web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sulitnya Membentuk Watak

3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Menyusul kasus pelanggaran etika pendidikan tinggi yang terjadi selama bulan Juli–September 2017 (dugaan plagiasi yang dilakukan Rektor Universitas Halu Oleo Kendari, indikasi plagiasi Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta dan maladministradi rektor Universitas Negeri Manado), Harian Kompas melakukan jajak pendapat soal perilaku kebohongan di ranah publik. Lebih dari 50% responden mengatakan situasinya sangat parah. Lebih dari 50 persen juga yang berpendapat perilaku kebohongan itu disebabkan oleh kombinasi antara faktor lingkungan dan watak bawaan (Kompas, 2/11/2017). Artinya, tabiat buruk terbentuk karena faktor bawaan dan lingkungan.

Sementara itu, lebih dari 50 persen responden mengaku pernah menyontek saat di bangku sekolah atau kuliah. Dalam arti itu, faktor bawaan memang ikut berperan dalam perilaku buruk ketika sudah menjadi politisi, rektor, atau pejabat publik. Tetapi pengaruh faktor lingkungan juga signifikan. Di satu pihak, di sekolah dan universitas, orientasi sekolah yang mengejar angka demi akreditasi, prioritas pada persaingan antarsiswa berdasarkan nilai kognitif, serta penghargaan siswa berprestasi yang diutamakan hanya untuk anak-anak dengan catatan akademis yang mumpuni turut menjadi faktor pemicu praktik menyontek dan plagiasi. Di lain pihak, sikap masyarakat yang permisif terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan ikut andil membentuk perilaku buruk pejabat publik.

Meskipun demikian, keluarga-keluarga dan sekolah-sekolah Katolik seharusnya bersikap kritis terhadap penelitian ini. Disimpulkan, absennya sanksi berat telah menjadi faktor dominan terjadinya kasus plagiarisme. Hampir sembilan puluh persen responden di Jawa dan luar Jawa meyakini hal ini sebagai faktor penyebab. Penyimpulan semacam ini juga
muncul dalam pemberitaan sebelumnya (Kompas, 20/9/2017 dan 6/10/2017).

Cara berpikir demikian mengandung bahaya karena mengesankan seakan-akan pendekatan penegakan hukum dapat menyelesaikan seluruh persoalan dekadensi moral di Republik ini. Padahal pendidikan watak pertama-tama harus merupakan pembentukan diri bermoral dan pribadi berkeutamaan sedemikian rupa yang memampukan individu menahan diri dari berbagai godaan plagiasi dan korupsi di masyarakat. Itu sudah harus dimulai dari rumah. Dengan tidak meremehkan penegakan hukum, kita perlu bertanya atau meneliti soal situasi pembentukan watak di rumah. Apakah para orang tua melakukan pembinaan karakter secara cukup serius di rumah? Nilai-nilai karakter apa yang dibiasakan di rumah? Apakah nilai-nilai itu juga menjadi nilai hidup orang tua sehingga pendidikan dan pembentukannya kepada anak-anak menjadi sebuah kesaksian bagi mereka?

Paus Fransiskus mengatakan dalam Seruan Apostolik Amoris Laetitia (2016): orangtualah yang pertama-tama bertanggungjawab membentuk kehendak atau tekad untuk bertindak baik dalam diri anak-anak. Orang tua juga yang harus menjadi contoh atau model dalam pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menanamkan kerinduan dalam diri anak-anak untuk mempraktikkan hal-hal baik (art. 264-265).

Di situ persis problem kita sebagai orang tua. Kita berusaha keras menjadi model dan menanamkan perilaku baik. Tetapi demi mengejar nilai baik dalam mengarang atau ilmu sosial, misalnya, kita menutup mata terhadap perbuatan anak-anak kita yang mengcopy-paste secara utuh karangan orang dari sumber online. Guru juga membiarkan hal ini dan tetap memberi nilai tinggi pada “karya” anak-anak kita. Sementara itu, di ruang publik, di televisi, atau di media-media sosial, anak-anak kita terpapar pada berbagai perilaku tidak bermoral.

Jadi, apakah kita masih percaya pada pendekatan penegakan hukum? Atau, kita memang harus mengubah pola pengasuhan anak-anak kita, termasuk menetapkan prioritas pendidikan di rumah dan di sekolah? Apakah kita tetap mengejar prestasi akademik sebagai satu-satunya tujuan akhir, dengan menghalalkan berbagai cara demi mendapat nilai yang baik, atau membentuk terlebih dahulu kepribadian bermoral.

Yeremias Jena

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles