HIDUPKATOLIK.com – Bunda Maria dipercaya menyelamatkan nyawanya yang hampir melayang. Ia pun bernadar untuk setia mengabdi Sang Bunda. Maka ia menjadi Jesuit dan melayani Gereja bawah tanah di Meksiko pada masa rezim Calles hingga wafat di tangan eksekutor.
Orangtuanya memanggil dia “Miguelito”. Namun, si bocah meminta kepada keluarganya agar dirinya dipanggil “Cocol”. Bagi orang Meksiko, nama Cocol bukanlah hal asing. Cocol ialah roti manis yang sering dikonsumsi. Roti ini sama seperti lazimnya roti yang berbahan dasar tepung terigu, gula, susu, dan telor.
Namanya terinspirasi dari perjumpaan si bocah dengan seorang perempuan dari Suku Aztec. Perempuan itu memberinya buah sangat banyak. Tanpa berpikir panjang, Miguelito melahap pemberian itu. Setibanya di rumah, kesehatannya terganggu. Selama setahun, kesehatannya kian memburuk. Ia tak dapat berbicara dan mengenali orang-orang terdekatnya.
Dokter pun angkat tangan dengan vonis bahwa Miguelito akan mati atau jika bertahan hidup, ia akan mengalami gangguan otak serius. Vonis dokter ini amat menghantui keluarganya. Orangtuanya tak ingin kehilangan buah hati mereka. Tiap hari sambil berlinang air mata, ayahnya menengadah ke langit untuk mohon pertolongan Bunda Maria Guadalupe.
Ketika ayahnya sedang berdoa, Miguelito tiba-tiba gemetar, lalu muntah darah. Keluarganya kian panik. Dokter pun terkejut. Ternyata peristiwa ini menjadi jalan bagi kesembuhannya. Disaksikan keluarganya, si bocah tiba-tiba membuka mata. Ia heran karena keluarganya mengerumuninya dengan airmuka sedih. Lalu, ia minta agar diberikan Cocol dan melahapnya. “Mulai sekarang, panggil saya, Cocol,” ucap Miguelito disambut tawa keluarganya.
Kelak, dalam setiap surat menyuratnya, Miguelito selalu membubuhkan nama itu. Bahkan sebutan itu amat berjasa. Suatu saat, Gereja Katolik mengalami represi dari negara, ia selamat karena nama itu menyembunyikan identitas asli dan karyanya sebagai imam.
Peran Maria
Kasus “buah” bukanlah satu- satunya peristiwa yang nyaris merenggut nyawa putra pasangan Miguel dan Josefa ini. Suatu hari, usai berburu bersama teman-teman sebaya, Cocol sengaja mengambil jalan pintas agar bisa mendahului mereka. Dengan begitu, teman-temannya akan memuji kecepatan langkahnya. Demi memuluskan niatnya, ia memilih melewati lintasan kereta api. Karena terburu-buru, kakinya terselip di celah bantalan rel.
Cocol berusaha mengeluarkan kakinya, tapi selalu gagal. Tak lama kemudian, kereta muncul dari balik bukit. Rasa takut merayapi hatinya. Ia terus berusaha menarik kakinya sambil berdoa. Dalam pinta kepada Bunda Maria Immaculata, ia bernadar: seandainya selamat dari bahaya maut ini, ia akan melayani dan berkorban untuk Sang Bunda.
Usai mengucap nadar, sol sepatunya copot sehingga kakinya berhasil dikeluarkan dari celah rel. Cocol pun selamat. Setiba di rumah, ia menceritakan pengalamannya kepada setiap orang yang ia jumpai. “Setelah peristiwa itu, aku berjanji kepada Bunda Maria untuk menjadi hambanya yang setia. Sejak saat itu, dialah ratuku,” paparnya.
Penindasan Gereja
Cocol bernama asli José Ramón Miguel Agustín Pro Juárez. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, tetapi menjadi putra pertama dalam keluarga Miguel. Empat saudara kandungnya meninggal saat masih bayi. Dua saudarinya, Maria de la Concepcion dan Maria de la Luz menjadi suster Gembala Baik (Religious of the Good Shepherd, RGS). Ia lahir di Guadalupe, Zacatecas, Meksiko, 13 Januari 1891.
Cocol menjadi pewaris usaha ayahnya di bidang pertambangan. Namun, karena kedekatan dengan dua saudarinya yang menjadi suster, ia memilih jalan imamat. Pada 10 Agustus 1911, ia masuk Novisiat Serikat Jesus (SJ) di El Lano, Michoacan, Meksiko.
Pada 1914, gelombang penganiayaan terhadap Gereja Katolik kian terasa. Hal ini seiring dengan perubahan politik dan kepemimpinan di Negeri Sombrero. Demi masa depan Gereja Meksiko, para Yesuit – sebutan untuk anggota SJ – mengungsikan novisnya ke luar negeri agar bisa melanjutkan pendidikan.
Cocol bersama tiga teman novis lain dikirim ke Los Gatos, California, Amerika Serikat untuk menjalani masa Yuniorat (1914-1915). Kemudian mereka berlayar ke Granada, Spanyol. Di sana, mereka belajar Filsafat selama lima tahun (1915-1919). Pada 1919-1921, ia dikirim ke Nicaragua untuk menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (TOK). Setelah itu, ia kembali ke Spanyol untuk mendalami spiritualitas Ignatian selama dua tahun. Lalu ia bertolak ke Enghien, Belgia dan menerima tahbisan imam pada 1925.
Sebagai imam muda, Pastor Cocol kembali ke tanah airnya. Kepulangan ini membawa sukacita. Namun di sisi lain, kehadirannya menyulut kepedihan mendalam karena harus menyaksikan kesengsaraan umatnya. Meksiko saat itu dipimpin oleh Plutarco Elías Calles (1924-1928), seorang ateis dari Partai Buruh yang anti-Katolik. Ia menerbitkan undang- undang “Hukum Calles”. Isinya, menghukum tanpa peradilan bila klerus mengritik pemerintah, para imam dilarang memakai jubah dan atribut kekatolikan di luar gereja, dan menghentikan aktivitas atau pelayanan Gereja, seperti perayaan sakramen dan ibadat. Tak heran, selama Calles berkuasa, banyak gereja disegel, para imam diburu dan dibunuh, para suster dipaksa mengingkari kaul kebiaraannya, dan kegiatan Gereja nyaris terhenti. Padahal mayoritas penduduk Meksiko beragama Katolik.
Dalam kondisi sakit-sakitan, Pastor Cocol diam-diam tetap melayani umatnya dalam komunitas-komunitas diaspora. Ia kerap menulis surat gembala untuk menguatkan iman umat yang dihantui teror. Setiap surat selalu dibubuhkan nama “Cocol”. Sang gembala itu pun pandai menyamar. Ia kerap muncul secara publik guna mencari tahu keberadaan umatnya. Ia seolah bermain dengan maut.
Mahkota Kemartiran
Malang tak dapat ditolak. Pastor Cocol tertangkap. Pemerintahan Calles langsung mengganjarnya dengan hukuman mati. Demi menebar teror, presiden ateis itu mengundang seluruh awak media lokal maupun nasional untuk mendokumentasikan aksi biadabnya terhadap imam muda ini. Pada 23 November 1927, ditentukan sebagai hari eksekusinya. Sebelum dieksekusi, ia berlutut dan berdoa. Para algojo segera merentangkan tangan sang pastor dan mengikatnya pada kayu gantung, seperti Yesus yang disalibkan. Tangan kanan menggenggam salib, sementara rosario terjuntai di tangan kirinya.
Pastor Cocol menolak matanya ditutup. Ia siap menghadapi kematian dengan tegar. Sebelum eksekusi, ia masih sempat memaafkan para algojo yang siap mencabut nyawanya. “Viva Christo Rey” (Hidup Kristus Raja), serunya ketika menerima berondongan peluru sebelum raganya roboh. Untuk memastikan imam itu sudah mati, seorang eksekutor menembak dahinya dari jarak dekat.
Calles melarang upacara pemakaman bagi Pastor Cocol. Bahkan, ia tak segan untuk menghukum mereka yang berani menentang perintahnya. Meski demikian, konon sekitar 30 ribu orang menghadiri upacara pemakamannya. Menjelang dikuburkan, umat yang hadir dikejutkan dengan bunyi gemuruh. Rupanya, alam pun turut mengiringi kepergian martir setia, pemberani, nan baik hati ini.
Pada 10 November 1986, Paus Yohanes Paulus II menandatangani dekrit kemartiran Pastor Cocol dan mengangkatnya menjadi Venerabilis. Lalu pada 25 September 1988, Paus yang sama menggelarinya Beato. Perayaan beatifikasi Pastor Ramón Miguel Agustín Pro Juárez SJ dihelat di tanah kelahirannya, Meksiko. Gereja mengenang mahkota kemartirannya tiap 23 November.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.37, 14 September 2014