web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Jangan Biarkan Mafia Elektoral

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Menjelang perhelatan elektoral, ruang publik kita semakin dikendalikan oleh narasi politik pragmatik. Hal ini termanifestasi dalam dua hal. Pertama, deensensialisasi diskursus elektoral. Efeknya, isu-isu substansial tidak dielaborasi secara menukik. Para elite politik hanya “menggunakan” rakyat untuk menaikan rating politik dan demi mendukung framing elektoral. Rakyat tidak dilibatkan dalam diskursus elektoral yang bermutu, tetapi dipakai sebagai alat untuk mendukung hasrat parsial. Kedua, kontestasi elektoral seringkali direduksi kepada figur calon pemimpin. Akibatnya, momentum elektoral seakan-akan tentang figur saja dan bukannya tentang kontestasi kolektif: melibatkan rakyat dalam mendesain landscape politik demokratis yang berkarakter Pancasila. Tidak terbantahkan lagi bahwa paradigma pragmatik amat kuat mewarnai kontestasi elektoral. Rakyat pun terkapitalisasi dalam mega proyek elektoral.

Kontestasi elektoral mesti menjadi momentum kontestasi gagasan-gagasan konstruktif. Landasan diskursusnya mesti berpijak dan berpihak pada kepentingan rakyat. Untuk mencapai hal seperti inilah peran profetis Gereja diperlukan. Gereja mesti “memberi makna serta arti yang lebih mendalam kepada kegiatan manusia” (GS 40). Keterlibatan dalam politik elektoral merupakan manifestasi dari “kegiatan manusia” itu. Di sini, Gereja perlu mengonstruksi diskursus elektoral yang melampaui figur ataupun paradigma kekuasaan semata.

Gereja harus mengedukasi rakyat agar menjadi pelaku elektoral yang kritis dan dialektis. Maka dibutuhkan narasi yang memiliki landasan teologis dan filosofis sebagaimana terdapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, rakyat terhindar jebakan proyek kapitalisasi yang disetir seturut selera politik parsial. Rakyat harus paham bahwa kontestasi elektoral bukanlah tentang kekuasaan saja, tetapi tentang tanggung dalam merancang kebaikan bersama. Gereja juga harus memastikan bahwa kontestasi elektoral tidak direduksi kepada figur saja. Terobosan-terobosan restoratif serentak solutifah yang mestinya “diarus-utamakan” dalam kontestasi itu.

Gereja tidak boleh membiarkan rakyat terperangkap dalam kendali mafia elektoral. Jangan sampai, apa yang dikatakan Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1998) benar, di mana “masyarakat seakan bergerak sendiri dikendalikan rezim nomologi tanpa disertai kesadaran subyek didalamnya”. Paling tidak Gereja memulainya dalam kelompok-kelompok basis umat Katolik. Dengan demikian, agama tidak menjadi politikal: basis mendulang rating elektoral. Umat Katolik mesti disadari bahwa “partisipasi setiap pihak dalam masyarakat untuk mencapai kesejahteraan merupakan harapan Gereja” (KGK 1913-1917).

Ini tanggung jawab mulia, sebab politiklah sarana untuk mencapai kebaikan bersama. Kata Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est, “keadilan adalah tujuan dan tolak ukur segala politik. Politik tidak hanya teknik penataan ruang publik. Asal dan tujuannya ialah keadilan dan bersifat etis. Ini berkaitan dengan akal budi praktis”. Dengan cara seperti inilah, umat katolik dibentengi dari segmentasi-segmentasi serta kontaminasi-kontaminasi distortif. Menyitir Reichmann (1985), “manusia mampu mengontrol dan mengatur kehendaknya lewat pilihan-pilihan dan keputusan”. Pilihan politik mesti dilandasi oleh kesadaran kritis yang terwujud dalam keputusan untuk memilih secara bebas sesuai hati nurani. Itu adalah hak yang tidak bisa dicaplok oleh siapapun.

Di atas semua, itu marilah kita berdoa dan memohon intervensi Allah sehingga kita mampu memberikan kepercayaan kepada calon pemimpin yang artikulatif, sebagaimana Kristus yang datang untuk “mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin dan pembebasan kepada tawanan (Luk. 4:18-19, Yes. 61:1). Kita berdoa agar Allah yang mengenal hati kita, menunjukan siapa yang pantas untuk dipercayakan menjadi pemimpin (Kis.1:23-24). Jangan sampai rakyat dinstrumentalisasi dan dipolitisasi sehingga salah dalam memilih pemimpin.

Pastor Inosentius Mansur

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles