HIDUPKATOLIK.com – PIKIRANKU melanglang jauh, ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur pondok di mana aku tinggal. Di pondok itulah, aku teringat kembali perjalanan seorang misionaris dari Belanda, yang tidak pernah kenal badai atau panas dalam melayani umatnya. Misionaris itu bernama Romo Pius. Sesuai namanya, aku meyakini pribadinya yang saleh, pendoa, serta sederhana dalam bertutur dan bertindak. Ia sosok gembala yang tidak neko-neko.
Aku masih ingat betul, tiga puluh lima tahun yang lalu, ia berkunjung ke rumahku. Kala itu, rumahku reot, beratapkan alang-alang, dan dianyam dengan rapi. Kalau hujan, kami harus sedikit menahan dingin. Namun ketika panas begitu menyengat, atap ini menyejukkan kami sekeluarga.
Kunjungan itu menjadi kunjungan perdana dan amat mengesan untuk kami. Maklum, kami orang sangat ndeso dan amat sederhana, dalam menyambut dan melayani gembala yang saleh itu. Tak heran, kunjungan misionaris ke rumah kami, justru mengundang rasa sinis dari budheku sendiri. Entah mengapa demikian terjadi, aku tidak mengerti dengan baik kala itu.
“Oaaaalah….omah wong jorok kok dikunjungi Romo bule, mau-maunya ya Romo itu?” begitu ungkapan yang keluar dari mulut budhe yang sempat tersadap kata-katanya oleh Mbak Painem. Mbak Painem adalah tetangga yang tinggal di depan rumah. Tempat tinggalnya hampir sama kondisinya dengan rumah ibuku.
“Budhe kemarin itu Bu Parji mengatakan pada kami saat ngrumpi di rumah ibu Sarju, rasa yang bagaimana gitu, dia mengatakan kok mau-maunya Romo bule berkunjung ke rumah budhe yang katanya rumahnya kotor.”
Mendengar itu, santai ibuku menjawab. “Oaalaah….lha bagaimana lagi lho Mbak, kemarin itu Pak Stasi datang ke rumah-rumah umat untuk memberi jadwal kunjungan Romo. Katanya hampir semua belum siap. Ada yang bilang belum belanja lah, ada yang bilang masih repot mau kerja lah, pokoknya saya juga kasihan dengan Pak Stasi yang pontang-panting mencari rumah umat yang bersedia. Kemudian Pak Stasi bertanya kepada saya dan menawari jadwal itu kepada saya.”
Dengan segala keterbatasan ibu pun menerima kunjungan Romo.
***
Sudah sekitar tiga bulan peristiwa kunjungan itu berlalu. Kunjungan yang terasa amat bermakna bagi keluarga kami.
Selama itu pula, kami umat stasi mesti menunggu jadwal Romo Misa lagi di gereja kami. Dari 21 stasi di paroki, kami hanya dilayani oleh seorang Romo Pius. Tak heran, jadwal untuk Misa di stasi bisa saja sangat lama, dan ternyata ini mengundang kerinduan umat stasiku.
“Kapan ya Romo Pius datang Misa lagi? Kalau datang lagi saya mau ditempati untuk kunjungan. Rasanya membawa berkah”, ungkap Mbak Paini ketika duduk di emperan gereja usai ibadat sabda.
“Aku juga bersedia kok mbak ketempatan dhaharan Romo, pas juga kalau datang kami panen singkong kuning, pasti Romo suka roti sumbu itu”, sambung Bu Lastri.
Tak lama kemudian, kabar gembira tiba. Romo Pius akan datang. Pak Stasi yang menyampaikan pengumuman ini. Umat pun gembira, sebab tiga bulan sudah mereka tidak menerima Tubuh Tuhan dalam Misa.
Sabtu sore, petugas kebersihan dan liturgi menjadi jatah ibu-ibu WKRI. Mereka menyapu gereja dengan guyub dan membawa bunga dari rumah masing-masing. Namun, Minggu pagi itu hujan turun begitu deras mengguyur desa kami.
Namun karena kerinduan umat akan kehadiran Romo Pius sudah tak tertahan. Mereka tidak kenal hujan sederas apa pun. Ada dari umat yang ngonthel, ada yang jalan kaki dengan payung daun pisang, dan ada juga yang menggunakan plastik lebar sebagai mantel. Semua dilakoni demi Misa di gereja.
Khotbah Romo begitu mengesan. Ia yang baru enam bulan bertugas di paroki kami dan sudah agak lancar bahasa Jawa.
Cukup mengherankan, sebab ia berasal dari Belanda. Sesekali dalam khotbahnya, umat bisa tertawa lepas mendengar logat Jawa yang diucapkan Romo Pius juga terkesan luwes. Misa pun berakhir, Pak Stasi kembali rundingan, mau tempat siapa kunjungan Romo pada Minggu ini? Akhirnya Bu Pawiro bersedia dan tunjuk tangan untuk menerima tawaran ini.
“Waaah, mathur nuwun Bu Pawiro”, jawab Pak Stasi.
“Injih Pak Stasi, mathur nuwun ugi,” Bu Pawiro menimpali.
Dengan penuh semangat Pak Pawiro menjumpai Romo yang berganti pakaian di sakristi.
“Romo, mari kunjungan di rumah kami”, kata Pak Pawiro dengan penuh semangat.
Romo itu pun tersenyum anggun dan menganggukkan kepala. Mereka berjalan kaki bersama kurang lebih satu setengah kilo jaraknya dari Gereja Stasi.
Sesampai di rumah, Bu Pawiro sibuk menyiapkan makanan, ada pecel lele, telur dadar, dan juga urap. Setelah semua siap Bu Pawiro memanggil anak-anaknya yang juga turut ke gereja namun pulang belakangan karena Sekolah Minggu. Mereka berjumlah empat orang, satu orang kelas 1 SMA, satu orang sudah kelas 1 SMP, dan dua lagi masih SD kelas lima dan kelas tiga.
Kebetulan Yani yang sudah kelas 1 SMA membina anak-anak Sekolah Minggu anak-anak stasi setiap pulang sekolah.
Setelah semua kumpul, anak nomor tiga, Widyo namanya diminta untuk memimpin doa makan. Dengan terbata-bata, ia berdoa namun dengan keberaniannya ia dapat menyelesaikan doa makan itu dengan baik. Kemudian mereka bersantap bersama.
Obrolan amat gayeng, apalagi ditemani singkong goreng dan Kopi Lampung.
“Pak..Bu.., di stasi ini apakah belum ada yang minat jadi Romo lan Suster?” tanya Romo Pius.
“Walah Romo, belum ada. Belum ada niat, mungkin orang tuanya belum memperbolehkan karena biaya, atau juga anaknya yang tidak mau,” jawab Pak Pawiro sembari mengelus rambut Widyo. Romo pun melanjutkan.
“Pak, Yani itu kayaknya nanti jadi suster, waktu bacaan di gereja sudah bagus dan enak didengar”.
Bu Pawiro pun menjawab dengan santai.
“Romo…Romo….masak Yani jadi suster, orang hitamnya kayak gitu kok jadi suster Romo? Biasanya khan suster putih-putih,” sambung Bu Pawiro.
Romo pun dengan penuh semangat bercerita soal panggilan menjadi imam atau suster. Lagi-lagi Romo Pius menunjuk Widyo yang suatu saat akan menjadi Romo. Jika Tuhan menghendaki. Pak Pawiro pun lagi-lagi tersenyum melihat dan mendengar apa yang dikatakan Romo Pius.
Usai menyantap hidangan sederhana itu, Romo menutup doa dan hendak pamit. Sembari berjalan meninggalkan halaman rumah Pak Pawiro, Misionaris itu menubuatkan demikian;
“Yah Pak…tunggulah 15-an tahun lagi, stasi ini akan ada yang jadi suster dan Romo, agar Gereja semakin dilayani dengan baik. Saya yakin dari keluarga ini pun akan ada yang terpanggil, apalagi jika direlakan sama bapak ibunya, saya doakan khusus ya,” ungkap Sang Misionaris.
***
Pak Pawiro dan Bu Pawiro pun mengingat apa yang pernah dinubuatkan Sang Misionaris 17-an tahun silam. Kurang lebih sebagaimana yang dinubuatkan Romo Pius itu, ternyata benar, kini putrinya, Yani, menjadi suster. Widyo juga ditahbiskan menjadi imam diosesan. Mereka menjadi suster dan Romo pertama dari stasi ini.
Widyo ingat, keinginannya jadi romo juga karena terkesan dengan kehadiran Romo Pius. Bahkan sisa Kopi sang Misionaris pun jadi rebutan antara Widyo dengan Galih adiknya.
Kini, di stasi itu sudah ada tiga suster, tiga imam, dan satu frater. Ternyata benar, doa umat stasi kecil dan keluarga-keluarga yang sederhana yang amat merindukan kehadiran seorang Romo atau suster ini, akhirnya didengarkan Tuhan. Lewat nubuat dan doa dari Sang Misionaris yang kini sudah damai dalam dekapan Bapa.
Dhaharan : Kunjungan disertai santap bersama
Gayeng : Ramai/seru
Guyub : Rukun
Mathurnuwun : Terimakasih
Ngonthel : Naik sepeda Onthel
Omah Wong Jorok : Rumah orang yang kotor
Fr. Nicolaus Heru Andrianto