HIDUPKATOLIK.com – SUDAH lama aku tak percaya Tuhan. Ia kupandang tak lebih dari sekadar biang segala masalah yang ada di bumi, di kehidupan manusia. Seandainya bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa-masa ketika manusia mulai merumuskan keberadaan Tuhan. Ingin kuubah sejarah rasanya.
Aku tak membenci Dia. Buat apa benci, toh Dia juga tak ada, demikian pikirku. Memoriku seolah dipaksa berputar kembali ke tiga tahun silam. Kala itu aku masih seorang totok beragama.
Selalu kuingat bahwa Tuhan senantiasa menjaga semua ciptaan-Nya, apalagi manusia. Ia mengenal mereka sangat dekat bahkan memanggilnya dengan nama mereka masing-masing. Namun, senja itu bagai petir yang menyambar utopia religiusitasku. Kulihat dengan mata kepalaku seorang anak kecil yang kelaparan didera busung lapar, terduduk ringkih di hamparan gurun yang gersang.
Matahari yang menyengat membuat air bak harta yang jauh lebih berharga dari emas. Tak jauh dari anak itu, seekor gagak berukuran hampir sama dengan tubuhnya bertengger di belakang, menanti sesuatu. Aku yang hendak pulang ke negaraku usai meliput bencana kelaparan dan kemanusiaan di Somalia, tergerak mengabadikan momen unik dan langka itu.
Jepret. Dua-tiga foto berhasil kudapat. Kulihat hasilnya di kamera, dan seketika itu juga aku lengah dari pandanganku. Kuarahkan kembali ke objek yang sama dan, astaga, burung tadi sudah menyerang anak yang kelaparan itu.
Sontak aku berlari ke barak. Kuminta bantuan kepada orang-orang di sana. Sama kagetnya dengan diriku, beberapa pria bule berlari ke tempat yang kutunjukkan. Tapi sayang, si anak tadi sudah tak di tempat, gagak itupun hilang.
Yang ada hanya darah. Berbagai macam pikiran berseliweran di benakku. Aku syok. Pulang ke Indonesia aku tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku termenung dan bertanya, apa yang baru saja terjadi, Tuhan? Ke mana anak itu? Jangan-jangan..
***
“Mir, besok kamu meliput ke daerah Soposurung ya!” Perintah Mba Tiar, editorku. “Meliput kerusuhan yang kemarin mba? Kan masih panas-panasnya. Takut ah diserang.”
“Mira, namanya jurnalis ya kayak begitu. Berani masuk ke dalam pusaran masalah, buat ngangkat peristiwa yang sesungguhnya terjadi.”
Terakhir kali aku berpikir seperti itu yang kudapat adalah peristiwa sadis dan kejam merenggut anak kecil tak berdosa. Aku tak berani bercerita tentang apa yang kualami tiga tahun lalu. Aku mau marah dan berontak.
Yang kutahu, dunia ini punya Tuhan yang dalam peristiwa itu cukup kejam hingga membiarkan itu terjadi. Kenapa penugasanku harus ke tempat yang penuh penderitaan, keluhku. Tak ingin berkeras hati, aku akan mengikuti perintah Mba Tiar.
***
Janaprana-Soposurung 5 jam berkendara jauhnya. Sengaja aku memilih bus supaya dapat hal-hal baru yang bisa di-shot kameraku. Soposurung, salah satu kota tereligius di negara ini. Tak ada daerah yang lebih ketat hidup beragamanya selain kota ini.
Sayang, kereligiusannya tak melepaskan kota ini dari jerat kemiskinan yang parah. Masuk ke daerah perbatasan, segera kutemui banyak pemukiman kumuh. Di sepanjang jalan, bukan cuma satu tapi ada 14 titik yang dilintangi garis polisi.
Kemiskinan yang parah umumnya memicu konflik sosial, tak peduli seberapa religius mereka. Toh kereligiusan jadi tameng yang mengada-ada. Hal itu jadi bahan lelucon di benakku, “Ah, Tuhan. Bisa buat apa? Cuma imaji manusia.
Ke-14 titik itu tanda Ia tak bisa mencegah sesuatu yang jahat terjadi.” Seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku heran mengapa ia memilih duduk di sisiku, padahal masih banyak bangku yang kosong. Kulihat wajahnya, agak kalem. Tanda dia bukan orang jahat pikirku. Tak ambil pusing, aku lebih memilih “menikmati” pemandangan rumah-rumah kumuh yang rasanya tidak berujung dari balik jendela bus.
Satu lagi potret ketidakadilan. Kala Janaprana bergelimang uang dan hidup mapan, di sini, rumah saja paling sedikit diisi 12 orang yang belum tentu kenal satu sama lain. Makna keluarga inti pun jadi anonim. Keluarga berarti mereka yang melakukan kehendak si empunya rumah bukan lagi yang bertalian darah.
“Ya Tuhan, malangnya!” ucap pria di sebelahku tiba-tiba. Aku kaget. Kutoleh kan pandangan dan ternyata ia melirik ke kamera yang dari tadi kubuka untuk melihat foto-foto.
Aku tersenyum mengulum sambil berdehem. Maksudku ingin menyindir dia karena sudah melihat privasiku. “Maaf, mba. Tak bermaksud mengintip. Saya tadi mau menoleh ke jendela, tak sengaja melihat foto mba yang tadi,” katanya.
Sedikit tidak percaya, aku mengangguk memaklumi.
“Itu di mana mba?” lanjutnya bertanya.
“Itu di Somalia mas. Dia kelaparan karena waktu itu, lagi ada bencana kelaparan ditambah perang saudara yang berkepanjangan. Intinya adalah mereka menderita. Dan lucunya, sosok yang anda sebut ketika kaget tadi adalah penyebabnya”, demikian aku menyimpulkan.
Aku senang bila si mas itu termenung oleh perkataanku.
“Mas lihat dari tadi, kemiskinan dan kejahatan yang sangat kentara di daerah sini, ya, salah satu ulah-Nya. Ironis gak mas, Soposurung, daerah yang religius kok kriminal?”
Ia diam dan tak membalas. Tatapannya beralih ke depan dan tak melihat ke arahku lagi.
Aku senang melihatnya terdiam. Mungkin ia sedang berusaha mengiyakan argumenku.
Aku tak tahu kenapa aku begitu berani mengatakan hal-hal itu. Tapi aku puas bila akhirnya ada yang “berbelok arah” dari si Tuhan, apalagi sebabnya adalah aku.
Tak ada respon lagi, aku kembali asik dengan kameraku. Tak bermaksud menyelidik, aku penasaran setelah ngeh ada luka di dekat pergelangan tangan di balik kemeja lengan panjangnya.
Lukanya bukan luka biasa, ada bolongan yang menganga. Ragu-ragu aku bertanya,“Mas, tangannya luka kenapa ya? Kok gak diperban? Nanti infeksi lho.”
“Oh ini. Sudah lama sekali, mba. Tak bisa sembuh. Kadang masih berdarah. Tak saya perban sengaja supaya saya selalu ingat mereka yang karenanya luka ini ada.”
“Emang luka karena apa?” Tanyaku makin penasaran.
“Niatnya, waktu itu mau membantu orang. Ya udah, saya bantu sampai terluka seperti ini. Alamak, sakitnya tak tanggung- tanggung mba. Tapi, ya, pada akhirnya bantuan itu kan bisa kadaluwarsa ya, mba. Mereka lupa bantuan saya.”
Lanjutnya lagi, “Itu sebab pertama. Lukanya dua kali mba, di tempat yang sama lagi.”
“Yang kedua karena apa, mas?”
“Yang kedua karena dipatuk burung mba.”
Sebenarnya bukan cuman tangan saya saja. Kepala, dada, dan kaki juga. Ceritanya, waktu itu daerah saya dilanda bencana kelaparan.
“Banyak orang yang datang melihat kami, tapi sedikit yang membantu. Bantuan justru datang dari mereka yang tak pernah melihat namun percaya bahwa kami membutuhkannya. Mereka yang datang melihat hanya foto-foto.”
“Lalu, datanglah burung besar itu. Mungkin ia juga kelaparan dan ia siap menerkam saya. Saya pasrah saja waktu itu. Saya sadar kami berdua kelaparan dan salah satu harus makan. Maka, saya dengan rela hati membiarkan dia yang menang. Namun sayang, ada seorang bapak-bapak yang menolong saya.”
Seketika pikiranku langsung terbang ke peristiwa tiga tahun silam. Aku mual dan mau muntah rasanya.
“Mas, siapa sebenarnya?”
Pria itu menjawab aneh, “Mira, banyak hal yang kamu tidak mengerti tentang Aku.
Ketika ada penderitaan, kelaliman, kejahatan, ketidakadilan, Aku tidak diam Mira seperti yang kau duga.
Aku bekerja. Aku menciptakan kamu ada.
Namun, sayang, kamu lebih sering melihat dengan kameramu, bukan dengan matamu apalagi hatimu sehingga kamu tidak menyadarinya.”
“Empat belas kali Aku berada dalam titik terendah perjalananKu mendapatkan luka-luka ini. Itu semua bukan untuk kesia-siaan. Itu semua supaya kamu pun mau melakukan hal yang sama. Terlukalah untuk orang lain Mira, bukan lari karena takut. Aku tidak diam. Aku ada dan mengada lewat dirimu demi sesamamu.”
***
“Mba, mba. Bangun mba! Sudah sampai di Soposurung,” seorang bapak membangunkanku.
Aku tertidur? Pengalaman tadi juga mimpi? Aku merasa pusing. Sempoyongan aku berdiri hendak beranjak keluar bus. Kulihat jamku, sudah pukul 3 sore ternyata.
Aku penasaran dengan lelaki dalam mimpi yang terasa sangat riil tadi. Perkataan-Nya masih terus terngiang di kepalaku. Seorang pengemis cilik datang menghampiri persis ketika aku turun dari bus. Kuberi dia uang.
Ah tidak, kuajak ia makan bersamaku di sebuah warung di gedung terminal. Saat makan, kufoto ia. Entah kenapa, aku sangat tertarik dan terus melihat wajahnya dalam foto. Kulitnya tidak hitam, tapi kuning langsat.
Namun, wajahnya, mengingatkanku akan seseorang. Ya, dia mirip anak dengan gagak hitam itu. Saat kudongakkan kepalaku, ia lenyap. Ia tak lagi di hadapanku menyisakan makanan yang belum habis.
Aku teringat, “Namun, sayang, kamu lebih sering melihat dengan kameramu, bukan dengan matamu apalagi hatimu”.
Oh ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa-masa di Somalia dulu ketika manusia yang lapar membutuhkan Tuhan yang hadir dalam aku untuk membantu.
Zeperino Juan