HIDUPKATOLIK.com – 1Raj. 21:1-16; Mzm. 5:2-3,5-6,7; Mat. 5:38-42
MESKI secara harafiah jarang diterapkan, orang Yahudi memiliki lex talionis (hukum pembalasan): “… nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak” (lih. Kel 21:23-25; juga Im.24:19-20, dan Ul.19:21).
Para hakim memakai hukum itu sebagai panduan membatasi rantai balas dendam. Khotbah di Bukit (Mat 5-7) melampaui lex talionis! Saat pipi kanan dihantam oleh pukulan punggung tangan kanan lawan, kememarannya jauh melebihi rasa sakit ketika pipi kiri kena tamparan telapak tangan kanan lawan.
Demikian pula, penderitaan orang yang jubahnya dirampas karena perkara aduan, lebih besar ketimbang ketika cuma bajunya yang disita. Tanpa jubah di malam hari, ia akan kedinginan dan sakit. Situasi itu sangat disadari, sehingga Ul 24:13 menegaskan, jubah (orang yang kena perkara itu) harus dikembalikan “sebelum matahari terbenam, supaya orang itu dapat tidur dengan memakai kainnya sendiri.”
Ilustrasi terakhir tentang paksaan berjalan lebih dari dua mil berasal dari praktik perlakuan penjajah Romawi kepada penduduk jajahan Palestina.
Melalui Khotbah di Bukit, yang khusus diperuntukkan bagi para murid-Nya (ay 1), Yesus memaklumkan sebuah kriteria baru mengenai hubungan kasih antarmanusia, yang jangkauannya tidak hanya sebatas kepada sesama, tetapi sampai ke arah ‘mengasihi musuh’.
Kriteria itu hanya mungkin bila rahmat Allah yang menjadi ukuran. Hanya melalui kriteria Ilahi tersebut, manusia diperlakukan bukan atas dasar hak mereka, tetapi karena kehendak dan kebaikan Allah semata.
Ini tidak mudah untuk diterima dan diyakini, karena di sini sentralitas kasih Allah menjadi yang paling utama dan tertinggi ketimbang etika atau sopan santun kemanusiaan. Sanggupkah kita memakai kriteria baru ini?
Henricus Witdarmono M.A. Rel. Stud. Katholieke
Universiteit te Leuven, Belgia