web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pastor Paulus Christian Siswantoko: Perlu Landasan Rohani yang Kuat

3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Politik itu baik, yang tidak baik adalah pelakunya. Politik harus dikembalikan pada konsepnya.

Paus Fransiskus mendorong umat Katolik untuk terjun dalam kerasulan di bidang sosial politik. Baginya di sini juga umat dapat bersaksi tentang kebenaran iman. Bagaimana pandangan Gereja tentang kerasulan dalam bidang ini, berikut petikan wawancara dengan Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Paulus Christian Siswantoko.

Bagaimana Gereja melihat kerasulan umat dalam bidang sosial politik, apakah benar Gereja sepenuhnya anti politik?

Gereja jelas tidak anti politik. Justru, Gereja hadir untuk mengembalikan martabat politik yang sebenarnya baik dan suci. Politik itu suci, karena di dalamnya ada nilai-nilai keadilan, ketulusan dan kesejahteraan. Hanya nilai-nilai itu tidak tampak oleh dunia politik sekarang. Politik tampak kotor dan muram sehingga sebagian orang menjadi apolitik. Gereja hadir untuk membawa politik menemukan jati dirinya sebagai perwujudan nilai-nilai itu.

Tentu yang utama adalah para awam. Karena para awam yang berhubungan langsung dengan dunia ekonomi, politik, dan sosial yang memang adalah bidang mereka. Maka Gereja dalam Apostolicam Actuositatem (salah satu dokumen dalam Konsili Vatikan II) mendorong kaum awam agar menjadi garam dan terang. Sehingga, Gereja mengharapkan para awam dengan keahlian dan ilmunya, khususnya di bidang politik untuk bisa mengembalikan nilai-nilai tersebut menjadi kenyataan.

Bagaimana dengan hierarki?

Hierarki juga terlibat dalm politik, namun tidak dalam politik praktis. Dalam arti tidak ikut dalam pilkada, pemilu legislatif. Namun, hierarki berkewajiban untuk mendorong awam; memberikan pencerahan kepada awam yang terlibat dalam masalah politik ini agar sungguh-sungguh membawa nilai Kristiani.

Jadi tidak benar bahwa Gereja anti politik. Justru, Gereja tertantang agar politik tidak lagi menjadi sarana politisi untuk mencari penghidupan. Mereka ingin menjadi calon legislatif karena ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, bukan pelayanan. Kami mendorong para awam agar tahan banting juga dalam dunia politik ini yang penuh dengan persaingan dan permainan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Bagaimana Pastor melihat Ormas-Ormas Katolik di Indonesia? Apakah mereka telah mampu menterjemahkan anjuran Gereja tentang karya kerasulan di bidang sosial politik ini?

Ormas kita itu ada Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Pemuda Katolik, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Memang saat ini Ormas-Ormas ini sedang berjuang menerjemahkan nilai Kristiani. Misal, PMKRI di kalangan mahasiswa, mereka bisa bisa mengolah dirinya, di samping harus studi. Sehingga nanti ketika mereka keluar pun siap untuk bekerja dan merasul.

WKRI saat ini porsinya lebih kependidikan; pendidikan apapun. Memang belum tampak politik praktisnya. Tapi setiap ormas punya fokus garapan masing-masing. Ketika WKRI ini hadir memang dia masih di dalam, belum kelihatan. Sedangkan Pemuda Katolik itu sudah banyakberkegiatan, baik itu politik, dan kewirausahaan.

Mereka sebenarnya dengan kata Katolik itu ingin menerjemahkan nilai Kristiani. ISKA dengan “KA”-nya itu otomatis menandakan bahwa dia punya misi menerjemahkan nilai-nilai Kristiani dalam organisasi mereka. Pemuda Katolik menerjemahkan nilai-nilai Kristiani di antara kaum muda, usia 20-45, ISKA di kalangan para intelektual Katolik.

Lalu Vox Point (Vox Populi Indonesia) masih dalam taraf paguyuban dan belum Ormas. Ini suatu paguyuban awam yang relatif masih baru. Maka, Vox Point perlu landasan yang kuat untuk sebuah paguyuban yang merepresentasikan orang-orang Katolik. Kuat artinya landasan spiritualitas, landasan rohaninya harus kuat di tengah situasi seperti ini. Jangan sampai Vox Point ini menjadi paguyuban yang hanya mengejar kepentingan tertentu sementara lupa bahwa dia punya landasan yang kuat. Artinya, saya ingin mengatakan bahwa sebagai paguyuban yang masih baru, maka perlu adanya konsolidasi iman di dalamnya supaya kuat.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Dalam konteks Indonesia, bagaimana kerasulan bidang sosial politik ini diperlukan?

Kalau konteks dua tahun ini, tahun demokrasi, di mana tahun ini ada pilkada di 171 tempat, tahun depan ada pileg dan pilpres. Nah kalau bicara kerasulan sosial politik ada tiga hal.

Pertama, dari sisi umat. Umat harus cerdas dan bijaksana dalam memberikan hak politiknya. Artinya memilih berdasarkan suara hati.

Ini penting, karena pasti nanti akan ada berbagai macam tawaran, entah politik uang, gratifikasi, atau bahkan mungkin tekanan-tekanan. Maka, umat Katolik diajak menjadi pribadi yang bijak dan cerdas. Bijak artinya ketika dia menentukan pilihan memang ditentukan sangat bebas.

Kedua, para kontestan, yaitu orang Katolik yang ikut dalam kontestasi politik. Adalah baik kalau setiap Komisi Kerawam dapat mengumpulkan para calon yang akan ikut dalam kontestasi itu untuk mengetahui visi dan misi serta program mereka. Diharapkan para kontestan ini bermain secara fair, tidak lagi mengikuti pola-pola yang terjadi selama ini, menggunakan uang dan SARA sebagai sarana untuk memperoleh suara.

Ketiga, penyelenggara. Gereja sebagai paguyuban umat beriman juga harus kritis terhadap penyelenggara, KPU dan Bawaslu. Kita harus mengawal supaya penyelenggara adil, punya integritas dan tidak memihak. Sehingga hak politik masyarakat bisa tersalurkan dan juga tahapan-tahapan politik ini bisa berjalan dengan baik.

Apa yang mendesak harus dilakukan oleh umat?

Pertama, harus melihat bahwa politik itu baik. Yang tidak baik adakah pelakunya. Harus kembali pada konsepnya. Kalau kita lihat secara etimologis, politik itu berasal dari polis, istilahnya Plato, tahun 322 SM. Dipakai oleh Aristoteles tahun 347 SM. Polis itu bagus, dalam arti setiap warga negara saling berinteraksi, bertukar pikiran, bermusyawarah untuk memikirkan kesejahteraan bersama. Ini yang orang lupakan saat ini.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Orang melihat politik itu sebagai sebuah gerbong untuk mencapai kekuasaan. Padahal politik itu bukan gerbong tetapi sebuah kehidupan bersama di mana di dalamnya ada sikap saling membantu, saling menghargai, saling melengkapi, ada strukturnya yang baik. Jadi, memandang bahwa politik itu baik. Orang kalau memandang politik itu kotor, maka orang bisa apolitik. Kemudian tidak mau memberikan hak suaranya. Jadi, sekarang ini saatnya umat Katolik, khususnya awam, untuk terlibat dalam upaya mencari pemimpin yang bisa mengembalikan politik sebagai bidang kehidupan yang cerah, yang terang, yang baik.

Kedua, awam yang sudah terlibat dalam jabatan-jabatan publik harus berani untuk tetap menjadi garam dan terang. Karena menjadi garam dan terang adalah karakter kita. Memang, saya akui awam yang hidup di dunia politik itu memang berat. Meskipun begitu kita harapkan mereka tetap bisa menampakkan karakter kekristenannya dengan kejujuran, tanggungjawab dan komitmen.

Ketiga, jumlah kita tidak banyak, hanya 8,1 jutaan. Nomor tiga di Indonesia setelah Islam dan Protestan. Kita butuh teman untuk bisa membangun situasi politik yang lebih baik. Maka umat Katolik juga diajak untuk bergandengan tangan dengan agama lain dalam rangka menyuarakan upayaupayamembangun politik yang bersih, kampanye yang baik. Saya yakin di luar sana, masih banyak orang-orang yang masih mempunyai idealisme tentang politik yang baik.

Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles