HIDUPKATOLIK.com – Dalam Himbauan Apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus memperingatkan untuk mewaspadai bahaya keduniawian rohani dalam hidup Gereja. Apa yang dimaksud dengan “keduniawian rohani”? Apa yang menyebabkan keduniawian ini?
Remarus Janarko, Surabaya
Pertama, “keduniawian rohani” adalah sikap duniawi yang diwujudkan dalam hidup rohani atau hidup menggereja, atau sikap mencari kemuliaan dan kesejahteraan diri sendiri, dan bukan mencari kemuliaan Tuhan. Keduniawian ini diwujudkan dalam bungkus penampilan saleh, pelayanan luhur, dan nasihat mulia. Fokus semua tindakan itu ialah mencari kemuliaan diri sendiri melalui pujian dan kekaguman orang lain, serta bukan diarahkan kepada Tuhan. Tuhan hanya dimanfaatkan untuk diri sendiri. Sasaran sikap dan tindakan ini horizontal, yaitu kepada sesama, dan sama sekali tidak vertikal, kepada Allah. Sikap inilah yang dicela Yesus dalam diri orang-orang Farisi: “Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang esa?” (Yoh 5:44). Paus Fransiskus menegaskan, sikap keduniawian rohani ini jauh lebih berbahaya, karena kamuflase rohaninya daripada keduniawian lain yang melulu bersifat moral (EG 93).
Kedua, keduniawian ini bisa dikompori dua keyakinan yang saling-terkait (EG 94). Keyakinan pertama bahwa keselamatan dapat dicapai melalui pengalaman rohani tertentu atau dengan memiliki pengetahuan- pengetahuan iman yang meneguhkan atau memberi pencerahan. Iman di sini hanya dihayati secara pribadi. Inilah wujud dari aliran gnostisisme yang kita kenal dalam sejarah Gereja. Akibat paling konkret dari keyakinan ini ialah sikap tertutup pada diri sendiri dan berpuas-diri dengan pikiran dan perasaan sendiri yang dirasa hebat, luhur-suci.
Keyakinan kedua ialah “neopelagianisme promethean”, yaitu keyakinan bahwa dengan kekuatan mereka sendiri (bukan Tuhan!), mereka dapat mencapai keselamatan. Kata “promethean” berasal dari Prometheus, yaitu seorang pribadi dari mitologi Yunani yang dihukum para dewa karena sudah mencuri api dari surga untuk diberikan kepada manusia. Orang-orang ini seolah mencuri kekuasaan Allah yang menyelamatkan, sehingga merasa mampu menyelamatkan diri sendiri. Mereka juga merasa superior dibandingkan orang lain, karena sudah melakukan secara tekun dan ketat peraturan-peraturan tertentu yang sungguh benar atau cara hidup Katolik tertentu dari masa lalu. Mereka merasa diri sebagai kelompok elit yang narsistik dan otoriter. Fokus mereka bukanlah mewartakan kabar gembira kepada orang lain dan membuka diri kepada rahmat Allah, tetapi cenderung menganalisis dan mengkotak-kotakkan orang lain. Mereka ini menghabiskan energi untuk meneliti dan mencari kesalahan orang lain. Paus Fransiskus menegaskan, “Mereka ini bukti immanentisme antroposentris yang berpusat pada manusia.” (EG 94)
Dalam kedua sikap di atas, fokus penghayatan rohani mereka bukanlah kepada Yesus Kristus, tetapi diri sendiri, kemegahan dan kekuatan diri sendiri. Di antara para pemeluk kedua sikap ini, tak mungkin muncul suatu greget mewartakan kabar gembira yang sejati.
Ketiga, tanda jelas dari keduniawian rohani ialah keasyikan yang tiada habis mengkutak-kutik liturgi, ajaran dan harga diri Gereja, namun tanpa keprihatinan sedikitpun agar Injil memiliki pengaruh kuat kepada umat Allah yang beriman dan menanggapi kebutuhan konkret zaman sekarang (EG 95). Keduniawian rohani ini juga muncul dalam obsesi menolong diri atau realisasi diri, dalam sikap pamer hidup sosial yang penuh penampilan, rapat, perjamuan makan, dan resepsi, atau dalam mentalitas bisnis, yang dikejar dengan manajemen, statistik, perencanaan dan evaluasi. Yang terabaikan ialah Kristus yang menjelma, disalib dan bangkit, dan kerasulan konkret menanggapi kebutuhan dalam masyarakat (EG 95)
RP Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.37, 14 September 2014