web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mengapa Bukan Kristen Katolik

3.5/5 - (21 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kita biasa menyebut beberapa Gereja di luar Katolik sebagai Kristen Protestan. Mengapa kita tidak disebut Kristen Katolik? Apa sebenarnya perbedaan utama antara Katolik dengan Kristen Protestan ini?

Gabriela Santi, Yogyakarta

“Di Anthiokialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kis 11:26). Demikianlah Kisah Para Rasul mencatat. Dikatakan demikian karena mereka adalah para pengikut Kristus. Tetapi dalam perjalanan kemudian umat yang percaya tersebut makin tersebar, dalam perbedaan bangsa, latar belakang maupun asal, tidak hanya orang-orang Yahudi, mereka lalu lebih menyebut diri dengan nama Katolik.

Katolik, yang berarti “umum”, menunjuk pada kesatuan dalam keperbedaan, menekankan aspek universalitas. Kiranya, St Ignatius dari Anthiokia yang pertama secara jelas menyebut Gereja yang didirikan Kristus ini adalah Gereja Katolik. Gereja Kristus adalah Gereja Katolik, demikian tulisnya dalam perjalanan kemartiran. Di dalamnya aspek kesatuan tubuh, dalam ikatan kesatuan dengan para uskup dan terutama dengan Uskup Roma.

Perjalanan sejarah Gereja ditandai dengan perpecahan. Di abad ke-16 terjadilah Reformasi Protestan. Para tokoh reformator ingin membawa Gereja kembali kepada apa yang dipandang sebagai dasar hidup Kristiani: hanya iman, Kitab Suci, dan rahmat. Sementara itu, Gereja Katolik tetap meyakini bahwa iman tanpa perbuatan tidak akan sungguh berakar dalam. Rahmat tanpa Sakramen tetap kurang utuh, dan Kitab Suci membutuhkan tradisi dalam menghidupinya.

Dalam perkembangan kemudian bisa dikatakan ada tiga hal dasar yang membedakan Katolik dan Protestan: hierarki, sakramen, dan keperantaraan. Ketiganya berakar dari tradisi Gereja, sejak awal keberadaan Gereja. Kristus memberi kuasa kepada Gereja untuk meneruskan pewartaan dan karya-Nya, kuasa tersebut dihidupi lewat dan dalam tradisi yang masih berjalan terus hingga kini.

Pertama, Gereja Katolik berciri hierarkis. Para uskup adalah penerus para rasul, dengan Uskup Roma (Paus) sebagai pengganti Petrus. Menjadi Katolik berarti berada dalam ikatan kesatuan dengan penggembalaan Gereja, Paus bersama para uskup. Gereja Reformasi tidak mengakui hal ini sebab setiap umat beriman mendapatkan karunia Roh Kudus. Karenanya kepemimpinan Gereja tidak memiliki kuasa khusus, apalagi karunia tertentu berkat Sakramen Imamat.

Kedua, ciri sakramen, yang berangkat juga dari penyataan bahwa Gereja adalah sakramen keselamatan Allah, tidak diakui sejak masa Luther. Hanya ada satu penanda dasar, yakni Baptis. Rahmat Baptisan sudah mencukupi maka tidak perlu ada sakramen-sakramen lain. Ekaristi pun tidak dipandang sebagai sakramen. Bagi Katolik, Ekaristi adalah puncak dan sumber dari dan akan sakramen-sakramen lain, karenanya Sakramen Imamat menjadi sangat perlu.

Ketiga, kepengantaraan Gereja Katolik bicara tentang para kudus, terutama Maria, yang ikut ambil bagian dalam kepengantaraan rahmat dalam diri Yesus Kristus. Dalam tradisi Gereja Reformasi, hanya ada satu perantara, yakni Yesus Kristus, karenanya peran yang lain, termasuk Maria tidak diperlukan. Sedangkan Katolik hingga kini selalu meneguhkan sementara orang menjadi orang kudus. Mereka tidak saja teladan kita dalam menapaki hidup iman, namun pula pendoa yang kita perlukan dalam kita memohonkan rahmat Allah.

Katolik karenanya menjadi ciri identitas Gereja bukan sekadar sebutan untuk dirinya. Di sementara negara, Gereja Reformasi tidak menyebut diri lagi sebagai Gereja Protestan maka nama Gereja Lutheran, Kalvinis atau lainnya lebih biasa disebut. Semuanya sebenarnya satu Gereja, maka Gereja Katolik sekarang lebih menyebut Gereja-Gereja di luar dirinya sebagai saudari (sisters church). Maka kita tidak menyebut diri sebagai Kristen Katolik disejajarkan dengan yang lain. Bagi Katolik, Gereja yang sejati, yang sebagaimana Gereja yang dibangun dan dirintis oleh para Rasul, sebagai Gereja Kristus, adalah Gereja Katolik.

 

Telephorus Krispurwana SJ

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

2 KOMENTAR

  1. “buat tulisan pakai footnote dan sumber”

    Setuju sekali. Tulisan tanpa rujukan berarti sekadar opini pribadi, tidak mendidik dan tidak mencerahkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles