HIDUPKATOLIK.com – “DASAR wong cilik. Emang bisa nyaingin kita? Ngaca dong, lo tu siapa,” ejek Briyan. Adrian melanjutkan, “Dasar wong ndeso, udik, kumal. Pede sekali mau tampil di acara perpisahan? Lo tuh cocoknya jadi pengamen di trotoar sana. Lo ga layak tampil di acara itu. Orang bakal muntah liat lo.”
Aku hanya diam mendengar ocehan dan hinaan mereka. Aku tak bisa membalas ejekan itu. Aku bukanlah siapa-siapa di sekolah ini. Aku bukan Briyan, anak pengusaha kaya dan terkenal. Bukan juga Adrian, anak seorang pejabat. Aku hanyalah anak tukang cilok.
Ekonomi keluarga kami bertumpu pada gerobak cilok milik ayah. Setiap hari kesabaranku diuji, selalu diejek dan dipermalukan mereka. Terkadang kuberpikir mungkin ini nasib orang miskin, hanya bisa tersenyum menghadapi kenyataan yang terjadi.
Ejekan mereka tak pernah membuatku minder untuk mengembangkan bakat bermusik. Musik adalah bagian dari hidupku. Alunan melodi selalu membangkitkan semangatku. Sejak kecil aku bercita-cita menjadi seorang musisi terkenal.
Setiap hari aku berlatih dan terus berlatih. Dengan gitar pinjaman, aku mengasah kemampuan. Semakin diejek, semakin aku bersungguh-sungguh. Tak hanya di sekolah, di rumah pun aku berlatih. Perlahan feeling-ku berkembang pasti.
“Rel, Farel… bangun nak. Udah jam 04.00.” Suara ibu mengalahkan mimpi indahku.
Ku bergegas dari tempat tidur menuju dapur. Aku langsung mengambil beberapa piring kotor dan mencucinya. Setelah itu, membantu ayah menata beberapa perlengkapan di gerobak cilok. Sore hari aku membantu ibu di dapur.
Tak tega melihat mereka berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi. Membantu mereka adalah bentuk terima kasihku. “Le, Sampean kok di sini? Ndak belajar gitar toh?” Tanya ayah. “Ndak yah. Mau bantu ayah dulu. Kalau udah beres baru lanjut main gitarnya,” jawabku mantap.
“Ora opo-opo Le. Sampean wes latihan. Biar ayah sama ibu yang selesaikan.”
“Benar nih yah? Ora opo-opo to?”
“Wes ora opo-opo Le. Percaya, semua pasti beres. Benar kan Pak?
“Pasti dong bu.” Ayah mengiyakan.
***
Bersama dengan putarnya sang waktu, kemampuanku beranjak maju. Aku yakin pada saatnya sang waktu mengantarkanku menuju impian itu. Di beberapa kegiatan lingkungan, aku sering diminta Pak RT untuk mengisi acara.
Instrumen klasik yang kumainkan menyejukan setiap telinga yang mendengarnya. “Le, permainan gitarmu indah sekali,” puji ibu.
“Ya benar Le. Ayah sampai bernostalgia loh.”
“Ahh… ayah sama ibu bisa aja. Permainanku belum sempurna. Masih harus belajar lagi.”
Ayah menyambung, “Benar Le. Sampean jangan merasa puas dengan kemajuanmu sekarang. Terus berlatih. Karena itu cara mencapai kesuksesan. Tanamkan dalam diri bahwa kamu pasti bisa.”
Namun kemampuanku tak ada artinya di mata Briyan dan Adrian. Bagi mereka aku hanyalah tikus kecil yang tak perlu diperhatikan, hanya seonggok sampah yang tak memiliki nilai lebih. Aku tak bisa berbuat banyak selain terus bersabar.
***
Siang itu hawa panas menghiasi musim kemarau. Aku berteduh di ruang musik sambil mempersiapkan beberapa instrumen klasik untuk acara perpisahan. Seminggu yang lalu Pak Roy dan Bu Mirna memintaku mengisi acara. Ketika asyik memainkan musik, tiba-tiba pintu dibuka.
Aku kaget melihat mereka. Kucoba menghindar dan pergi. Namun Adrian mendorong dan mencercaku habis-habisan. “Mau ke mana gembel. Sedang apa kamu di sini? Oww… aku tahu. Pasti latihan untuk acara perpisahan itu kan!” Bentaknya.
Dengan gemetar kujawab, “Ya benar. Ini permintaan Pak Roy dan Bu Mirna.”
“Ah alasan. Bilang aja kamu yang meminta ke Pak Roy untuk tampil kan?” Teriak Briyan.
“Aku berani bersumpah. Ini permintaan Pak Roy,” jawabku membela diri.
“Mana ada maling yang mau ngaku,” seru Briyan.
“Eh gembel! Kamu tu anak tukang cilok. Ga layak tampil di acara orang kaya,” bentak Adrian lagi.
Lalu Briyan menarik kerah bajuku dan berkata, “Eh wong cilik. Kalau nekat tampil di acara perpisahan, kamu bakal tahu rasanya.”
“Pergi sana, dasar gembel tak tahu diri!”
Malu dan sedih menghantui pikiranku. Kuberlari menuju sebuah ruangan. Kurebahkan tubuhku pada sebuah kursi tua dan menatap kosong ke arah dinding. Terukir dengan jelas kata-kata hinaan itu.
Dalam perasaan hancur, tiba-tiba terbersit dalam benakku, “Salahkah terlahir sebagai anak tukang cilok? Benarkah orang miskin dilarang bahagia? Benarkah kebahagian hanya milik orang kaya? Apakah kekayaan menjadi ukuran bagi hidup manusia?”
***
Acara perpisahan itu berlalu. Aku beralasan sakit ketika acara perpisahan itu. Aku takut dengan ancaman Briyan dan Adrian. Aku tak mau ambil risiko aktivitas sekolahku terancam. Biarlah pengalaman itu berlalu.
Aku percaya masih ada beribu kesempatan untuk menunjukkan kemampuanku. Tuhan akan menyiapkan jalan yang lebih indah untukku. Kuingat pesan ayah, latihan adalah kunci sebuah kesuksesan.
Aku mendengar kabar Kepala Sekolah akan mengirim beberapa siswa mengikuti kompetisi musik pelajar se-Jakarta. Adrian, Briyan dan teman-temannya dipercaya mewakili sekolah kami. Aku tertegun mendengar keputusan itu. Aku berharap bisa mewakili sekolah di acara bergengsi itu. Tapi aku harus menerimanya dengan lapang dada.
Aku hanya bisa berdoa semoga mereka bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah. Sore itu, mentari perlahan meninggalkan dunia. Kududuk di teras rumah sambil menanti rembulan datang. Burung-burung terbang kesana-kemari mencari tempat bermalam.
Perlahan petang berganti malam. Dari ufuk timur tampak rembulan tersenyum pada dunia. Cahaya manis nan indah menerobos kegelapan. Tampak bintang-bintang menyampaikan pesan kepada setiap pengagumnya. Apakah aku salah satu pengagum yang sedang menantikan pesan itu? Lamunanku sirna ketika ayah datang menepuk bahuku.
“Le, Sampean ndak ikut menyaksikan kompetisi itu?” “Ikut ayah. Sebentar lagi Farel mandi kok.”
“Yo wes. Ayah tinggal ya. Ada urusan sama tetangga sebelah.”
Tepat pukul 19.00 WIB aku tiba di tempat kompetisi. Studio berkapasitas lima ribu penonton terisi penuh. Sorak-sorai para pendukung sekolah menambah keramaian. Aku terhibur dengan setiap musik yang dimainkan.
Ketika sedang asyik menyaksikan para penampil, tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Adrian kecelakaan. Tangan kanannya patah. Wajah Briyan dan teman-teman tampak memelas. Pupus harapan mereka, tak bisa tampil tanpa Adrian. Pak Roy dan Bu Mirna bingung. Tiba-tiba Briyan menyebut namaku.
“Farel! Ya Farel Pak. Farel bisa menggantikan posisi Adrian,” katanya kepada Pak Roy.
Pak Roy memanggilku.
“Rel kamu bisa gantikan posisi Adrian?” Tanya Pak Roy.
“Tapi Pak. Aku ga pernah latihan sebelumnya. Bagaimana bisa tampil?”
“Bapak percaya, kamu bisa,” Pak Roy membujuk.
“Benar Rel. Nasib sekolah kita ada di tangan kamu sekarang,” sahut Bu Mirna.
Aku mengiyakan permintaan mereka. Jantungku berdebar kencang. Dengan tekad, aku siap beraksi. “Inilah saat yang tepat untuk menunjukan bahwa aku bisa. Mungkin inilah rencana Tuhan,” bisik suara hatiku.
Ketika jemariku menari di atas enam dawai gitar, serentak ribuan mata tertuju padaku. Perlahan perasaan tenang menghiasi lubuk hatiku. Ribuan pasang mata dan telinga yang mendengarnya tak bisa berkata-kata. Mulut mereka seolah terkunci melodi gitar yang kumainkan.
Ketiga juri pun ikut terbawa suasana. Mereka seolah tak percaya dengan aksi yang kutunjukkan. Alunan musik semakin lengkap, ketika Briyan menekan tuts-tuts keyboard. Lalu Christian tampil dengan suara emasnya.
Lagi-lagi telinga semua orang dimanjakan alunan musik indah. Di akhir penampilan, aku menunjukan permainanan gitar klasikku. Semua orang standing applause. Aku berhasil mempersembahkan yang terbaik. Semua menyorakkan namaku.
Aku tak percaya akan seindah itu rencana Tuhan. Tapi itulah kenyataannya. Pak Roy dan Bu Mirna sangat bahagia dan bangga padaku. Briyan pun demikian. Ia memelukku dan meneteskan air mata haru.
“Kamu hebat Farel. Kamulah sosok musisi sejati. Selama ini aku selalu meremehkan dan mengejekmu. Tapi malam ini terbukti kamulah sang juara. Kamu mau kan maafin semua kesalahanku?” kata Briyan.
“Tentu Bri. Aku memaafkan kesalahanmu tanpa harus kamu minta. Karena aku tak diajarkan untuk memusuhi temanku sendiri,” jawabku.
“Terima kasih Rel. Seumur-umur, aku baru menemukan orang sepertimu,” balas Briyan.
Juri pun mengumumkan pemenang kompetisi. Sekolah kami berhasil menjadi juara. Para juri mengatakan bahwa keberhasilan itu tak lepas dari aksi yang kutunjukkan. Aku terpilih sebagai gitaris terbaik.
Aku mengharumkan nama sekolah dan membuktikan bahwa miskin tak menjadi halangan untuk meraih impian. Semua ini adalah rencana Tuhan. Aku percaya Dia-lah Sutradara di balik kisah indah ini.
Richardo Firgian
mantap.. semangat terus dalam menulis..
Sangat menginspirasi cerpennya,terharu banget,q merasa ada d dalam cerita tersebut ,semoga banyak lagi karya2 lainnya kak