HIDUPKATOLIK.com – Panti Asuhan Ina Maria tidak saja berkomitmen mengajarkan kedisiplinan tetapi berjuang memutus stigma buta aksara anak-anak Fakfak.
Uskup Manokwari-Sorong, Mgr Hilarion Datus Lega menjadi idola setiap kali melawat ke Fakfak, Papua. Kehadirannya tidak saja dinantikan oleh umat Kota Pala tetapi juga anak-anak Panti Asuhan Ina Maria, Torea, Fakfak. Bagi anak-anak Ina (anak-anak panti-Red), kehadiran Mgr Datus bak “dewa turun ke bumi”. Tak ada yang mereka harapkan dari kunjungan ini, asalkan mencium tangan, memeluk uskup, itu sudah cukup bagi mereka.
Dalam kunjungannya, Mgr Datus tak pernah lupa membawakan oleh-oleh entah biskuit, atau makanan ringan lainnya. Maka momen bertemu uskup menjadi “ajang tanding” siapa yang paling pertama memeluk uskup. Mereka tak mau menjadi orang terakhir. Anak-anak Ina tak peduli bila yang mereka peluk adalah seorang uskup. Dalam benak mereka, Mgr Datus adalah bapak yang baik. “Dia biasa kasih kami biskuit. Kami senang karena bapak baik sekali,” ujar seorang anak.
Pengalaman mendapatkan biskuit dari seorang uskup rasanya sangat istimewa dibandingkan biskuit dari siapapun. Meski harganya tak semahal biskuit sumbangan para donatur tetapi anak-anak Ina sangat bangga. Biskuit itu akan dimakan sedikit demi sedikit sambil merasakan betapa berharganya mereka di mata seorang uskup. Senyum dan tawa riang mewarnai aksi lucu-lucuan mereka. Mgr Datus hanya geleng-geleng kepala menatap haru ragam tingkah mereka. “Bila Bapak datang lagi, Bapak akan bawa biskuit yang banyak,” janji Mgr Datus.
Bangun Asa
Di Papua pada umumnya ada ungkapan, “bertemu sepuluh anak Papua, sebelas anak pasti tidak bisa baca”. Di Fakfak, negeri yang bersemboyan, “satu tungku, tiga batu”, berlaku hal yang sama. Keprihatinan ini menjadi duka yang mendalam bagi Suster-suster Tarekat Maria Mediatrix (TMM) Torea, Kabupaten Fakfak. Ada keinginan untuk mengentaskan buta aksara yang menjadi “borok” bagi anak-anak Fakfak.
Sr Martina Temorubun TMM, Pimpinan Komunitas TMM Torea mengisahkan panti asuhan ini berdiri dari rasa peduli akan pendidikan putri-putri Fakfak. Jika pemerintah menganggap pendidikan menjadi kunci keberhasilan bangsa, justru anggapan ini tidak mengakar di Fakfak. Kucuran dana besar tidak akan pernah menyelesaikan masalah di sana karena persoalan pendidikan bukan soal duit semata. Ada banyak faktor salah satunya tidak ada akses, tenaga pendidik dan paling penting membentuk pola pikir anak-anak.
Dalam asa ini, lahir Panti Asuhan Ina Maria. Tujuan utamanya adalah memberi pemahaman, sa belajar hari ini, sa jadi pemimpin di Papua esok, ‘saya belajar hari ini, saya menjadi pemimpin di Papua besok’. Keinginan membangkitkan pendidikan ini ternyata mendapat dukungan dari komunitas TMM pusat di Keuskupan Amboina berserta umat Stasi Santo Petrus Torea, Paroki Santo Paulus Fakfak. Bertepatan dengan hari jadi TMM, 1 Mei 2014, Panti Asuhan Ina Maria diresmikan di bawah Yayasan Johanes Aerts.
Sr Martina menuturkan, tidak mudah membentuk karakter anak-anak Papua. Kondisi ini semakin parah dengan sistem pendidikan nasional yang seringkali tidak membumi. Gambaran tentang sapi, harimau, apalagi gajah tidak mereka jumpai karena binatang itu tidak ada di Papua. Mungkin mereka kenal tetapi hanya anakanak yang tinggal di kabupaten. Padanan bahasa pun menjadi perkara bagi pengajar. Setidaknya bisa menjelaskan sesuatu yang dekat dengan kehidupan anak-anak.
Maka untuk membentuk pengetahuan yang riil dan tidak mengada-ada, panti ini hanya memilih anak-anak tingkat Taman-Kanak-kanak dan sekolah dasar. Tujuannya agar sedini mungkin memperkenalkan pendidikan kepada mereka. “Pembentukan karakter yang baik kiranya menjadi modal putri-putri Fakfak ke depan khususnya soal pendidikan, kemampuan SDM, dan kehidupan spiritual mereka,” ujar Sr Martina.
Saat ini, sekitar 20 orang anggota yang berteduh di bawah sayap-sayap kasih suster TMM. Mereka datang dari kampung-kampung dalam wilayah reksa pastoral Paroki St Paulus Fakfak seperti Kampung Torea, Kiat, Sipatnanam, dan Wefra. Mereka diasuh oleh tiga suster: Sr Martina, Sr Matilda Layanan TMM, Sr Hubertin Labok TMM, dan seorang awam yang tinggal seatap dengan anak-anak. “Tugas utama kami di panti asuhan sambil membantu karya pastoral dengan melayani stasi-stasi di wilayah Paroki St Paulus,” jelas Sr Matilda.
Ungkapan Cinta
Laksana garam dan asam, para suster dan anak-anak Ina tak bisa terpisahkan. Rasa cinta para suster menuntut mereka berjuang agar asap dapur terus mengepul. Sr Martina harus mengerutkan dahi setiap bulan mencari donatur bagi pendidikan anak-anaknya. Ekonomi orang tua yang pas-pasan tak bisa diharapkan menopang tungkuh dapur panti. Itu baru kebutuhan sekolah, belum kebutuhan lain yang terus bertambah seiring pertumbuhan anak-anak. Belakangan ada bantuan setahun sekali dari Dinas Sosial Kabupaten Fakfak dan para donatur tidak tetap. Tetapi setiap bulan para suster masih mengeratkan tali pinggang dengan “mengemis” ke yayasan atau menjual aksesoris rohani.
Tetapi itu bukan soal. Sekolah tetap jalan, aturan panti tetap dilakoni. Kehidupan, doa harian, Rosario, Misa, bersih-bersih diri, pergi ke sekolah, dan menyelesaikan pekerjaan lain menjadi cambuk emas bagi anak-anak. Tak melulu disiplin. Para suster tidak ingin memutuskan rantai indah masa kecil anak-anak. Maka program rekreasi, nonton bersama, jalan-jalan, serta bermain menjadi program unggulan agar tidak kehilangan arah pembinaan. “Karena anak-anak masih kecil, kadang kami memberikan pakaian yang layak dan seragam agar tak ada perbedaan. Kami tidak ingin anak-anak sakit hati atau merasa dihiraukan,” ungkapnya.
Setiap Rabu, penghuni panti dan suster mengadakan Misa yang dipimpin Kepala Paroki St Paulus, Pastor Henrykus Elrico Ansow. Imam Keuskupan Manado yang menjalani misi domestik ini selalu antusias menyapa anak-anak panti. Dengan berbagai cara, Pastor Elrico bisa memperkenalkan panti ini kepada umat. Akhirnya umat merasa memiliki. Ada yang kadang memberikan sayur, ubi, pisang, atau buah-buahan bagi anak-anak. “Ada bantuan juga dari lingkungan-lingkungan, anjangsana ibu-ibu Pertamina Fakfak, para pengusaha swasta, dan banyak ungkapan cinta lain dari umat.”
Tentu perjuangan ini tidak mudah. Tantangan utama adalah anak-anak yang datang dari kampung dengan pola pikir bebas dan belum paham aturan. Menjadi pengasuh bagi anak-anak Papua seperti makan buah simalakama-terbentur soal aturan dan pola pikir. Namun ini bukan satu-satunya alasan membangun asa bagi mereka. Karena itu para suster fokus mengajari membaca, menulis, dan berhitung. Anak-anak Ina justru aktif melaksanakan rutinitas belajar sore hari di balai kampung. “Saya senang karena tinggal di panti dengan aturan seperti ini sehingga bisa belajar mandiri. Bila besar, saya ingin jadi suster,” ujar Aurelia Iba, murid kelas empat SD.
Hidup dalam kondisi demikian tidak membuat para suster melupakan tugas utama dalam komunitas. Doa harian, rekoleksi bulanan, retret tahunan bagi TMM menjadi siraman rohani di jalan panggilan mereka. Ketulusan hati dan kegembiraan anak-anak menjadi obat penyembuh di saat hidup selibat mulai kering. Kepolosan hati anak-anak membuat para suster enggan berpaling dari mereka. “Anak-anak yang dulunya malu-malu dan tidak percaya diri kini bisa mengangkat muka membawakan kor dan tampil di depan banyak orang dengan membawakan mazmur,” ungkap Sr Martina puas.
Yohanes Patiran, Sekretaris Stasi Wefra memberi kesaksian tentang kehadiran anak-anak panti. Ia merasa senang dengan kehadiran anak-anak Panti Ina Maria. Mereka banyak mengalami perubahan khususnya dalam pola pikir. Mereka bertumbuh menjadi pribadi yang menghormati orang lain dan setia pada tugas masing-masing. “Mereka bahkan bisa ambil bagian dalam pelayanan di gereja dan masyarakat,” demikian Yohanes.
Marthina Fifin da Lopez/Yusti H. Wuarmanuk