HIDUPKATOLIK.com – Manusia adalah makhluk sosial, “zoon politicon” meminjam ungkapan filosofis Aristoteles. Manusia adalah “homo socius”. Mengapa? Itu karena kita selalu berada bersama orang lain, kita hidup di tengah orang lain, kita berada karena orang lain. “To exist” selalu berarti “to co-exists”, kata filsuf, G.Marcel. Karena itu, salah satu kewajiban etis fundamental kita ialah memperhitungkan ada dan kehadiran orang lain. Itulah panggilan dasar kita. Itulah panggilan manusia sebagai makhluk sosial. Kita tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan panggilan itu. Kita tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan ada dan kehadiran orang lain.
Masih adakah kesadaran dan kepekaan seperti itu? Ada yang beranggapan bahwa hal seperti itu tidak ada lagi. Tidak perlu penelitian serius untuk melihat petunjuknya. Perhatikan perilaku pengendara di jalan. Mulai dari perlengkapan motor. Kaca Spion dilepas, kalau pun ada, kaca itu tidak mengarah ke tujuan yang seharusnya agar berfungsi dengan baik. Tujuan kaca spion ialah agar kita mau memperhatikan dan memperhitungkan orang lain. Itu yang menjamin keselamatan saat berkendara. Sebelum belok atau mendahului pengendara lain, kita menengok orang lain lewat spion. Tetapi kaca spion itu dicopot, tidak ada lagi di tempatnya. Hal itu sama dengan mencopot antena dari hati kita, antena yang secara kodrati mendorong dan mengarahkan kita untuk memperhitungkan ada dan kehadiran orang lain. Karena antena itu dicopot atau tidak ada lagi pada tempatnya, maka kita berkendara seenak perut: Memotong, menyalib, mendahului sesuka hati, seakan tidak ada orang lain. Kita tidak terdorong untuk memperhatikan dan memperhitungkan orang lain.
Seorang teman mengatakan bahwa mengendarai motor di jalanan adalah sebentuk tirani-individual, sebentuk obsesi ke arah kesewenangan, “der Wille zur Macht”, meminjam terminologi Nietszche. Orang lain-lah yang kita tuntut untuk memperhatikan dan memperhitungkan aku. Itulah egoisme. Banyak kecelakaan terjadi karena kita tidak mau memperhitungkan dan mempertimbangkan orang lain. Kita tidak lagi memasang antena-kodrati kita untuk memperhatikan dan memperhitungkan orang lain. Ada sebuah benteng-tiranik yang kita bangun untuk mengelilingi diri. Kita mengira bahwa dengan itu kita aman, terlindungi, kedap terhadap segala sesuatu yang negatif dari luar. Tetapi ini berakibat fatal. Kepekaan sosial kita turun. Kesadaran akan tanggung-jawab sosial luntur. Kita dengan sesuka hati menyampah di jalanan. Jika hujan datang, maka parit, sungai mampet dan air tergenang. Ruang hidup manusia terganggu oleh sampah.
Jika terjadi bencana sosial, kita cepat berlari dari tanggung jawab, seperti Kain lari dari tanggung jawab atas perbuatannya terhadap Habel: Apakah aku penjaga adikku? (Kej.6:9). Kita tidak dapat hidup di atas “apatisme moral-sosial”. Ini pasti mengarah ke kehancuran. Kita hanya dapat hidup di atas dasar “empati moral-sosial”. Kita harus
loncat dari “a-pati” ke “em-pati”, ke hati yang tergerak oleh belas kasihan, misericordia. Hanya dengan hati yang berbela-rasa, dengan empati, kita mampu membayangkan diri sebagai orang lain di hadapan sesama. Kepekaan akan tanggungjawab moral-sosial hanya dapat muncul jika orang berani menempatkan diri dalam situasi orang lain, membayangkan diri berada pada tempat orang lain. Pendidikan moral dan religius kita harus diarahkan ke sini. Ini adalah kesalehan-sosial yang sangat luhur. Memang hidup ini tidak hanya soal doa dan ritual. Juga moral.
Fransiskus Borgias M