HIDUPKATOLIK.com – Perlu banyak dukungan untuk memaksimalkan peran perempuan di politik. Gereja dan masyarakat diharapkan memberi ruang.
Demokrasi tidak lengkap tanpa menyertakan persoalan keterwakilan perempuan di parlemen. Representasi perempuan di dunia politik Indonesia masih menjadi topik bahasan yang hangat di kalangan praktisi dan akademisi sosial politik. Tahun 2017, The UnitedNations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) memberikan catatan baik untuk Indonesia. Di kawasan Asia, Indonesia didaulat menjadi negara dengan partisipasi perempuan tertinggi di pemerintahan, yakni sebanyak 25,7%.
Terkait peran perempuan dalam dunia politik Indonesia, berikut ini wawancara dengan Veronika Ata, peraih penghargaan Woman of Change 2015 dari Kedutaan Besar Amerika Serikat:
Bagaimana keterlibatan perempuan Katolik di kancah politik Indonesia?
Keterlibatan perempuan belum maksimal. Menurut saya, perempuan Indonesia umumnya dan perempuan Katolik khususnya, secara hukum mestinya berpartisipasi dalam ranah publik, terutama di ruang politik. Kita perlu mengisi ruang politik yang disediakan oleh negara. Sebagai perempuan Katolik, saya kira ini ruang dan kesempatan yang baik. Kita bisa terlibat secara maksimal di ruang publik ini.
Apakah perempuan Katolik di Indonesia sudah cukup berpartisipasi di bidang politik?
Saya lihat perempuan Katolik itu banyakdan mau terlibat. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya, hampir di semua kabupaten itu ada perempuan-perempuan Katolik potensial terlibat di dunia politik. Misalnya di Kabupaten Belu, ketua DPRD seorang perempuan Katolik.
Apakah Gereja di NTT sudah cukup mendukung perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik?
Menurut saya Gereja selama ini mendorong tapi belum sistematis. Di sini ada Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) dan ada kelompok-kelompok non kategorial. Kemauan baik itu ada.
Di NTT ada pertemuan kaum awam Katolik, di dalamnya ada kader-kader perempuan potensial. Jangan hanya pada momen tertentu saja, tapi perlu ada momen lain yang menghimpun dan mendorong perempuan-perempuan potensial Katolik untuk lebih berperan dan berpartisipasi mengisi ruang politik.
Apa faktor yang membuat perempuan masih belum banyak terlibat aktif di bidang politik?
Menurut saya, antara lain karena budaya patriarkat yang sangat kuat mendominasi ruang publik maupun ruang domestik. Sehingga banyak perempuan berperan terbatas. Tidak banyak yang mau berpartisipasi di dunia publik. Di NTT budaya patriarkat ini masih kental.
Selain patriarkat, faktor datang dari internal. Akhirnya, mereka beranggapan memang tidak bisa.
Kemudian juga dari aspek pendidikan. Pendidikan tinggi di NTT didominasi oleh laki-laki, tapi perempuan Katolik yang punya pendidikan tinggi pun banyak. Motivasi untuk berorganisasi itu ada, tapi belum terlalu maksimal. Saat ini mulai ada langkah maju tapi belum secara baik diatur.
Banyak perempuan Katolik sebenarnya mau terlibat, tapi punya keterbatasan ekonomi dan tidak terfasilitasi untuk mensosialisasikan diri ke masyarakat. Karena sistem yang ada di masyakarat tidak memberikan ruang secara baik untuk perempuan. Ditambah lagi kemampuan ekonomi yang minim. Banyak variabel yang mempengaruhi perempuan Katolik menjadi terbatas di ruang publik.
Apakah masyarakat sudah cukup mendukung perempuan yang terjun ke bidang politik?
Kalau menurut saya masyarakat belum mendukung secara penuh. Masyarakat belum percaya perempuan. Padahal banyak perempuan potensial yang punya pendidikan dan pengalaman, tapi orang masih menganggap laki-laki yang punya kemampuan dan pengalaman. Jadi mereka lebih percaya laki-laki daripada perempuan.
Padahal kapasitas laki-laki tidak jauh berbeda dengan perempuan. Banyak laki-laki yang pas-pas saja, tapi karena punya uang dan pengalaman politik, lebih lihai di lapangan, serta pandai menggunakan peluang, masyarakat pun lebih percaya. Dari pihak keluarga perempuan pun ada dua sisi. Ada keluarga tertentu yang sangatmendukung perempuan untuk maju di dunia politik, tapi ada kelompok lain yang tidak didukung sepenuhnya oleh keluarga.
Keluarga yang mendukung berpandangan bahwa perempuan punya kemampuan dan layak dipercaya. Tapi ada yang menganggap, kenapa perempuan mau repot di dunia politik? Dunia politik itu dunia yang kasar dan kotor, laki-laki lebih cocok.
Apakah ada diskriminasi perempuan di bidang politik?
Sangat sering terjadi. Contoh tadi tentang bagaimana orang masih melihat perempuan kurang mampu dan pendidikannya rendah. Secara ekonomi tidak mampu sehingga dianggap hanya menghamburkan uang. Perempuan dianggap hanya layak di sektor domestik. Lalu soal pemilihan, lebih banyak orang memilih laki-laki ketimbang perempuan di legislatif dan lebih banyak memilih laki-laki untuk penempatan di eksekutif dan yudikatif.
Apakah ada rencana atau program dari ibu dan masyarakat untuk mendukung atau mendorong perempuan berpartisipasi aktif di bidang politik?
Yang pertama, kami selalu mendorong perempuan untuk terus berani merebut peluang yang ada dan berani untuk tampil. Selain mendorong, kami juga memberikan pendidikan politik dan penyadaran supaya perempuan sadar bahwa ada regulasi yg melindungi dan menjamin hak-hak politik mereka. Itu yang kami selalu kampanyekan dan sosialisasikan agar orang tahu.
Kami meyakinkan perempuan untuk lebih percaya diri, mendorong untuk terlibat aktif dalam organisasi dan kegiatan. Kami juga menganjurkan supaya jangan pernah merasa sudah tahu semua, tapi harus selalu ada rasa ingin tahu dan mau belajar. Sehingga dapat mengisi kapasitas dan keterampilan menjadi seorang pemimpin yang baik.
Saya kira, untuk wilayah yang minim,perlu mengidentifikasi dan merekrut perempuan Katolik potensial untuk dilibatkan dalam ranah politik. Kita tidak bisa mendiamkan saja dan tidak berbuat apaapa karena minim. Menurut saya, pasti setiap daerah di Indonesia ada kader-kader potensial Katolik.
Apakah Ibu optimis partisipasi perempuan di bidang politik akan meningkat di masa depan?
Saya optimis ya. Kita berjuang untuk memenuhi kuota minimal 30 persen itu. Karena regulasi itu terbuka dan memberi ruang untuk perempuan, saya optimis bahwa kedepan kita akan mencapai itu.
Tentu harapan ini juga harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat agar memilih perempuan. Dengan begitu, perempuan bisa mencapai prosentase lebih besar. Tapi kalau masyarakat tidak percaya perempuan dan menganggap remeh, ini sebuah tantangan untuk kita.
Gabriel Dinda Andari