HIDUPKATOLIK.com – Pengungsi, sama seperti kita, ingin hidup damai, bermartabat, dan berkontribusi terhadap masyarakat.
Paus Fransiskus berulang kali mengunjungi para pengungsi, menyapa mereka dan mendorong kepedulian terhadap mereka. Ia bahkan pernah memboyong tiga keluarga pengungsi Suriah ke Vatikan. Bagaimana pandangan dan ajaran Gereja terkait pengungsi? Berikut petikan wawancara dengan Direktur Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, Pastor Maswan.
Apa yang melatarbelakangi Paus Fransiskus memberi perhatian khusus kepada pengungsi?
Paus Fransiskus adalah anak dari keluarga imigran. Maka, dia amat memahami suka duka pengungsi dan migran. Ia pun amat mengerti apa sumbangan positif pengungsi dan migran bagi masyarakat yang dengan ramah menerima mereka.
Dalam sebuah cuitan twitter akun @Pontifex pada 15 April 2016, Paus Fransiskus menyampaikan: “Pengungsi bukan hanya deretan angka, mereka adalah sesama manusia yang memiliki wajah, nama, kisah, dan perlu mendapatkan perlakuan yang layak”.
Saya kira, Paus Fransiskus ingin menghidupkan tradisi Gereja yang memberikan suaka atau perlindungan bagi mereka yang mengungsi dan terancam nyawanya. Khususnya pada masa ini, Gereja tidak ingin berpangku tangan ketika jumlah orang yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya (forcibly displaced persons) akibat persekusi, perang, dan konflik di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar 65 juta.
Maka, dalam berba gai kesempatan, Paus Fransiskus membuat tindakan simbolik yang mengajak kita semua untuk membebaskan diri dari ketakutan, ketidakpedulian, dan kecurigaan terhadap pengungsi dan migran. Ia merayakan misa di Lampedusa, Italia pada 2013 dengan altar yang dirangkai dari pecahan kapal pengungsi yang karam. Pada Kamis Putih 2016, ia membasuh kaki para pengungsi.
Siapakah pengungsi menurut Gereja?
Gereja memiliki pendangan yang luas tentang siapa yang disebut sebagai pengungsi, khususnya dalam dokumen Dewan Kepausan tahun 1992 berjudul “Pengungsi: Tantangan bagi Solidaritas”. Gereja merumuskannya sebagai pengungsi de facto.
Pengungsi de facto mencakup pertama, definisi pengungsi menurut Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, yaitu orang yang mengalami persekusi karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik, dan terpaksa mengungsi dengan melintas batas negara. Kedua, orang yang terpaksa berpindah karena mengalami persekusi, namun tidak melintas batas negara (pengungsi internal). Ketiga, orang yang terpaksa berpindah sebagai korban konflik bersenjata, kesalahan kebijakan ekonomi, dan korban bencana alam.
Setiap tahun, Paus juga menyampaikan Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia. Gereja memperingati hari ini pada Minggu kedua atau ketiga bulan Januari.
Mengapa Gereja perlu memperhatikan pengungsi?
Dari kisah Injil, kita tahu bahwa Tuhan bersama Keluarga Kudus Nazaret pernah mengungsi ke Mesir akibat ancaman pembunuhan oleh Herodes. Ditilik dari definisi pengungsi menurut Konvensi 1951, Yesus pasti mendapat status pengungsi. Yesus pun menyamakan diri-Nya dengan mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit, dan terasing (Matius 25:31-46).
Pengungsi dan migran mengalami semua itu. Tuhan berkenan berbela rasa dengan mereka. Sehingga, apa yang kita lakukan terhadap mereka yang paling rentan, termasuk para pengungsi, kita lakukan untuk Tuhan.
Dalam Perjanjian Lama, kita pun menyimak: “Jangan menindas orang asing yang ada di antara kalian. Kamu mengetahui jiwa orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah asing di tanah Mesir” (Kel. 22:21). Kala itu, orang asing yang tidak punya keterikatan pada suatu kelompok kekerabatan, sangatlah rentan dan seringkali miskin, sama seperti para migran dan pengungsi saat ini.
Karena itu, mereka perlu mendapatkan pertolongan khusus. Bahkan, tersurat pula suatu cinta spesial: “Tuhan mengasihi orang asing” (Ulangan 10:18). Atau dalam Mazmur 146: “Tuhan menjaga orang-orang asing”.
Sekarang ini, sejauh mana langkah strategis Gereja universal dalam membela hak para pengungsi?
Pada tahun 2017, Paus Fransiskus secara pribadi telah mendorong lahirnya Seksi Migran dan Pengungsi. Seksi ini telah menerbitkan 20 butir aksi yang merupakan simpulan dari praktik-praktik baik Gereja di berbagai tempat ketika berbela rasa terhadap para pengungsi dan migran. Butir aksi tersebut menjadi sumbang saran dan solusi yang Gereja tawarkan kepada dunia untuk merespons masalah pengungsi dan migran.
Dokumen itu menjadi sumbangan Gereja dalam proses menuju kesepakatan global tentang pengungsi dan migran dalam Sidang Umum PBB pada akhir 2018. Pesan kunci Gereja dari ke-20 butir tersebut diungkapkan dalam empat kata kerja, menyambut, melindungi, memberdayakan dan mengintegrasikan pengungsi dan migran dalam kehidupan bersama.
Apa hambatan yang Gereja hadapi dalam melayani pengungsi lintas batas?
Dari pengalaman, Gereja setempat kadang ragu untuk mendampingi mereka karena belum tahu mau berbuat apa. Karena itu, biasanya kami berbagi pengalaman perjumpaan dengan pengungsi kepada komunitas Gereja setempat: tentang siapakah para pengungsi ini, mengapa mereka terpaksa mengungsi, proses apa yang mereka harus tempuh di Indonesia untuk mendapatkan perlindungan internasional.
Stres dan kesulitan apa yang mereka hadapi karena masih dilarang bekerja, ketidakpastian apa yang mereka hadapi. Selain itu Gereja harus memahami kekerasan apa yang sering mereka alami atau apa kerinduan dan harapan mereka. Gereja juga harus peduli pada potensi dan bakat mereka dan bagaimana mereka bertahan hidup di Indonesia.
Singkatnya, pengungsi adalah sama seperti kita semua yang ingin hidup damai dan bermartabat, serta berkontribusi terhadap masyarakat. Ketika mulai merasakan bahwa solidaritas itu tanpa sekat, komunitas Gereja setempat biasanya mulai bergerak untuk melakukan tindakan nyata. Ini sebagai wujud keramahtamahan terhadap pengungsi.
Selanjutnya, barangkali adalah perlunya perluasan mandat perhatian bagi pengungsi dari komisi dalam Gereja setempat yang relevan untuk bekerja dengan isu pengungsi. Dalam hal ini komisi yang terkait dengan keadilan dan perdamaian serta karya pastoral bagi migran dan perantau. Bila perdagangan manusia menjadi salah satu fokus keprihatinan sosial Gereja Indonesia, pengungsi pun seringkali adalah korban perdagangan manusia.
Hermina Wulohering