web page hit counter
Kamis, 26 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Berkawan Derita di Negeri Orang

1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Derita pengungsi seperti tak ada akhir. Di Indonesia mereka menanti harapan yang tak kunjung datang.

Fauziah (bukan nama sebenarnya) telah hidup di Indonesia sejak Desember 2014. Ia datang dari Somalia bersama beberapa perempuan lain, ia berbagi sebuah rumah petak di Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.Tak banyak barang tersimpan di rumah itu. Hanya terlihat karpet dan sebuah kipas angin di sana.

Di tempat itu, Fauziah hidup bersama lebih dari 100 pengungsi lain. Umumnya berasal dari negara yang sama dengan perempuan 29 tahun itu. Beberapa dari mereka berasal dari Sudan, Afghanistan, Arab, Irak, dan Myanmar. Sebagian mengungsi bersama dengan keluarga. Namun Fauziah tidak memiliki satu pun keluarga di Indonesia. “Terakhir kali saya berbicara dengan ketiga anak saya saat saya di Somalia,” katanya.

Meski berkalung derita di negeri yang baru pertama kali ia kenal, Fauziah dan pengungsi lain tidak diperbolehkan bekerja. Fauziah dan para pengungsi lain hanya beraktivitas biasa di area itu. Entah sampai kapan, cahaya akan datang dalam kegelapan penantian mereka untuk menemukan “rumah baru” bagi sisa hidup yang lebih baik.

Menunggu Harapan
Panas udara di kawasan Ciputat tak menjanjikan harapan apapun bagi Fauziah. Tidak ada pemasukan yang pasti untuk menopang kehidupan mereka. Untuk sewa rumah petak dan biaya kebutuhan sehari-hari, mereka bergantung pada kiriman atau pinjaman dari kerabat di luar negeri. Donasi yang sesekali mereka peroleh menjadi pemasukan lain, meski jumlahnya juga sangat kurang.

Fauziah sadar, pasokan dana dari kerabat bisa saja dihentikan sewaktu-waktu. Sementara ia pun tak tahu sampai kapan nasib mereka akan berubah. “Saya ingin bekerja dan melanjutkan hidup dengan normal,” ujar Fauziah.

Beruntung, anak-anak pengungsi di Ciputat bisa mengikuti sekolah, untuk sekadar mengisi waktu dan belajar. Mereka menjadi fasih berbahasa Indonesia dibandingkan beberapa pengungsi dewasa. Meski demikian, secara administrasi pendidikan mereka tetap tidak diakui. Karena untuk bisa bersekolah pun bukan merupakan kebijakan umum pemerintah. Hanya ketika kuota di sekolah yang diajukan untuk pengungsi masih tersedia, mereka bisa bergabung.

Baca Juga:  Betlehem: Identitas Diri bagi “Pastor”, Ancaman untuk “Rex”

Selain di daerah Ciputat. Beberapa pengungsi juga bertahan dengan kehidupan seadanya di Kalideres, Jakarta Barat. Kondisi mereka di sini sedikit lebih baik, setidaknya mereka dengan mandiri mempunyai rumah untuk berteduh. Armeen, pria dari dari Suku Hazara, Afghanistan mencoba bertahan hidup di tenda-tenda sepanjang Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres. Di sana ia bertahan bersama lebih dari 200 pengungsi lain dari Afghanistan, Somalia, dan Sudan.

Sejatinya, Rudenim bukanlah tempat penampungan pengungsi asing. Humas Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Indonesia Mitra Suryono mengatakan bahwa para pengungsi seharusnya ditempatkan di penampungan yang telah disediakan UNHCR atau lembaga terkait. Namun, terbatasnya tempat dan dana menyebabkan mereka ditempatkan di Rudenim. “UNHCR memiliki lima penampungan pengungsi di Jakarta. Tetapi diprioritaskan bagi pengungsi yang tergolong rentan seperti single mother, anak-anak tanpa pendampingan, lansia, dan penyandang disabilitas,” katanya menjelaskan.

Sabar Menunggu
Untuk mendapat status pengungsi juga bukan perkara mudah. Ada proses yang harus dilewati. Suryono mengatakan para pengungsi harus melakukan wawancara yang sangat mendalam dengan UNHCR. Kemudian, UNHCR akan melakukan peninjauan dan penilaian apakah mereka memenuhi syarat menjadi pengungsi. Baru setelah itu status pengungsi dapat dikeluarkan.

UNHCR mendefinisikan pengungsi sesuai dengan Konvensi 1951. Pengungsi adalah orang yang dikarenakan ketakutan akan penganiayaan dengan alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial, dan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya.

Masa tunggu dari registrasi hingga mendapatkan panggilan untuk wawancara cukup memakan waktu. Tim Hukum Jesuit Refugee Services pernah menemukan pengungsi yang harus menunggu hingga dua tahun sebelum dipanggil untuk wawancara. Apabila setelah wawancara mereka tidak memenuhi syarat, maka mereka berhak mendapat satu kesempatan banding. Mereka akan dikembalikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan selanjutnya. “Kalau sudah dua kali assessment tidak menunjukkan tanda pengungsi, mereka tidak kami sebut sebagai pengungsi atau migran atau orang yang menjadi mandat UNHCR.”

Baca Juga:  Kisah Natal yang Hangat : Kesederhanaan Natal Menginspirasi Mereka untuk Melihat Kasih Kanak-kanak Yesus dalam Diri Sesama

Dengan status pengungsi pun, para pengungsi tidak bisa berharap banyak dari UNHCR. Dana lembaga ini terbatas; hanya bisa diperuntukkan bagi 300-400 pengungsi yang paling rentan. UNHCR akan menyediakan kebutuhan dasar bagi mereka berupa makanan dan tempat tinggal. Sementara pengungsi di luar kategori rentan ini, UNHCR akan mencarikan solusi lain. “Setidaknya status pengungsi membantu mereka untuk menerima bantuan dari lembaga lain dan sebagai identitas mereka,” Suryono.

Secara tradisional, solusi bagi pengungsi adalah resettlement, yaitu penempatan baru tetap ke negara ketiga yang mau menerima atau pengembalian ke negara asal. “Tapi itu kan tidak mungkin untuk situasi sekarang karena konfliknya belum berakhir,” ungkap Suryono.

Solusi lain adalah integrasi lokal, tetapi Indonesia belum mempunyai regulasi yang memungkinkan. Pemerintah Indonesia baru mempunyai Peraturan Presiden No. 125 /2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo menilai Perpres ini merupakan dasar hukum yang kurang komprehensif. “Ini bisa menjadi acuan sementara penanganan pengungsi dan pencari suaka,” katanya.

Penuh Dilema
Penanganan kasus pengungsi bukan tanpa dilema. Perubahan kebijakan Amerika Serikat dan terutama Australia yang menutup pintu bagi para pencari suaka menyebabkan mimpi pengungsi melanjutkan perjalanan tertahan di Indonesia. Sementara, Indonesia sendiri bukan negara yang ikut menandatangani Konvensi 1951 dan bukan negara tujuan pengungsi.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan sebagai negara transit dengan kapasitas yang terbatas, Indonesia tergolong lemah dalam menangani dan mengelola kasus pengungsi. Terutama di daerah, pemerintah tidak punya anggaran. Sementara jumlah pengungsi semakin banyak. “Dilemanya apabila kita menyediakan fasilitas, makanan, tempat tinggal, sekolah, dan rumah sakit yang mudah diakses maka mereka bisa jadi berubah pikiran untuk mencari negara ketiga dan menetap di sini,” papar Achsanul Habib.

Baca Juga:  Kardinal Suharyo: Tahun Suci 2025, Pembukaan Pintu Suci Hanya Simbol

Kasus pengungsi juga tidak dapat dilihat dari satu sisi saja. Di beberapa tempat seperti di Ciputat dan Kalideres, para pengungsi cenderung menimbulkan masalah sosial. Penduduk lokal yang bermukim bersama para pengungsi mengeluhkan kenyamanan lingkungan.

Seorang pengungsi yang bermukim di trotoar Kalideres juga mengatakan tidak sedikit orang yang menyuruh mereka pergi dari Jl. Peta Selatan, Kalideres. Ketua RT 007 RW 011 Kelurahan Kalideres Mustafa menuturkan anak-anak yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki sulit melintas karena trotoar menjadi tempat pemukiman pengungsi. Mereka pun harus turun ke bahu jalan untuk melintas. Warga menilai para pengungsi tidak menjaga kebersihan. “Mereka biasanya mandi, cuci baju dan BAB di WC-WC milik masyarakat tanpa permisi. Sering juga di masjid dan musala pagi, siang sore, dan malam.”

Achsanul mengatakan hal lain yang perlu dilihat adalah bercampurnya pengungsi dengan kejahatan terorganisasi international. Dalam beberapa kasus di dalam dan luar negeri, pengungsi juga terkait korban perdagangan orang. Kasus lainnya adalah orang yang melakukan kegiatan non-pengungsi seperti urusan dagang dan pernikahan. Ketika kehabisan uang, mereka membuang identitas kemudian mengaku sebagai pengungsi.

Meski demikian, Achsanul menegaskan bahwa apapun latar belakang agama, ras, dan situasi yang dihadapi, Pemerintah Indonesia tidak akan tinggal diam selama pertolongan kemanusiaan dibutuhkan. Ketika pengungsi ditemukan, pemerintah akan menampung dan memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan mereka. Setelahnya, pemerintah bekerja sama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan melakukan pendataan dan prosedur untuk membantu situasi ini. “Menghadapi perubahan kebijakan negara-negara ketiga, Indonesia mendapatkan pekerjaan rumah dan tantangan besar,” katanya.

Sesuai dengan Konvensi 1951, negara yang menyetujui konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan pengungsi. Prinsip ini juga telah menjadi kebiasaan internasional. Artinya seluruh negara, baik yang telah menjadi negara pihak maupun bukan, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara di mana hidup atau keamanannya terancam.

Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles