HIDUPKATOLIK.com – SEBETULNYA kalau aku mau permainan ini dapat segera berakhir. Posisi caturku sudah pasti dapat melumpuhkan raja hitamnya. Biasanya dalam posisi seperti ini semua lawan-lawanku sudah mengaku kalah.
“Lebih baik membuka papan baru,” kata mereka, “Itu lebih baik daripada menunggu saat-saat kematian tragis. Memalukan!”
Tapi aku sendiri tak sudi menyudahi permainan ini. Aku sengaja tidak memainkan langkah kunci. Sebetulnya ini bukan ciriku, aku lebih senang gayanya Mike Tyson atau Andrian Kaspari. Semakin cepat aku menang semakin banyak uang yang masuk kocekku.
Entahlah mengapa aku malah menikmati kerisauan raja hitam itu. Aku menemukan nuansa yang lain saat aku menatap lekat papan catur yang terhampar dua jengkal dari hidungku. Ada riak-riak dalam kesadaranku yang membuatku tercengang. Harus kuakui permainan ini memberiku wadah untuk merefleksikan peri kehidupan anak manusia dalam bentangan jagat ini.
Raja hitamnya kelabakan saat kugeser salah satu kudaku ke sisi kanan rajanya. Posisi kuda itu cukup strategis untuk membuat suatu kejutan ke arah posisi lawan. Semua penonton yang sedari tadi duduk menanti sudah tahu bakal yang terjadi, pelan-pelan satu demi satu beranjak pergi.
Wajah mereka menggambarkan kemuakan atas kekeras-kepalaan lawanku. Tapi lawanku itu tetap berpikir keras sepertinya hendak mencari sela untuk lolos dan melancarkan serangan balik.
Matanya liar menatap papan catur. Dan langkah kejutan yang tak kusangka-sangka, bentengnya digeser persis di samping kuda putih tadi. Solusi yang benar-benar tak terpikirkan olehku karena di depan benteng itu ada sebuah bidak putih yang berdiri tegar dihadapannya.
Gratis! Selama aku menekuni profesiku sebagai pecatur pasaran yang selalu duduk menanti orang menantang dengan taruhan lima ribuan baru kali ini aku diberi kejutan. Gratis, benar-benar gratis. Kutatap wajah yang dihiasi oleh goresan ketuaan dan jangut tipis di dagunya.
Gayanya tetap sama, mengernyitkan dahi dengan rokok yang masih tetap bersanggama dengan mulutnya, malah frekwensi keluar masuknya makin cepat. Terasa pahit di lidah tatkala bidakku harus menelan korban sia-sia itu.
Ditelan atau tidak posisi raja itu tetap saja terjepit. Pelan-pelan rasa muak menjalar dalam tubuhku menggantikan perasan heran.
Aku tak peduli lagi dengan lawanku apakah dia sekeras Fidel Castro terhadap Amerika (berita seperti ini aku tahu dari koran yang setiap hari aku baca. Maklumlah, pekerjaan para pecatur pasaran saat tidak main catur, ya, baca koran. Jadi yang namanya politik sedikit-sedikit aku paham. Yang namanya berita-berita kriminal aku tahu, apalagi kalau olah raga. Kadang kalau tidak ada lawan aku baca seluruh isi koran itu dari awal sampai akhir) atau segigih anjing lapar memperebutkan sepotong daging.
Aku melihat raja hitamnya berubah menjadi sekeras pemainnya. Keras tapi konyol. Raja itu seakan-akan jadi tontonan yang menarik bagi anak caturku yang juga turut muak dan bosan harus menelan anak catur yang tak bersalah.
Tiba-tiba permainan kami berhenti ketika suara anak kecil penjaja koran nyaris membuat kami terkejut. “Dudukana!” teriaknya sambil menunjukkan halaman depan sebuah koran ibukota kepada kami.
Hatiku kesal diganggu dengan cara begitu, seharusnya anak kecil itu tahu kalau orang sedang main catur tidak bisa baca koran. Namun rasa kesal itu tiba-tiba berubah saat mataku menatap lekat seekor singa tua di halaman depan koran itu. Aku beli koran itu.
Langsung kulipat dengan bagian foto singa tua, Dudukana di bagian luar dan kuletakkan di samping kiri sehingga mataku tetap dapat menangkap berita Dudukana.
Mataku kembali ke papan catur. Kupandangi raja hitamnya yang semakin tersudut. Heran. Raja yang dibangga-banggakan dan dicari-cari dalam setiap pertempuran catur tidak lebih seperti kura-kura bodoh, langkahnya hanya satu-dua-satu-dua, depan-belakang, kiri-kanan.
Geraknya tak pernah selincah kuda yang bisa meloloskan diri dari ranjau-ranjau catur. Namun bentuknya selalu lebih besar dan berdiri tegar di tengah barisan buah catur. Raja ibarat pemimpin perang yang menyusun strategi penyerangan dari tempat yang terlindung, tapi ketika ada serangan, ia buru-buru memanggil pasukan tempurnya untuk melindungi dirinya.
Saat seperti inilah banyak anak buah yang harus dikorbankan. Tak jarang menteri yang memiliki daya jelajah yang jauh dan luas harus dikorbankan demi keselamatan si raja.
Tak satu pun anak buah catur yang pernah menyesal bila dikorbankan. Mereka ikhlas demi keselamatan sang raja. Kasihan bila jerih payah mereka akhirnya kandas juga tak kala raja mereka disergap pasukan lawan. Sia-sialah pengorbanan mereka bila nasib yang mereka alami adalah nasib seperti benteng tadi.
Suatu pengorbanan yang tak perlu karena permainan sudah jelas mana yang kalah dan mana yang menang. Alangkah lucunya mengharapkan lawan salah langkah sehingga bisa remis.
Tindakan seperti itu tidak lebih dari sifat keras kepala yang konyol. Pecatur dunia setingkat, Utut sekalipun tidak akan sanggup memberikan solusi brilian untuk meloloskan raja hitam itu.
Raja memang selalu bermuka dua, wajah depan adalah dewa pujaan dan wajah belakang adalah Baal yang haus korban. Hidupnya dipertahankan tapi juga dikejar. Permenunganku buyar tatkala rajanya berpindah tempat satu langkah ke kanan, persis di sudut papan catur.
Raja yang selalu berdiri di posisi tengah setiap awal permainan kini merangsek gemetar mencari tempat persembunyian seperti Presiden Marcos saat digencet oleh people power. (Seperti aku bilang tadi, istilah ini pun aku tahu dari koran-kalau tidak salah maksudnya kekuatan rakyat). Atau seperti Mobuttu Sese Seko.
Seandainya aku berada di posisi dia maka sungguh dapat dirasakan betapa kalutnya posisi raja itu. Kebelet mencari posisi teraman untuk berunduk. Mungkin kalau catur itu “dijepangkan maka sejak tadi ia sudah melakukan harakiri”.
Atau raja catur tak jauh bedanya dengan para pemimpin bangsa yang tak mau menyatakan kalah sekalipun sudah ada tanda-tanda kalah sebelum hari H-nya.
Tapi posisi catur yang kuhadapi saat ini tidak seperti John Mayor atau Bob Dole yang masih punya kekuataan saat bertempur melawan Tony Blair atau Bill Clinton. Posisi raja hitam yang aku hadapi sudah jelas di mana ajalnya. Hanya dengan melangkahkan menteriku persis dihadapan rajanya maka semuanya akan berakhir.
Tapi aku masih ingin menikmati kekerasan hati musuhku, sekalipun aku sudah muak. Pura-pura berpikir mataku membaca sekilas berita koran itu. Dudukana, singa tua mati ditabrak. Pikiranku terbang entah ke mana, karena sejauh yang kutahu singa sulit hidup di negeri tropis.
Jadi, bagaimana mungkin mati tertabarak ? Penasaran! Aku harus segera kulahap beritanya! Harus segera kuakhiri permainan ini! Dengan langkah penuh kemenangan bercampur dengan kemuakan kuangkat menteriku persis di depan rajanya.
“Skak!” Dengan senyum tipis kutatap wajah lawanku. Ia belum bergeming. Bendera putih belum juga dikibarkan. Dahinya semakin berkerut malah masih sempat mengisap dua kali rokoknya dengan perlahan dan dalam, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan.
Hembusan itu terasa berat. Sisa rokok itu dilumatnya di dalam asbak sambil menatapku. “Mati!” katanya singkat disusul dengan hembusan nafas perut yang dalam. Setelah mengucapkan kata yang paling ditakuti namun sekaligus dinanti setiap pemain catur ia mengambil koreknya dan beranjak pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dingin.
“Rokoknya, Mas!” teriakku ketika kakinya masih beberapa langkah jauhnya. Kakinya tetap melangkah dan siap menyeberang jalan. Teriakan tak kuulangi karena aku langsung ingat pesan teman seprofesiku “Orang yang bernafsu besar untuk menang tapi akhirnya kalah telak akan sangat kecewa dan malu sehingga lebih baiknya untuk menyendiri.”
Kutatap lagi papan caturku. Raja hitam itu telah mati. Sungguh, raja catur tidak pernah dimakan seperti kuda atau menteri. Raja berakhir dengan kematian dan tidak bisa bangkit lagi. Berbeda dengan kuda atau mentri bisa dibangkitkan lagi bila ada bidak yang “lulus kuliah”.
Advent Tambun