HIDUPKATOLIK.com – Saya sering mendengar nostalgia angkatan tua Katolik tentang kesan mereka akan pastor Eropa dulu (tahun 30an-60an). Pastor itu rajin mengunjungi dan mengenal umat. Itulah gambaran ideal gembala baik: mengenal domba dan domba mengenal suara gembala (Yoh 10:4). Mereka tidak hanya kenal umat sendiri melainkan juga umat agama lain. Keramahan gembala mendatangkan pertobatan: ada yang tertarik menjadi Katolik karena pendekatan pastoral tersebut.
Kenangan lama itu dikontraskan dengan apa yang dialami kini (tahun 70-an, pasca Vatikan II). Katanya para pastor dirasa “jauh” dari umat. Pastor jarang melakukan kunjungan umat. Orang merasa ada yang berubah dan hilang. Saya teringat akan kursus di Seminari Tinggi Kentungan DI Yogyakarta, yang berjudul “Peningkatan Mutu Kunjungan Pastoral”. Mungkin yang kurang ialah mutu pendekatan pastoral. Ada umat yang merasa jauh (menjauh) dari Gereja karena perubahan itu. Orang kecewa, marah, dan kesal.
Terakhir saya mendengar kisah seperti itu saat saya berceramah bagi kelompok pembelajar Kitab Suci Paroki St Servasius Kampung Sawah Keuskupan Agung Jakarta yang ketika itu mengadakan pertemuan di Lembang, Jawa Barat pada 19 Februari 2017 yang lalu. Saat itu, ada yang berkisah seperti tadi. Di ujung cerita, ia meminta pandangan saya tentang hal itu. Tidak mudah menjawabnya, apalagi menyangkut penilaian terhadap pastor. Tetapi saya harus menjawab mereka.
Saya mengatakan, bahwa terjadi banyak perubahan seperti itu dalam Gereja kita, dan dalam pendekatan pastoral. Mungkin pastor misionaris dulu bisa melakukan pendekatan “ideal” karena umat masih sedikit. Gereja (kumpulan umat), saat itu “ditanam” secara langsung oleh missionaris. Karena itu sang misionaris pun bertanggungjawab penuh untuk mengajar, mendampingi, dan merawatnya dengan pendekatan pastoral keluarga intensif. Saat itu jumlahumat belum banyak seperti sekarang. Jadi kalau terjadi pergeseran dan perubahan, itu wajar saja. Tetapi seharusnya kita sebagai sesama umat harus saling akrab dalam lingkup kecil, di tingkat umat basis, saling mengunjungi tanpa menunggu pastor. Gereja “umat basis” adalah cara baru menggereja.
Di sini perlu perubahan mentalitas umat. Tidak lagi “pastorsentris” tapi umat menjadi Gereja yang hidup, dalam relasi pada tingkat umat basis. Ide dasar komunitas umat basis ialah agar relasi umat di tingkat itu menjadi hidup. Gereja yang hidup ditentukan oleh relasi di tingkat umat basis, seperti hidupnya tubuh manusia tergantung pada hidupnya sel-sel paling kecil. Umat dari Gereja Protestan menyebut tingkat umat basis itu, komunitas sel. Komunitas itu hidup, menggeliatkan kehidupan. Komunitas umat basis harus berfungsi seperti sel itu.
Dalam konteks pemahaman seperti itu, umat tidak perlu serba tergantung pada pastor melainkan tergantung pada pengurus lingkungan. Ini bukan kampanye anti-klerikal atau meremehkan pastor. Mereka tetap penting. Tetapi dalam konteks membangun komunitas basis yang hidup dan dinamis perlu ada kesadaran bahwa kita yang membangun gereja.
Akhirnya, dalam bahasa Inggris ada joke menarik tentang Gereja. Orang bertanya, “Who is the Church?”. Jawabannya; “Just drop the first and the last two letters ‘ch’ and you will find the answer”. Jika kita menghapus huruf “ch” di depan dan di belakang kata ch-ur-chmaka yang tersisa ialah “ur”. Itulah jawabannya; “you (u) are (r) the church”. Engkau adalah Gereja. Gereja adalah anda, anda lah Gereja. Jangan cari ke mana-mana jawabannya. Jawaban itu ada dalam diri anda.
Fransiskus Borgias M