web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Berziarah ke Taman Makam Prasasti

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com Ribuan umat meratapi Pastor Hendrikus Van Der Grinten. Mereka datang dari berbagai kalangan, baik Katolik maupun umat beragama lain

MEMASUKI gerbang Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta Pusat, seakan membawa kembali ke masa silam. Di dalam kompleks pemakaman seluas 1,3 hektare itu terdapat berbagai jenis patung dan nisan bergaya Eropa.

Berdiri sejak 1975, Taman Makam Prasasti menjadi salah satu pemakaman modern tua di dunia. Pemakaman ini dapat disandingkan dengan Pere Lachaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge Massachusstes, Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC, Gore Hill Cemetery (1868), dan Fort Canning Park (1926) di Singapura.

Menurut Pemandu, Eko Wahyudi, Museum Taman Prasasti semula merupakan pemakaman khusus untuk orang asing di Batavia. “Ini adalah pemakaman bagi bangsawan dan pejabat tinggi Belanda. Selain itu ada sejarawan dan tokoh militer pada masa itu,” terang Eko, Sabtu, 23/6.

Pemerintah DKI Jakarta kemudian memugar tempat ini. Jenazah-jenazah di makam itu, lanjut Eko, dipindahkan ke Menteng Pulo dan Tanah Kusir. Pada 1977, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, meresmikan Museum Taman Prasasti.

Jumlah nisan di sana ada sekitar 1.372 buah. Di hampir setiap nisan terdapat berbagai ukiran dan patung yang didatangkan dari luar negeri, misal Milan, Italia. “Ada banyak patung malaikat di sini. Semakin mewah sebuah nisan menunjukkan strata mendiang,” bebernya.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Makam Pastor
Ada sejumlah tokoh Belanda, Inggris, dan Indonesia yang sempat dimakamkan di kompleks pemakaman ini, antara lain A.V Michiels, Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles), dan R. Kohler (pendiri School tot Opleiding van Indische Arsten/STOVIA).

Menurut Eko, hanya ada dua orang Indonesia yang sempat dikebumikan di sana, yakni Soe Hok Gie (aktivis mahasiswa 1966 yang meninggal di Gunung Semeru) dan Nyonya Riboet (tokoh opera terkenal sekitar 1930).

Menurut Eko, selain awam, ada juga sejumlah pastor yang dimakamkan di Tamam Makam Prasasti. “Mereka merupakan para misionaris yang bertugas di Batavia saat itu. Makam para pastor tersebut merupakan jejak Gereja Katolik di Batavia.”

Beberapa pastor yang prasastinya terpacang di sana adalah mempunyai prasasti di tempat ini yakni Vikaris Apostolik Batavia Mgr Adam Charles Claessens (1818-1895). Mgr Claessens adalah tokoh yang membangun Gereja St Perawan Maria Diangkat ke Surga Jakarta.

Selain itu Mgr Walterus Staal SJ (1839-1897), Vikaris Apostolik Batavia, yang melanjutkan pembangunan Gereja Katedral dan juga Pastor Hendrikus van der Grinten. Makam para pastor itu biasa dikunjungi oleh umat Kristiani. “Makam para pastor ini memiliki nilai tersendiri karena mereka adalah para misionaris kala itu. Di nisan terpatri karya mereka selama di Batavia,” terang Eko.

Dari berbagai nisan yang terdapat di Museum Taman Prasasti terdapat sebuah nisan yang yang spesial. Nisan itu berada di tengah pemakaman, seakan menjadi pusat kompleks tersebut. Ukuran makam itu lebih tinggi dari yang lain. Ada sebuah patung pria mengenakan jubah sembari berdiri tegap.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Patung tersebut adalah Pastor Hendrikus van der Grinten. Di bagian depan patung itu tertulis, ik ben alles voor allen geworden, yang berarti ‘bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya’.

Eko memaparkan, posisi patung Pastor van der Grinten berada di tengah makam ingin menunjukkan bahwa orang tersebut amat berarti di Batavia.

“Patung Pastor Grinten terbuat dari perunggu. Sangat sedikit nisan yang memakai bahan perunggu. Untuk mengenang jasa Beliau, pemerintah Belanda membuatkan patungnya. Posisinya di atas karena mereka menginginkan Pastor Grinten abadi. Ini dibuat lebih spesial untuk mengenang karya-karyanya,” kata dia.

Patung Pastor Grinten di Taman Makam Prasasti.
[HIDUP/Willy Matrona]
Nisan Pastor Grinten dihiasi dengan relief karyanya semasa hidup. Ada tiga relief yakni pada sisi kiri menggambarkan Pastor Grinten sedang duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sebelah kanan menggambarkan dirinya sedang bercengkerama dengan anak kecil, dan di bagian belakang menggambarkan Yesus yang menggendong seekor anak domba di pundaknya.

Dari ukiran berbahan perunggu itu, pengunjung bisa mendapatkan informasi ihwal karya yang dibuat Pastor Grinten semasa hidup. Pastor Grinten, terang Eko, amat dekat dengan orang kecil dan sederhana.

“Dia melayani orang sakit. Pada masa itu, rumah sakit tak semegah seperti sekarang. Dia juga dekat dengan anak-anak. Dari relief merekam jejak karyanya sebagai pastor yang menampung anak-anak yatim piatu kala itu”.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Pastor Grinten menginjakkan kaki di Batavia pada 13 Agustus 1847. Dia ditugaskan di beberapa tempat yakni Padang, Semarang, Kalimantan, dan tentu Batavia. Dia menampung, menjaga, dan merawat anak-anak yang telah kehilangan orangtua.

Banyak yang Meratap
Direktur Panti Sosial Vincentius Putra Jakarta, Pastor Yosef Daniel Dedie Kurniadi, mengungkapkan, Pastor Grinten adalah salah satu pendiri Panti Sosial Vincentius. “Saat itu tujuan utamanya adalah untuk membantu anak-anak keturunan Belanda (Indo-Eropa) yang menjadi masalah sosial di masyarakat,” ungkap Pastor Dedie, saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat, 22/6.

Pastor Grinten, tambahnya, memang punya perhatian khusus terhadap anak-anak yang kurang beruntung. Dia merupakan figur sederhana dan dermawan. Semasa hidupnya di Batavia, dia sering membantu orang-orang susah. Ketika Pastor Grinten meninggal pada usia 52 tahun, ribuan orang melayat dan meratapi kepergiannya.

Mereka mengantar jenazah sang imam hingga ke pemakaman Tanah Abang. Peristiwa amat menyentuh ketika Pastor Grinten meninggal adalah mereka yang melayat dan mengantar sang imam ke liang lahat bukan hanya umat Katolik tapi juga umat beragama lain, tak hanya orang miskin tapi juga kaya.

Mereka merasakan duka dan kehilangan mendalam atas kepergian sang gembala yang tak pernah membeda-bedakan dalam melayani sesama.

 

Willy Matrona

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles