – Keterbatasan pendengaran bukan halangan untuk menumbuhkan iman. Lewat paguyuban, mereka berkumpul dan merayakan Ekaristi khusus.
Awalnya komunitas ini bernama Paguyuban Penyandang Tunarungu Se-Jabodetabek (PPTRKJ). Didirikan pada 4 April 2000 oleh para penyandang tunarungu beragama Katolik. Br Bruder Anton Marsudihardjo FIC, yang waktu itu mengampu tugas sebagai Pembina Sekolah Luar Biasa Pangudi Luhur Jakarta Barat, menjadi pembimbing komunitas ini. Tujuan komunitas ini pun sangat jelas: merayakan Ekaristi bersama.
Sebelum paguyuban ini dibentuk, para penyandang tuna rungu mengikuti Misa di gereja bersama umat lain. Kenyataannya, mereka tidak tahu apa yang diucapkan para petugas liturgi, maupun homili yang disampaikan imam. Boleh dibilang, mereka hanya mengikuti umat lain: duduk, berlutut, berdiri. Mereka ingin tidak sekadar datang berkumpul dengan orang lain.
Karena itu, mereka bertekad merayakan Misa khusus bagi penyandang tunarungu. Lewat komunitas yang sekarang bernama Paguyuban Tuna Rungu Katolik (Paturka) ini, cita-cita mereka terwujud. Sudah 14 tahun, Misa khusus bagi penyandang tunarungu yang mereka gagas berlangsung. Misa ini diadakan sebulan sekali, pada Minggu pertama, di kapel Susteran Gembala Baik Jatinegara, Jakarta Timur.
Persiapan khusus
Dalam Misa ini, mereka memerlukan penerjemah bahasa isyarat yang dikenal sebagai interpreter, agar bisa membaca bahasa bibir maupun bahasa isyarat tangan. Interpreter ini memberikan informasi tentang Misa, termasuk isi homili.
Selain itu, disiapkan pula layar teks Misa, agar mereka bisa melihat panduan Misa dari awal hingga akhir, termasuk lagu, mazmur dan pengumuman. Dengan layar ini pula, mereka juga bisa mengikuti dengan seksama setiap bacaan Injil dan bagian liturgi lainnya, seperti doa dan nyanyian. Bahkan, mereka juga menyanyikan lagu liturgi, sekalipun suara mereka boleh dikata tidak umum. Sebagai pelengkap layar ini, disiapkan pula Pointers atau Laser, untuk memberikan arahan pada teks saat Misa berlangsung.
Komunitas yang diutus
Setelah 14 tahun, pada 3 Agustus 2014, para anggota sepakat untuk mengganti nama komunitas menjadi Paturka. Namun, pergantian nama ini tidak mengubah keinginan awal mereka untuk bersama merayakan Ekaristi secara khusus. Bahkan, mereka semakin terpanggil untuk mengadakan berbagai kegiatan bagi anggota, antara lain pelajaran Katekumen, pendalaman Kitab Suci, konseling, pendalaman iman, rekoleksi, pengakuan dosa. Secara rutin mereka juga mengadakan perayaaan ulang tahun setiap 3 Agustus, dan Misa Natal. Demi terlaksananya kegiatan itu, pengurus Panturka berjanji untuk selalu siap melayani dan setia mengadakan Misa bagi anggota yang berjumlah sekitar 75 orang, berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Paturka merumuskan moto “Saya Tunarungu – Saya Punya Yesus”. Makna yang mereka tekankan bahwa hakikat hidup Kristiani adalah panggilan dalam persatuan Ilahi dengan Allah yang mewujud dalam diri Yesus, Imanuel (Allah beserta manusia). Dalam moto itu juga terkandung unsur kesadaran akan tugas perutusan.
Sedangkan rumusan visi yang mereka buat adalah: Memberdayakan Diri dan Sesama Penyandang Disabilitas Tuna Rungu dengan Karya Pembaktian bagi Kemuliaan Tuhan. Visi ini diharapkan menjadi pegangan untuk terus mengembangkan potensi diri: sebagai pendoa, motivator, dan saksi Kristus. Visi ini juga mendukung pengembangan potensi umum, yakni bakat setiap anggota. Komunitas juga memfasilitasi dan mendorong anggota untuk mengembangkan bakat seni, olahraga, dll. Adapun misi yang mereka rumuskan adalah: Menjadikan Insan Penyandang Disabilitas sebagai Saksi Kristus. Dengan misi ini, para anggota diharapkan melandasi karya mereka semata demi kemuliaan Tuhan, dengan meneladan Bunda Maria dan para Kudus.
Menyatukan
Dalam menjalankan kegiatannya, mereka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Tetapi kenyataannya, ada beberapa macam bahasa isyarat yang mereka gunakan. Biasanya, setiap sekolah memiliki cara sendiri. Sebagai gambaran saja, dalam berkomunikasi mereka bisa menggunakan America Sign Language (ASL), bahasa isyarat lokal sekolah, dan bahasa isyarat pribadi.
Saat ini, di Indonesia juga sudah dikembangkan bahasa isyarat pemersatu, yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Bahasa isyarat inilah yang juga digunakan oleh Paturka dalam kegiatan-kegiatannya. Harapannya, komunikasi antar anggota lebih maksimal, sehingga inti percakapan dapat dimengerti oleh semua anggota. Jika komunikasi berjalan dengan lancar, tali persaudaraan akan semakin erat terjalin.
Wakil Ketua Paturka, Johanes Romy Octavianus Santoso, mengaku bersyukur karena menjadi bagian dari komunitas ini. “Lewat Paturka, saya dapat mengikat tali persaudaraan dan menanamkan iman Katolik yang kuat dalam diri saya,” ujar lulusan Teknik Industri Universitas Kantolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, yang akrab disapa Romy ini. Demikian pula Tedy, Ketua PPTRKJ 2013-2014. Ia mengaku senang karena mendapat kesempatan untuk melayani sesama tunarungu. Sementara Anastasia Irma Julihantari Kakiailatu mengungkapkan bahwa Paturka telah menguatkan imannya. Dengan bergabung menjadi anggota, ia dapat membangun semangat untuk membantu orang lain, sekalipun menyadari diri juga punya kekurangan. ”Godaan senantiasa menghalangi setiap orang untuk berbuat baik. Maka, tajamkan diri dari setiap pengaruh buruk,” kata desainer grafis, berusia 40 tahun ini.
Romy, alumnus SLB-B Pangudi Luhur, Jakarta Barat, melontarkan keyakinan, “Dengan merayakan Ekaristi khusus ini, iman anggota Paturka bisa terus bertumbuh, lebih kuat, sehingga mampu melewati segala cobaan kehidupan serta bertahan dalam kondisi pendengaran mereka yang kurang.”
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.36, 7 September 2014