HIDUPKATOLIK.com – Ketika berada di Swiss, saya diundang saudara menghadiri persekutuan doa Katolik. Malam itu, ada acara pembaptisan bagi orang yang sudah meninggal dunia dan belum dibaptis, termasuk janin-janin yang meninggal karena kontrasepsi. Acara ini dipimpin seorang imam. Saya mengajukan nama kakek saya yang belum dibaptis dan memberi nama baptis Yoakim. Acara itu memang hanya doa, tak ada pembaptisan dengan air. Semua anggota komunitas memohonkan karunia Roh Kudus sebagai “sarana Sakramen Baptis”. Apakah praksis ini bisa dibenarkan? Apa dasar teologisnya?
Maria Giok, Malang
Pertama, sangat mungkin praksis membaptis orang yang sudah meninggal itu adalah pengaruh dari Gereja Mormon atau Gereja Orang Suci dari Zaman Akhir. Mereka melakukan pembaptisan orang hidup sebagai perwakilan (proxy) mereka yang sudah meninggal dunia. Dasar praksis mereka ialah keyakinan akan perlunya Sakramen Baptis bagi keselamatan (bdk. Yoh 3:5) dan praksis Gereja awali yang tercermin dalam 1 Kor 15:29, “Jika tidak demikian, apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang dibaptis bagi orang mati? Kalau orang mati sama sekali tidak dibangkitkan, mengapa mereka mau dibaptis bagi orang-orang yang telah meninggal?” (bdk. HIDUP No 46, 12 November 2006). Gereja Mormon mengimani bahwa Allah yang mahaadil itu akan memberikan kepada berjuta-juta orang yang meninggal tanpa bisa mendengarkan Injil Kristus dan dibaptis, sebuah kesempatan untuk mencapai keselamatan, yaitu pembaptisan mereka melalui perwakilan orang yang hidup. Jadi, seorang yang masih hidup bisa menjalani pembaptisan dengan air berkali-kali sebagai wakil dari orang yang sudah meninggal.
Kedua, dalam Gereja Katolik tidak ada ajaran untuk membaptis orang yang sudah meninggal. Gereja percaya bahwa Allah memberikan kesempatan hidup satu kali untuk selamanya, dan sesudah menyelesaikan hidup di dunia, manusia harus mempertanggungjawabkan hidup di dunia ini (Ibr 9:27). Sesudah kematian, tak ada kesempatan cadangan yang akan diberikan kepada manusia. Maka, Allah menghakimi manusia berdasarkan perbuatan di dunia. Jadi, Sakramen Baptis adalah untuk orang yang hidup, bukan untuk orang yang sudah meninggal.
Ketiga, Allah memberikan pencerahan-Nya kepada semua orang (Yoh 1:9), dan alam semesta itu sendiri juga memberikan bukti kehadiran Allah (Mzm 19:2-4). Semua ini sudah memadai untuk membimbing orang agar hidup menurut hati nurani dan memberikan pertanggungjawaban dasar atas hidupnya (bdk. Rm 1:18-21). Allah memberikan sarana pencerahan dan membuka kemungkinan luas untuk mengenal-Nya, selain melalui pewartaan Injil. Jika mereka menghayati pencerahan ini dan bisa mengenal Kristus dan memeluk-Nya, maka mereka diselamatkan (Rm 2:15-16).
Keempat, Sakramen Baptis memang perlu untuk keselamatan (bdk. Yoh 3:5), tapi penyelamatan Allah tak tergantung hanya kepada Sakramen Baptis. Allah tak dibatasi sakramen-sakramen (Deus non tenetur sacramentis). Artinya, Allah memiliki sarana lain selain sakramen untuk menyalurkan kerahiman dan keselamatan-Nya (KGK 1257). Rahmat Allah juga dicurahkan kepada mereka yang belum dibaptis (Kis 10:44-48). Penyelamatan Allah juga diberikan melalui Baptis rindu, yaitu bahwa melalui kerinduan untuk bersatu dengan Allah, orang sudah terbuka dan menerima keselamatan. Konsili Vatikan II menyatakan, ”Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (LG 16; bdk. GS 22). Ajaran ini dituangkan dalam KGK 847-848 dan 1257- 1260. Tidak perlu ada pembaptisan orang yang sudah mati, termasuk janin bayi, agar mereka selamat.
RP Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.36, 7 September 2014