HIDUPKATOLIK.com – Radio tidak akan mati tetapi akan terus bertahan dalam geliat perubahan zaman teknologi informasi dan telekomunikasi. Dibutuhkan ide kreatif untuk terus mengembangkan radio.
Di Radio, aku dengar lagu kesayanganmu. Begitu lirik lagu berjudul “Kugadaikan Cintaku” milik Gombloh. Syair lagu yang entah sudah berapa kali masuk ke telinga Antonius Panji Soesanto. Umat Paroki Keluarga Kudus Cibinong, Keuskupan Bogor ini terhipnotis oleh kata-kata pemilik nama lengkap Soedjarwoto Soemarsono ini. Gombloh mampu menyampaikan perihnya cinta lewat harmonisasi nada yang sederhana namun bermakna.
Panji bercerita, lagu-lagu Gombloh menjadi “teman jalan” setiap pagi ketika dirinya berangkat kerja dari Cibinong ke Jakarta. Panji hafal betul beberapa judul lain karya Gombloh. “Setiap kali menyalakan radio saya berharap lagu-lagu favoritku diputarkan,” tutur Panji.
Gombloh memberikan warisan yang manis bagi industri musik tanah air. Selain membuat lagu-lagu bergenre baper, Gombloh juga menciptakan lagu-lagu bertema nasionalisme. Sederet album solo sepanjang kariernya pernah menghiasi tangga musik Indonesia juga di beberapa stasiun radio. “Tapi itu cerita dulu. Saya belum yakin apakah anak-anak zaman ini masih memandang radio sebagai ‘teman jalan’ menghadapi kemacetan ibu Kota,” cerita Panji.
Tidak Mati
Roda waktu menggelinding cepat ditandai perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi. Fenomena ini menghadirkan sejumlah perubahan. Perubahan roda zaman ini ikut membentuk kebiasaan masyarakat dalam mengakses dan mengonsumsi lagu. Jika dulu bila tak membeli album, orang mendapatkannya lewat siaran radio atau televisi.
Sekarang keadaan berbalik, tinggal ketika judul lagu di Youtube, beragam lagu bisa seketika dinikmati. Berbagai aplikasi layanan streaming lagu seperti Spotify, Apple Music, Joox, atau Guvera juga tersedia mulai dari versi berbayar hingga gratis.
Kini, bila ingin mengetahui berita atau informasi paling aktual, sumber utamanya bukan lagi di media konvensional seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Ada begitu banyak situs yang memberi informasi terkini. Media online menjadikan dunia seakan “tidak rahasia lagi”.
Kehadiran internet dengan berbagai perangkat lunak multiplatform dan gawai cerdas menghiasi kehidupan manusia. Betul pribahasa kuno, “zaman beralih, musim bertukar”. Radio sedang berkutik dalam pusaran angin perubahan tersebut. Bila tidak beradaptasi mengikuti tuntutan zaman, quo vadis radio?
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyebutkan perubahan yang terjadi dalam industri radio bukan hanya iklim tapi juga landscape. Ini diakibatkan arus perubahan teknologi yang cepat. Kenyataan ini menjadi pemantik bagi setiap pengelola radio. Sejumlah adaptasi dan perubahan perlu diambil. Kalau tidak, media audio ini segera gulung tikar.
Meski internet tumbuh pesat pada kuartal ini, Yosep beranggapan tidak berarti jangkauan pendengar radio menjadi rendah. Hasil penelitian Nielsen Radio Audience Measurement (RAM) pada kuartal ketiga tahun 2016 menunjukkan bahwa 57 persen dari total pendengar radio berasal dari kalangan Generasi Z dan Millenials.
Saat ini, empat dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat lebih personal yaitu mobile phone. “Radio tidak akan mati,” jelas Prasetyo.
Nielsen RAM juga membuat survei terhadap 8000-an orang berusia 10 tahun ke atas di 11 kota di Indonesia. Survei ini menyimpulkan bahwa penetrasi media televisi sebesar 96 persen, media luar ruang 52 persen, dan internet 40 persen. Radio sendiri dalam survei itu memiliki penetrasi di angkat 38 persen. Ini berarti segmen radio jelas.
Penyiar Prambors Radio 102.2 FM Johan Wahyu mengatakan, selama lima tahun di penyiaran ia selalu punya cara agar lagu-lagunya disukai banyak orang. Misalnya dengan memutarkan lagu-lagu hits atau top 40. “Pendengar dengan mudah menggantikan channel jika merasa lagu-lagu yang sedang mengudara tak cocok,” ujarnya.
Umat Paroki St Stefanus Cilandak ini mengatakan, untuk penikmat program radio di pagi hari penyiar perlu memberi konten spesial untuk menarik pendegar. Johan mengakui kalau dari sisi musik, radio sudah dalam tahap bahaya karena ada banyak aplikasi untuk mendengar musik baik online maupun offline. “Tapi kalau di Jakarta memutarkan lagu-lagu hits zaman ini selalu menjadi prioritas bagi pendegar.”
Peluang Baru
Chandra Novriadi menyebutkan audio content ini bisa berjalan beriringan de ngan medium lain tanpa saling menganggu. Radio bersifat melengkapi media-media lain. “Ini menjadi alasan lain untuk tidak khawatir, karena perubahan selalu melahirkan peluang baru,” ungkap Komisioner Masima Cipta Karya, perusahaan yang menaungi jaringan Radio Prambors.
Sebagai medium paling bontot, internet yang baru hadir di Indonesia awal dekade 90-an terbukti menunjukkan penetrasi paling mencolok. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan empat dari lima penduduk yang berumur 10 tahun ke atas, mereka menikmati televisi hampir setiap hari. Sedangkan penduduk yang mengakses radio dan surat kabar atau majalah terus menurun dalam periode tahun 2009-2017.
Sedangkan tahun 2009, persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mendengarkan radio sebesar 23,50 persen. Tiga tahun berselang turun menjadi 18,55 persen. Pada 2015, angka itu semakin menyusut menjadi 7,54 persen. “Ini penting. Penurunan minat pendengar radio membuat insan radio harus bekerja keras dan kreatif dalam merancang program menarik.” ujar Chandra.
Alumnus Fakultas Antropologi Universitas Indonesia ini mengatakan paling penting adalah target market. Karakteristik pendengar harus dipenuhi dengan aneka konten memikat agar industri radio tetap bertahan. Pasalnya, jika sebuah radio mampu memikat banyak pendengar, napas untuk bertahan di industri ini akan semakin panjang.
Bagi Chandra perubahan dimulai saat orang mengetahui langkah selanjutnya. Insan radio sangat paham caranya agar radio tetap bertahan. Chandra mengingatkan bahwa aliran duit iklan di radio-radio swasta itu masih berada dalam zona aman. Dalam penelitian Nielsen disebutkan bahwa total belanja iklan hingga Mei 2017 mencapai 750 miliar. Padahal total belanja iklan radio itu hanya 700 miliar. “Kemungkinan besar pemasukkan radio di Indonesia melalui belanja iklan tahun ini meningkat dua kali lipat dari dugaan semula,” ungkap Chandra.
Yusti H. Wuarmanuk