HIDUPKATOLIK.com – Mengapa dalam Injil Yohanes tidak ada kisah tentang Perjamuan Malam Terakhir seperti yang ada dalam ketiga Injil terdahulu? Jika ajaran tentang Roti Hidup pada Bab 6 itu merujuk ke Ekaristi, bukankah aneh bahwa Yohanes justru tidak mencantumkan kisah Perjamuan Malam Terakhir?
Anna Ika Airin, Malang
Pertama, seperti kita ketahui, Injil menurut Yohanes itu memang berbeda dengan ketiga Injil dalam sejumlah hal besar. Alasan berkaitan dengan perbedaan ini tidak selalu mudah diperkirakan atau ditemukan. Seringkali hal itu terjadi karena Injil keempat ditulis beberapa puluh tahun sesudah ketiga Injil yang lain.
Kedua, alasan yang sangat jelas membedakan ialah bahwa pendekatan teologis Injil keempat tentang Yesus dan pesan pewartaan-Nya berbeda dengan pendekatan teologis Injil Markus, Mateus, dan Lukas. Injil Yohanes mempunyai pendekatan dengan tingkatan permenungan yang lebih tinggi, yang tidak dikenal dalam ketiga Injil terdahulu. Misalnya, Injil Yohanes adalah satu-satunya yang menulis kisah tentang Bunda Maria yang berada di bawah kaki salib Yesus. Para penginjil yang lain menyebut beberapa wanita tetapi bukan Maria. Jika Maria memang ada di bawah kaki salib Yesus, apakah ketiga penginjil itu tidak mengetahui kenyataan itu? Nampaknya hal ini tidak mungkin. Apakah mereka menganggap kehadiran Maria itu tidak penting? Atau, apakah Yohanes mengungkapkan kehadiran Maria di Kalvari karena hubungan teologis antara Maria dan Gereja, yang diwakili oleh “murid yang dikasihi”?
Ketiga, sangat mungkin Yohanes mengetahui kisah tentang Perjamuan Malam Terakhir yang sudah sangat dikenal dalam ketiga Injil itu maka dia tidak ingin menyajikannya lagi tetapi ingin menjelaskan lebih lanjut sebuah refleksi tentang Ekaristi yang tidak diuraikan dalam ketiga Injil terdahulu. Sangat mungkin Yohanes ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiga Injil dengan kisah lain yang belum ada, misalnya tentang pembasuhan kaki, yang tidak disajikan dalam ketiga Injil Sinoptik. Kita mungkin tidak pernah akan bisa mendapatkan jawaban pasti tentang alasan Yohanes tetapi hanya berupa perkiraan.
Sejauh saya mengenal Yesus, Dia sangat mengasihi dan mempercayakan diri-Nya kepada Bapa sepanjang hidup-Nya. Apakah mungkin Yesus berteriak “AllahKu, ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan daku?” yang bernada keputusasaan dan jauh dari Bapa?
Gatot Widyawan, Kediri
Pertama, memang benar kasih dan kepercayaan Yesus kepada Bapa sungguh tidak bisa diragukan. Tetapi seruan Yesus di salib harus dilihat juga dalam konteks penderitaan yang harus dijalani-Nya sebagai manusia. Menjalani penyiksaan yang sedemikian kejam pasti sebagai manusia Yesus juga merasakan kesepian, kesendirian, dan kesusahan. Yesus berjuang hebat menghadapi penyiksaan yang sedemikian kejam yang menyebabkan badan-Nya bersimbah darah dan membawa Yesus pada keadaan yang mirip “keputusasaan”. Kita katakan “mirip” karena sebenarnya seruan “AllahKu, ya AllahKu …” itu adalah ungkapan keyakinan iman di tengah kesengsaraan.
Kedua, untuk mengerti secara lebih baik, perlu diketahui kebiasaan umum dalam Kitab Suci, yaitu bahwa mengutip awal suatu perikop atau Mazmur, berarti merujuk ke keseluruhan teks tersebut. Seruan Yesus itu adalah awal Mzm 22 sehingga kita bisa mengatakan bahwa Yesus mendoakan keseluruhan Mzm 22. Mzm 22 terdiri dari tiga bagian: ay 2-19 melukiskan kepedihan dan kesengsaraan dengan nada kepercayaan, ay 20-27 berisi jeritan permohonan untuk dilepaskan dari cengkeraman para musuhnya dengan nada kemantapan iman dan penyerahan kepada Tuhan, ay 28-32 menunjukkan kesadaran pemazmur bahwa penderitaan tak akan berakhir sia-sia tetapi akan menghasilkan buah, yaitu pertobatan para bangsa. Mereka itu akan “berbalik kepada Tuhan dan . . . akan sujud menyembah di hadapan-Nya.” (ay 28). Jadi, seruan Yesus itu bukanlah ungkapan keputusasaan tetapi seruan keyakinan iman bahwa semua sengsara dan kematian-Nya itu akan menghasilkan pertobatan bangsa-bangsa.
Petrus Maria Handoko CM