HIDUPKATOLIK.com – Dalam sejarah teori sosial, terdapat satu mazhab yang disebut Postcolonialisme. Mazhab ini dipahami sebagai kesadaran akan efek-efek ideologi yang masih tersimpan di negeri jajahan yang ditinggalkan penjajahnya. Di negeri kita anggapan bahwa ketampanan atau kecantikan tergantung pada kulit putih dan bahwa orang kulit putih lebih pintar atau terhormat menjadi contohnya.
Kesadaran macam ini masih bertahan setelah 72 tahun kemerdekaan kita. Kritik Postcolonial ingin mengembalikan kesadaran diri bangsa bekas jajahan sebagai bangsa bermartabat. Ia tidak boleh membiarkan imaginasi sebagai bangsa yang terjajah masih menentukan pola tindakan dan keputusannya. Edward Said, teoris sosial yang mengawali teori Postcolonial mengatakan, “Kita tidak bisa berjuang untuk hak dan sejarah kehidupan kita, selama kita belum bersenjatakan sikap kritis dan kesadaran penuh”.
Satu kata yang sering kita dengar kalau orang menyebut agama Katolik adalah kata minoritas. Menurut sensus 2010, umat Katolik Indonesia hanya 2,91 % atau hanya 7,5 juta di antara 255 juta warga Negara Indonesia. Di masyarakat yang semakin menganggap penting perbedaan agama, narasi mayoritas dan minoritas sedang marak dipergunjingkan. Di beberapa tempat, narasi ini bisa berarti tidak diperbolehkan mendirikan rumah ibadat. Di tempat lain beberapa waktu yang lalu orang menyebut “Pahlawan Kafir”. Narasi-narasi ini hendak membuat kita menyadari dan menerima kenyataan bahwa kita ini adalah warga minoritas di Indonesia.
Belajar dari sikap kritis Postcolonial, rasanya narasi mayoritas dan minoritas ini tidak boleh kita jadikan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Saya adalah warga Negara Indonesia dan sebagai warga negeri ini saya berhak atas perlindungan Negara. Buktinya kalau sampai ada satu saja warga Negara di luar negeri yang mengalami masalah hukum, Negara harus turun tangan menemani.
Selain itu, kita jangan sampai lupa bahwa agama kita berperan besar di awal kemerdekaan Indonesia karena Mgr. A. Soegijapranoto, SJ mengusahakan pengakuan kemerdekaan kita oleh Vatikan. Atas prakarsanya Vatikanlah yang pertama kali mengakui kemerdekaan bangsa kita. Ia bahkan diangkat sebagai pahlawan nasional.
Kita berperan pula mendidik banyak kader bangsa kita. Saat Negara belum mampu menyediakan pendidikan bagi bangsa ini, di pelosok-pelosok negeri Gereja sudah menghadirkan sekolah-sekolah Katolik. Tak pula bisa dilupakan karya-karya sosial Gereja yang terlibat di dalam usaha membantu mereka-mereka yang mengalami kekurangan. Kita bukanlah minoritas saja, tetapi minoritas yang berperan penting di negeri ini.
Salah satu ajaran narasi Postcolonial adalah bahwa kita tidak bisa tinggal menerima saja narasi penjajah. Demikian juga narasi mayoritas dan minoritas ingin membuat kita merasa tak berharga dan berhenti berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Bersama sikap kritis kita, kita sadar bawa tugas kita adalah untuk menggarami dan menerangi setiap kegelapan di negeri ini. Sementara narasi minoritas perlahan membuat tawar keasinan kita dan menyurutkan cahaya kita, kesadaran sebagai minoritas yang berperan penting membuat kita ingin terus menerus menjaga asin dan nyala itu.
Kesadaran ini seakan memekikkan, “Mana lagi peranmu di tengah masyarakat? Jangan pernah menjadi bagian dari kegelapan-kegelapan di negeri ini tetapi jadilah pembawa terang! Janganlah biarkan dirimu menjadi tawar bersama yang lain, tetapi garamilah masyarakatmu dengan garam yang lahir dari relasimu dengan Tuhan.”
Mungkin saat kesadaran itu tumbuh, bangunan gereja (g kecil) tak lagi menjadi yang utama karena kita sudah benar-benar membangun Gereja (G besar), komunitas umat beriman yang bersinar di masyarakat Indonesia. Kita bukan minoritas di antara mayoritas melainkan saudara yang bahu membahu dengan saudara-saudari sebangsa dan setanah airnya untuk membangun negeri yang adil, makmur dan beradab.
Pastor M. Joko Lelono