HIDUPKATOLIK.com – Pastor Hertanto, saya senang dengan kehadiran Pastor di rubrik yang selama ini diasuh oleh Pastor Petrus Maria Handoko CM. Majalah ini menjadi lebih berwarna. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajukan pertanyaan: Bagaimana sikap Gereja terhadap single parent yang kini semakin jamak dalam masyarakat kita?
Maria Parengkuan, Manado
Istilah single parent menunjuk pada wanita atau pria yang seorang diri tanpa pasangan harus mendidik anak-anaknya. Keadaan ini terjadi karena berbagai sebab: perceraian atau perpisahan, pasangan meninggal, atau seorang wanita mendapatkan anak di luar perkawinan. Bisa juga terjadi bahwa seseorang tidak mau menikah dengan pria yang menjadi bapak biologis anaknya karena alasan tertentu yang sering kali menimbulkan trauma mendalam.
Keadaan ini merupakan situasi yang tidak biasa karena idealnya anak-anak dididik dalam keluarga dengan pasangan orang tua utuh dengan kehidupan Sakramen Perkawinan yang terjaga pula. Tak jarang single parent mengalami beban yang luar biasa karena harus membesarkan dan mendidik anak-anaknya seorang diri saja, tugas mana normalnya ditanggung dua orang. Belum lagi seorang single parent, khususnya wanita, kerap menerima stigma negatif dari masyarakat sekitarnya. Anak-anak pun seringkali mengalami kekurangan tertentu seperti kehilangan figur ayah atau ibu, yang tentu saja bisa mempengaruhi kepribadiannya. Dalam pergaulan dengan teman-temannya tak jarang mereka mengalami pengalaman tidak mengenakkan.
Meskipun secara riil keadaan itu bukanlah keadaan ideal sebuah keluarga, sikap Gereja dalam hal ini bagaikan seorang ibu yang mempunyai hati bagi anak-anaknya. Dengan sikap kasih yang dihidupi oleh Roh Kudus, Gereja selalu mencari kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya. Juga single parent ini tidak luput dari reksa pastoral Gereja, dengan mana Gereja memberikan penemanan, penyembuhan, dan penguatan.
Dalam dokumen mengenai keluarga dari Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, single parent disebut dalam satu nomor khusus (no. 252). “Keluarga-keluarga single parent sering merupakan akibat dari “ketidakmauan ibu-ibu atau ayah-ayah biologis untuk menjadi bagian dari satu keluarga; situasi-situasi kekerasan, di mana satu orang tua terpaksa lari bersama anak-anaknya; kematian dari salah satu orang tua; pengabaian keluarga oleh satu orang tua atau situasi-situasi lain. Apapun penyebabnya single parent harus menerima penguatan dan dukungan dari keluarga-keluarga lain dalam komunitas Kristiani, dan dari jangkauan pastoral paroki. Seringkali keluarga-keluarga ini menanggung kesusahan seperti kesulitan ekonomi, prospek pekerjaan yang tidak jelas, problem sekitar masalah bantuan bagi anak, dan kesulitan tempat tinggal.”
Meskipun singkat, nampak di sini sikap mendasar dari Gereja, yang mewajibkan paroki-paroki untuk menaruh perhatian pastoral kepada mereka. Juga keluarga-keluarga yang lain dihimbau untuk turut membantu keluarga single parent. Di beberapa keuskupan Komisi Keluarga sudah mulai menangani pastoral bagi single parent, khususnya karena jumlah mereka yang semakin banyak. Paguyuban khusus bagi single parent juga bisa dibentuk untuk mendampingi, menguatkan dan pelatihan-pelatihan yang perlu untuk mereka. Kadang-kadang perhatian juga diberikan berkaitan dengan pemberesan perkawinan bila itu memungkinkan.
Tidak jarang di antara single parent, terdapat mereka yang mempertahankan iman dan sikap moral untuk tidak menggugurkan kandungan, meskipun dengan resiko ditinggalkan oleh pasangan. Sikap ini tentu dipuji Gereja sebagai tindakan yang baik dan mulia. Wanita-wanita ini adalah wanita yang kuat dan tabah serta memegang teguh ajaran Gereja. Meskipun demikian mereka juga perlu didampingi untuk mengatasi banyak kesulitan yang mereka hadapi.
Juga keluarga dengan single parent dipanggil untuk mendidik anak-anak dan menjadi saluran cinta kasih Tuhan. Sebagai orang tua mereka juga dipanggil menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka dan wajib memelihara panggilan masingmasing, secara istimewa panggilan rohani (bdk. LG. 84).
Gregorius Hertanto MSC