HIDUPKATOLIK.com – Gereja memandang perempuan dan laki-laki setara. Keduanya memiliki panggilan yang sama di dunia politik, sebagai ladang kerasulan awam.
Panas terik tak menyurutkan langkah sekitar 1500 perempuan yang berkumpul di kawasan MH Thamrin, Jakarta, 3/3. Mereka memegang spanduk dan poster berisikan aspirasi bagi perlindungan hak perempuan. Isu kekerasan tak henti menjadi momok bagi eksistensi kaum perempuan. Isu ini kembali disorot dalam gerakan Woman March tahun ini. Gerakan yang awalnya berasal dari Amerika Serikat ini kini telah menjadi langkah bersama di seluruh dunia.
Bangkitnya gerakan seperti ini merupakan salah satu sumbangsih arus demokrasi di seluruh dunia. Dalam pandangan tradisional, perempuan sering kali dipandang sebagai “kelas kedua” terutama dalam masyarakat dunia yang cenderung lebih memberi ruang bagi kaum laki-laki.
Hannah Arendt menyebutkan dominasi laki-laki terutama terlihat dalam dunia politik. Untuk itu, lewat gagasan-gagasannya, Arendt berusaha menyuarakan agar perempuan harus mendapat tempat di dalam ruang publik yang tidak diakses selama ini. Dominasi politik laki-laki cenderung menekankan sisi kekerasan yang telah banyak menimbulkan penderitaan dan kematian.
Di Indonesia, buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya R.A. Kartini menjadi pembuka kesempatan baru bagi peran perempuan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Berabad lamanya, perempuan Indonesia tak memiliki peran signifikan. Mereka hidup di bawah bayang kaum pria. Meski begitu, perjuangan mereka harus tetap didukung, juga oleh Gereja Indonesia.
Empat Babak
Sejak merdeka, Indonesia telah melalui empat babak sejarah, zaman Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan kini Orde Revolusi Mental. Di zaman-zaman ini perempuan tetap harus terus berjuang. Peran mereka belum terlalu menonjol. Data mengungkapkan, implementasi politik perempuan dalam rangka membuka akses meningkatkan partisipasi serta kontrol perempuan dalam berpolitik di Indonesia sangat rendah.
Menurut catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tingkat partisipasi perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 tergolong rendah. Angkanya hanya 44 perempuan dari total 614 calon kepala daerah di seluruh Indonesia. Artinya hanya 6,9 persen. Ini tidak sebanding mengingat 49,2 persen dari total penduduk Indonesia adalah perempuan.
Calon kepala daerah perempuan ini bertarung di 41 wilayah yang tersebar di 28 kabupaten, sembilan kota dan empat provinsi. Partisipasi perempuan menurun sebesar 0,30 persen, Pilkada serentak gelombang pertama yang diselenggarakan pada 2015 dari 7,47 persen menjadi 7,17 persen.
Lebih menyesakkan lagi, calon-calon ini adalah “pemain lama”, artinya sebelumnya pernah ikut dalam kontestasi pemilihan daerah. Mereka juga didominasi oleh tiga latar belakang yaitu eks legislator, kader partai, dan jaringan kekerabatan.
Penurunan angka partisipasi perempuan dalam ranah politik bukanlah yang pertama dalam urusan Pilkada. Pada Pemilu 2014, hanya ada 97 perempuan yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Jumlah ini hanya 17,3 persen dari total 560 kursi yang tersedia. Angka ini menurun dari periode sebelumnya, dimana ada 103 perempuan (18,4 persen) anggota DPR RI. Padahal, kuota perempuan dalam ranah politik sesungguhnya sudah diatur dalam Undang-Undang, yaitu sebanyak 30%.
Perempuan Katolik
Peningkatan partisipasi perempuan dapat dilakukan melalui pendidikan politik. Adriana Elisabeth mengatakan banyak orang yang belum paham apa itu politik. Banyak orang yang mengartikan politik itu mudah. Mereka berpikir politik itu merupakan akses untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial. Adriana melanjutkan bahwa perempuan harus belajar berpolitik. Belajar politik itu penting karena dengan demikian, perempuan dapat terhindar dari manipulasi. Mereka juga memiliki etika berpolitik yang benar, tahu mana yang benar mana yang salah. Tujuannya agar ketika mereka terjun, mereka bisa mengambil keputusan sesuai aspirasi khas perempuan. “Jika perempuan paham politik, mereka tidak akan ngawur,” tutur peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Ajaran Katolik menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan menempati posisi yang setara dan sederajat. Antara lain dalam kitab Kejadian 1:27-28: “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri, menurut gambar Allah diciptakan laki-laki dan perempuan. Allah memberkati mereka dan lalu berfirman: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah atas ikan-ikan dilaut dan burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi’”.
Gereja Katolik selalu memberi tempat bagi perempuan agar diberi peran yang seluas-luasnya. Gereja menolak keras menjadikan wanita sebagai golongan kedua dalam masyarakat. Hal itu sangat menonjol setelah Konsili Vatikan II. Peran perempuan sangat jelas dibicarakan dalam Gadium et Spes (GS) atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini.
Dokumen ini memberikan pendasaran tentang manusia sebagai pribadi. Ada beberapa alasan yang dikemukan, seperti penggunaan kata homo untuk menyatakan pribadi manusia daripada penggunaan kata vir yang menunjuk pada laki-laki. Kebenaran yang fundamental dinyatakan sebagai suatu perbedaan, bukan sebagai diskriminasi baik jenis kelamin, status sosial budaya, bahasa, dan agama.
Perempuan di Politik
Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) sudah sejak lama menunjukkan kiprah perempuan Katolik dalam kancah politik Indonesia. Sebagai organisasi kemasyarakatan Katolik tertua yang dibentuk di Yogyakarta pada 26 Juni 1924, WKRI menjadi corong suara perempuan yang seringkali tidak didengarkan.
Dalam berbagai kongres dan program kerja, WKRI menunjukan komitmen mereka untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan kebangsaan. Beberapa di antaranya adalah masalah kemiskinan, pluralisme, kekerasan terhadap perempuan, dan lingkungan.
Ketua Presidium Dewan Pimpinan Pusat WKRI Justina Rostiawati mengungkapkan WKRI mendorong perempuan untuk terlibat di dalam politik. WKRI memang tidak menyediakan kader-kadernya untuk terlibat dalam politik praktis. Fasilitas yang diberikan WKRI terkait pendidikan Katolik ialah menyelenggarakan Sekolah Perempuan bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi. Anggota dibekali pengetahuan mengenai hak seorang warga negara yang di dalamnya termasuk hak berorganisasi. Selain itu, WKRI melaksanakan program kaderisasi untuk meningkatkan kualitas pribadi kader-kader kepemimpinan WKRI.
Justina melanjutkan WKRI mendukung angota-angotanya untuk bergabung dalam politik praktis. Seperti para perempuan di wilayah barat dan timur Indonesia disiapkan untuk masuk dalam partai politik. Namun, bila ada pengurus yang masuk WKRI memberi pilihan untuk melepaskan kepengurusannya di dalam WKRI. “Hal ini dilakukan agar mereka menjalankan politik bersih,” ujar Justina.
Hingga saat ini, usaha untuk memaksimalkan kuota kader perempuan sebanyak 30 persen belum dimanfaatkan penuh. Justina menambahkan, keterwakilan perempuan Katolik di ajang politik pun belum banyak.
Adriana kembali menambahkan, perempuan Katolik punya sebuah nilai unik yang dibawa, yaitu keberpihakan pada kaum lemah, miskin, kecil, dan terlantar. Nilai-nilai ini sudah sejak lama menjadi ciri khas ajaran Katolik. Namun, ia mengingatkan tantangan yang memang relatif banyak. “Apalagi kalau bicara politik zaman ini, di mana ‘money politics’ tidak bisa hilang. Kemudian ada persoalan identitas, agama, suku, dan sebagainya dimainkan, menurut saya ini lebih rumit lagi tantangannya,” ucapnya.
Bagi Adriana, seluruh masyarakat khususnya Gereja, harus mendukung perempuan untuk lebih berperan di politik. Tetapi dukungan itu tidak akan berarti tanpa ada kemauan besar dari para perempuan. Perempuan harus punya semangat lebih dan usaha yang lebih sehingga mampu memahami politik dengan benar. “Pengetahuan yang benar akan membantu melawan hal-hal yang sangat tidak politis dan merugikan.”
Sisi feminin dalam dunia politik harus dipertimbangkan dan diperjuangkan. Adriana menegaskan, perempuan punya kepedulian dan cepat merespons kalau ada persoalan yang ia lihat dan perlu ditangani. “Naluri semacam itu menurut saya luar biasa.” ungkapnya.
Menurut Adriana, perempuan bisa memberikan arti penting di dalam sana. Meskipun perempuan masih dianggap kelompok “kelas dua” dan walaupun jumlahnya besar. Namun, ia melihat perempuan cukup kuat dalam organisasi baik sosial maupun rohani.
Hambatan perempuan untuk maju juga dilihat dari segi kapasitas akibat perempuan dianggap masih minoritas. Adriana berprinsip bahwa apapun bisa tercapai. “Perempuan akan dikategorikan minoritas, tetapi sepanjang perempuan bisa membuktikan bahwa bisa bekerja dan berkontribusi, itu sudah bukan minoritas lagi.”
Baik Justina dan Adriana sama-sama menekankan perlunya persiapan bagi kaum perempuan jika ingin terjun dalam dunia politik praktis. Keduanya berpendapat perempuan Katolik harus siap dengan isu-isu perbedaan yang terus berhembus. Perempuan Katolik harus tangguh.
Willy Matrona/Felicia Permata Hanggu/Gabriel Dinda Andari